Karisa POV
Sejak manusia tipis itu datang di kehidupanku. Rasanya amburadul, aku terus memikirkannya di sela kesibukanku sebagai pelajar putih abu-abu.
Hari ini aku sedang bersantai di samping rumah Utiku. Rumahnya yang dekat dengan sawah identik dengan angin sepoi-sepoi.
Aku baru saja sampai di rumah beberapa hari yang lalu. Aku masih teringat saat aku terkantuk-kantuk sepanjang jalan Prambanan menuju Lendah. Dan punggungnya seakan menjadi bantal paling empuk. Punggung Reza tentunya.
Tiga hari yang lalu aku bersama teman-teman dewan ambalan mengadakan kemah uji tegak Bantara. Kegiatan ini merupakan kegiatan wajib untuk anak kelas sepuluh. Salah satu syarat untuk naik ke kelas sebelas.
Minggu ini kegiatanku begitu padat, mulai dari persiapan lomba lawatan sejarah. Aku harus membuat makalah tentang pangeran Diponegoro. Selain itu aku juga di sibukkan dengan persiapan kemah.
Mulai dari kegiatan lomba, aku sampai lembur bermalam-malam untuk menyelesaikannya. Sebelumnya aku harus ke Fisipol UGM untuk TM. Jaraknya dari rumah sangat jauh, harus berangkat pukul 6 dari rumah.
Di lain itu, tugasku sekolah begitu menumpuk, ulangan susulan,laporan praktikum,tugas seni budaya. Beruntung semua guru seakan paham dengan kondisiku.
Di dewan ambalan aku bertugas sebagai sie kegiatan. Atau nama kerennya sie acara. Kalian tentu tahu betapa hecticnya menjadi sie acara. Aku bertanggung jawab semua acara. Mulai dari persiapan sampai jalannya kegiatan.
Di tambah, seorang temanku yang menjadi sekretaris tidak bisa ikut kemah. Dan dia dengan bahagia, melimpahkan semua pekerjaannya kepadaku. Betapa lengkap derita hidupmu Nda!!!
Aku ingat kemarin sepulang dari Magelang. Pukul sepuluh baru sampai rumah. Naik motor sendiri, hujan deras dan petir. Lengkap sekali hidupku!
Perkenalkan namaku Karisa Amanda. Teman sekolah akrab menyapaku Manda. Tapi saat orang baru tahu namaku pasti akan memanggil Karisa.
Aku tinggal di desa kecil perbatasan Bantul dan Kulon Progo. Besar dari keluarga yang sederhana. Bapak dan Ibuku membangun sebuah usaha catering sejak aku kecil.
Mempunyai dua kakak perempuan yang begitu cerewet. Apalagi yang nomor satu, aku akrab memanggilnya Bu Diah. Karena itu panggilan dari muridnya.
Bu Diah seorang guru honorer yang mengajar di salah satu sekolah dasar. Mengajar mata pelajaran agama Islam.
Setiap saat akan berbicara tentang hadits. Ataupun ajaran-ajaran agama Islam lainnya.
Satu yangku ingat dan kulakukan sampai sekaranng. Tentang larangan wanita memakai punuk unta. Yang di maksud dari punuk unta adalah saat kalian memakai jilbab, dan ada tonjolan dari ikatan rambut. Nah itu yang di maksud punuk unta.
Menurut salah satu buku yang ku baca, neraka bagi perempuan yang memakai punuk unta. Tapi, itu kembali lagi dengan individu masing-masing.
Lelahnya berkemah masih jelas terasa. Apalagi acara begitu kacau karena turun hujan. Beruntung aku mendapat jatah tidur di dalam sekretariat. Bersama guru karyawan. Karena aku memang harus selalu standby di semua kegiatan.
Otakku bekerja cepat saat mengingat manusia tipis itu. Bentuknya semacam penerbangan pesawat yang aku lihat saat pelatihan di UNY. Aku juga pernah melihat orang memakai seragam seperti dirinya saat aku malam mingguan bersama sahabatku Reza. Aku menjumpai seragam itu di kedai es teler 77.
Aku jadi ingat kalau harus membalas pesannya. Aku bingung harus membalas apa.
Me :
Mataku tak bohong, bahkan aku tidak menatapmu kemarin. HahahaCentangnya langsung berwarna biru. Begitu cepat, di waktu yang sama. Reza menelfon ku. Dua laki-laki yang membuat pikiranku kacau dalam waktu yang sama.
🌵🌵🌵
Adakah yang menunggu cerita ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
Teen FictionHatiku berkata, aku ingin mengenalnya. Aku selalu suka semuanya, senyumnya, hidungnya. Apalagi saat jilbabnya tertiup angin dan menutup sebagian wajahnya. Diam-diam aku sering melihatnya saat bersujud dan berdoa pada Tuhannya. Ia akan terlihat semak...