Oscar POV
Aku tak berhentinya memandangi wajah yang basah karena wudhunya. Dia berjalan jinjit dari tempat wudhu ke dalam mushola kecil yang ada di mall ini.
Aku terus mengamati gerak-geriknya. Matanya bergerak menelusuri sesuatu. Sesekali mengangguk sopan kepada orang yang ada di depannya.
Aku terus memperhatikannya, saat mengangkat tangan memulai ibadahnya. Bibirnya bergerak merapalkan doa. Aku tak tahu dia berdoa apa.
Sampai dia membungkuk, dan bersujud. Hatiku bergetar melihatnya. Sampai akhirnya gerakan tangannya melepas jilbab besar yang dia pakai untuk sholat.
Kini dia duduk di sampingku. Memakai sepatu berwarna hitam kombinasi pink yang manis. Hari ini penampilannya masih anak SMA sekali. Tidak ada makeup, dia memakai sweater bermotif kartun. Memakai jilbab warna corak yang senada dengan gambar kartunnya.
"Kita makan siang?" Tanyaku. Dia seperti menimbang.
"Boleh, makan berat apa makan ringan?" Dia bertanya. Lucu sekali perempuan di depanku ini.
"Makan berat saja, aku belum makan dari tadi pagi." Ucap aku. Mulutnya membentuk huruf o. Ingin ku cubit pipinya.
"Sama, aku juga belum makan dari kelas tiga SD nih." Ucap dia. Aku langsung menoleh. Dia malah tertawa, matanya menyipit. Aku menikmati ciptaan Tuhan di depanku ini.
"Kamu ini sekolah apa kerja kok pakai seragam terus?" Tanya dia dengan polos.
Oh Tuhan, ternyata ada yang tidak tahu aku ini apa. Dengan lugunya dia bertanya aku ini sekolah atau kerja.
"Namanya taruna, taruna itu seperti mahasiswa sekolah, tapi dia sekolah kedinasan. Nantinya saya akan jadi tentara." Saat dia tahu aku akan jadi seorang tentara. Dia langsung menengok.
"Wah keren. Aku dulu pengen jadi polwan. Tapi....." Dia tidak melanjutkan ucapannya. Kami naik ke eskalator, dia juga menyalipku di eskalator.
"Kenapa nyalip?" Dia tersenyum.
"Biar aku terlihat lebih tinggi to." Ingin sekali aku mengacak jilbabnya.
Aku dan Karisa sampai ke kedai es teller 77. Makanan favorit di setiap mall, harganya ekonomis dan makan satu porsi saja sudah kenyang.
Ia memesan ayam penyet, sedangkan aku memesan bebek. Selama menunggu kami asyik bercerita. Ternyata Karisa memang asik untuk diajak bercerita. Dia selalu memberi solusi.
"Kok gak berdoa?" Tanyanya. Aku sedikit melongo. Padahal dalam hati aku sudah berdoa.
"Sudah di dalam hati." Dia mengangguk, menyisihkan sambal yang ada di piringnya.
"Kamu mau?" Tawarnya, Aku mengangguk.
"Kita cocok nih!" Serunya. Aku menghentikan tanganku saat akan menyuap.
"Ha?" Tanyaku. Apa dia juga tertarik dengan aku.
"Iya cocok. Aku kalau makan nggak bisa pakai sambal. Dan kamu kan mau menampung sambalku. Jadi kita cocok kalau makan. Gituuuuuuu." Aku tersenyum kecewa. Kukira kita cocok untuk menjalani hubungan.
"Kalau makan itu jangan ngomong Karisa. Nanti kesedak." Dia mengangguk. Kita makan dalam diam, sesekali dia menyesap es teh yang dipesannya.
"Kok cepet banget makannya?" Hah gemas sekali dengan anak ini. Banyak tanya tapi aku selalu ingin menjawabnya.
"Lima menit menentukan untuk tentara Sa. Kami sudah di didik untuk selalu tepat. Kamu juga harus bisa, katanya mau jadi polwan." Dia mendengus.
"Nggak, itu bercanda. Aku nggak ingin jadi polwan."
"Lalu?" Dia kembali meminum sisa es teh.
"Aku itu pengen jadi pegawai kelurahan. Hahahaha." Ia malah tertawa.
Dreerrttttt dreerrttttt
"Sebentar ya saya angkat telepon." Aku mengangkat telfon dari Bang Wijaya kakak asuhku yang sekarang sudah bertugas di Bandung.
"Siap, petunjuk kasuh?" Karisa melongo. Aku bisa melihat dari sudut mataku.
"Siap.. siap kasuh. Nanti saya kirim. Selamat siang kasuh." Aku mematikan telfon, kembali memperhatikan cerita Karisa. Kakak asuh ku yang bernama Alan ini memang mengganggu.
"Tadi kenapa pengen jadi pegawai kelurahan?"Dia menerawang.
"Supaya bisa mengabdi sama masyarakat aja. Bisa terjun langsung di masyarakat sih. Simpelnya gitu. Sama kalau makan siang kan dekat dari rumah. Nggak perlu keluar jajan. Heheheh." Dia tertawa, matanya menyipit.
"Kalau kamu kenapa pengen jadi tentara?" Dia bertanya.
"Awalnya Nggak minat jadi tentara, tapi bapak ingin, ya di jalani. Lama-lama enjoy." Jawabku singkat.
"Karena saya juga begitu mengidolakan sosok Bapak di hidup saya." Lanjutku.
Dia mengangguk dan melihat handphonenya. "Aku harus pulang Mas. Temenku sudah di jalan mau sampai." Aku mengangguk. Berjalan berdua, sepanjang eskalator aku hanya melihat punggungnya dari belakang. Menikmati wangi buah dari parfumnya.
Aku masih bisa melihat Rama duduk di kedai Jco saat ini. Betah sekali anak itu sendiri.
Karisa berbalik, mata kami bertemu.
"Senang bisa ketemu mas Oscar hari ini." Ucapnya tersenyum. Seperti senyum sebelumnya. Matanya sedikit menyipit saat senyum lebarnya terbit.
"Me too. Senang juga bisa ketemu kamu hari ini. Hati-hati di jalan Karisa, info saya kalau sudah sampai. God bless you." Dia mengangguk. Melambaikan tangannya berlari kecil menghampiri sebuah motor.
Aku masih terus memperhatikan gerakannya. Sampai motor itu melaju dan membunyikan klakson, Karisa melambaikan tangannya.
Ternyata benar, sepertinya terlalu banyak gula. Kamu terlihat lebih manis kalau dari dekat.
🌵🌵🌵
Hai..... Halooo haii..
Masih kah ada kalian menunggu hehe
KAMU SEDANG MEMBACA
Intuisi
Roman pour AdolescentsHatiku berkata, aku ingin mengenalnya. Aku selalu suka semuanya, senyumnya, hidungnya. Apalagi saat jilbabnya tertiup angin dan menutup sebagian wajahnya. Diam-diam aku sering melihatnya saat bersujud dan berdoa pada Tuhannya. Ia akan terlihat semak...