Menunggu

1.6K 198 7
                                    

Tuhan memang satu, Kita yang tak sama!!
~~~

Oscar POV

Sudah sepekan lebih aku menunggu konfirmasi dari brownis bantat itu. Tapi masih sama, belum ada lagi balasan. Aku harap hari ini ia akan memberi kabar. Sudah sepekan semenjak pertemuan terakhir.

Aku rela jika harus menyusulnya ke Yogyakarta. Hari ini aku mendapatkan IB tiga hari. Aku memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta. Tempat Bapak bekerja, Bapak seorang tentara angkatan darat. Pangkatnya Lettu bertugas di Korem Yogyakarta.

Beliau berjuang dai seorang Bintara. Dan puji Tuhan, saat ini beliau sudah menjadi perwira.

Aku bersama lima orang teman yang akan kembali ke Yogyakarta. Ada Pandu, Januar,Aziz, Dewa dan Rama.

Kami langsung menuju markas besar geng kami. Di mana lagi kalau bukan rumah Rama. Dia merupakan anak pengusaha konstruksi yang terkenal di Jogja.

Biasanya Bapak akan menjemput sesudah bekerja. Akan ku ceritakan sedikit tentang keluargaku.

Namaku Narangga Oscar Perwira. Anak pertama, mempunyai adik perempuan yang begitu manis. Kini ia sedang menempuh S1 jurusan Teknik Arsitektur di UGM. Adikku seorang yang ambisius, targetnya ingin lulus di tahun yang sama denganku.

Puji Tuhan, saat ini ia sedang memperjuangkan skripsi yang katanya sedang penyusunan proposal.

Bapak seorang tentara nasional Indonesia. Dan Ibu seorang guru sekolah dasar. Mengajar di SD Negeri Serayu Yogyakarta.

Bapak dan ibu adalah sosok panutan kami. Mereka mengajarkan hidup dalam kesederhanaan. Mereka selalu mengajarkan bahwa Tuhan akan selalu melimpahkan nikmat yang bersih untuk kami.

Dari kecil kami di didik untuk taat pada Tuhan. Setiap Minggu kami akan berangkat ke Gereja. Menggunakan motor dinas milik bapak, aku akan selalu duduk di depan. Tidak ada mobil untuk kami. Ibu dan Anggi akan berbagi tempat di depan.

Bapak dan ibu bukan dari keluarga berada. Mereka selalu berjuang dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup aku dan Anggi. Ibu yang tetap ikhlas walaupun dari masa ke masa belum juga di angkat menjadi pegawai, negeri, ibu tetap optimis.

Hingga semua masa tersulit hidup kami, mampu kami lewati. Tuhan berkati.

Aku sudah pernah tinggal di berbagai daerah Indonesia. Aku lahir di Timor Timur. Kalau sekarang, tentu aku lahiran luar negeri. Karena Timor Timur sudah berpisah dengan Indonesia.

Kalau Bapak berasal dari kota Solo, ibu pun Solo. Di desa kecil pinggir kasunanan Surakarta. Tapi kami belum bisa kembali ke Solo. Karena Bapak belum dalam masa pensiun. Bapak masih harus mengabdikan dirinya untuk Indonesia.

Kakekku seorang veteran, dulu ia ikut berperang untuk Indonesia merdeka. Tapi sayang, kini hanya kenangan. Kakek sudah tenang bersama Bapa di Surga.

Bapak sudah menjemput, di dalam ada Anggi, iya nama adikku adalah Naranggita. Kami memanggilnya Anggi, ibu di rumah sedang memasak katanya.

Sejauh apapun aku pergi dan dimana pun aku makan. Tetap yang paling enak adalah masakan ibu. Lezatnya belum ada yang menandingi.

Aku hanya berharap, suatu saat nanti aku akan bertemu dengan wanita sebaik dan sehebat ibu. Mampu bertahan hidup membesarkan dua anaknya sendiri selama tiga tahun.

Bapak pernah mendapat tugas di Sentani Papua selama tiga tahun. Ibu tidak bisa ikut karena ia harus tetap mengajar.

Hidup berpindah-pindah mengajarkanku untuk saling menghargai perbedaan. Pernah Bapak mendapatkan tempat tugas yang jauh dari gereja. Jadi harus menempuh perjalanan cukup panjang untuk bisa sampai di Gereja.

Bapak juga pernah mendapat tugas dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Bapak di sambut begitu baik di sana. Bahkan di antarkan ke Gereja saat bapak tidak membawa motor.

Begitulah Indonesia, berbeda-beda. Tapi aku selalu berharap untuk tetap satu.

"Hp lho mas di pegang terus kaya mau jatuh aja." Anggi duduk memangku laptopnya di sampingku.

"Jangan kebiasaan dek kalau laptop di taruh paha. Radiasinya itu lho, itu ada meja. Jangan hanya untuk pajangan." Anggi sudah memasang wajah cemberut.

"Iya masku, mas tumben hpnya di pegang terus to? Apakah ada yang menarik?" Anggi melongok ke arah handphone ku.

Aku tidak menjawab, Anggi sudah tersenyum jahil.

"Pak, mas Oscar udah punya pac...." Aku langsung menutup mulut Anggi dengan tanganku.

"Apa yo ribut terus kalau bareng. " Bapak datang dari dalam menengahi kami.

"Ini pak, Anggi ngeyel lho. Laptopnya di pangku."

"Nggak Pak. Mas Oscar bohong. Mas Oscar sudah punya pacar. Hpnya di pegang terus!" Aku menggeleng tegas.

"Anggi bohong pak. Jangan percaya." Bapak menatapku tajam.

"Benar punya pacar kamu?" Aku duduk tegap.

"Siap, tidak." Bapak terlihat kecewa padaku

"Lalu?" Bapak begitu tegas dengan siapapun yang melakukan kesalahan. Aku, Ibu ataupun Anggi. Beliau selalu disiplin.

"Siap, saya hanya menunggu pesan dari teman perempuan Pak. Bukan pacar dan kami hanya berteman biasa." Tatapan. Bapak masih belum mereda.

"Bapak harus percaya kamu?"

"Siap, benar Pak."

"Bapak tidak melarang kamu pacaran. Silahkan, tapi nanti. Ketika kamu sudah bisa mencari penghasilan. Laki-laki harus punya prinsip. Harus punya tujuan. Kamu punya keinginan yang harus kamu capai. Adhi Makayasa bukanlah hal mudah untuk kamu raih. Bapak tidak ingin kamu menjadi menye-menye karena cinta. Paham kamu?"

"Siap paham." Bapak meninggalkan aku dan Anggi. Aku langsung menyikut kaki Anggi. Dia penyebab semuanya

"Sorry mas." Aku diam meninggalkan dia sendiri di ruang tamu.

Bapak memang melarang ku pacaran sebelum aku lulus dari pendidikan. Bapak ingin aku fokus dengan mimpiku. Beliau tidak ingin aku lalai dengan hidup dan kewajiban.

Kata bapak, jangan sampai wanita membuatku lalai kepada Tuhan. Dan pendidikan.

Aku tidur di kasur empuk, sebesar ini aku masih harus berbagi kamar dengan Anggi jika malam.

Aku tidur di bawah dengan kasur lipat. Ini sudah terjadi sejak kecil. Toh sudah hampir tujuh tahun aku meninggalkan rumah untuk mengenyam pendidikan.
Hanya sesekali bisa pulang dan tidur di rumah.

Aku tersenyum saat mengingat wajah brownis bantat itu. Memakai jilbab warna coklat.

Tunggu!! Jilbab? Muslim?

Ini terlalu rumit!!!!!

🌵🌵🌵

IntuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang