1. Hari Pernikahan

58.6K 1K 4
                                    

Disanalah Ansara berdiri sekarang. Diujung altar pernikahan yang sebenarnya begitu indah, penuh dengan rangkaian bunga disana-sini, dan bernuansa putih, suci seperti hari spesialnya ini.

Seharusnya.

Gadis itu berulang kali menghembus nafas, merasakan degup yang tidak beraturan lantaran diujung sana, seseorang sudah menantinya. Seseorang yang akan menemaninya seumur hidup. Seseorang yang mulai hari ini, sudah harus Ansara yakini sebagai cinta sejatinya. Meski Ansara pun harus belajar perlahan untuk jatuh cinta padanya. Tapi, tekadnya sudah bulat.

Semenjak menginjak altar yang sama dengan Bumigantara, sang calon suami yang akan mengikat janji dengannya hari itu, Ansara sudah memantapkan hati untuk mencintai Bumi seumur hidupnya. Menerima kehadiran Bumi di hidupnya walau pernikahan mereka terjadi bukan karena keduanya saling menemukan, tapi dijodohkan.

Senyum Ansara menguar saat ia dan Bumi sudah berhadapan dengan pendeta yang akan menyatukan mereka. Sebab, kali ini, Ansara yakin sudah tidak ada lagi kata mundur. Sebelum janji itu terucap, Ansara sempat melirik Bumi sekali, kemudian terpana sendiri saat menemukan wajah tampan itu sama sekali tak berekspresi. Mungkin, Bumi sama bingungnya dengannya sekarang. Ansara mengerti itu.

Dan ketika sumpah mereka harus terucap, Bumi sempat terbata, bahkan harus mengambil nafas panjang sebelum menyelesaikan kata-katanya. Jantung Ansara sempat tak kuasa menahan degup yang kian tinggi, takut bila Bumi tak sanggup menyelesaikan sumpahnya sendiri, yang untungnya tidak terjadi.

Ansara sendiri mengucap sumpahnya dengan lantang, sama sekali tidak terbata seperti Bumi barusan. Ansara benar-benar mengamini sumpahnya untuk sehidup semati dengan Bumi, pun tidak sedikitpun memiliki rasa takut akan pernikahan yang tidak berdasar dengan pilihan sendiri.

Tiba saatnya pertukaran cincin itu terjadi. Dimana dua manusia kecil yang usianya mungkin masih sekitar enam tahun, menghampiri Bumi dan Ansara untuk memberikan cincin mereka. Ansara menanti Bumi terlebih dulu untuk memasangkan cincin di jari manisnya, seperti yang seharusnya. Namun, betapa terkejutnya ia ketika menemukan Bumi mengambil cincin miliknya sendiri dan memasang di jari manis lelaki itu sendiri.

Ansara sampai terbengong, menatap Bumi yang sama sekali tak terpengaruh. Hingga pendeta menegur Bumi untuk memasangkan cincin di jemari Ansara, barulah lelaki itu mengikuti. Memasang cincin berlian indah di jemari Ansara dengan cepat dan tanpa menatap kearahnya. Setelahnya, lelaki itu kembali menjaga jarak.

Ansara tahu apa alasan Bumi melakukan hal itu. Mungkin, untuk menyentuh Ansara saja terasa aneh untuk Bumi. Sebab secara tidak langsung, mereka memang masih terbilang orang asing. Bagaimana tidak? Perkenalan singkat yang hanya berjalan delapan minggu itu, rasanya begitu cepat karena terjadi di sela-sela kesibukan Bumi sebagai seorang Chief Operation di tempatnya bekerja sekarang.

Riuh tepuk tangan dan sorakan dari tamu yang hadir, menyadarkan lamunan Ansara yang terjadi secara spontan. Rupanya, saat ini adalah saat dimana pengantin lelaki mencium pengantin perempuannya. Satu agenda yang membuat Ansara sampai menggigit bibir saking gugupnya. Sedangkan Bumi, berbeda dengannya. Lelaki itu malah sudah mencondongkan tubuh kearah Ansara dan dalam hitungan detik menciumnya, bukan tepat di bibir, melainkan di sudut bibirnya, condong ke pipi.

Saat itu juga, Ansara tidak tahu harus merasa bagaimana. Ia jelas bingung.

Dari sisi tamu, tentu tidak ada yang aneh. Sebab, kejadian singkat tadi tercipta dengan angle yang sempurna sampai ke tangkapan kamera foto. Tidak ada yang pernah tahu bahwa hari itu, bibir mereka tidak pernah saling bertemu di hari janji suci mereka terucap. Tidak sesuai dengan semestinya.

Tapi Ansara hanya bisa memaksakan senyum saat beberapa yang bertugas mendokumentasi pernikahan mereka memintanya berpose mesra dengan sang suami, Bumi. Sekali lagi, Ansara sempat melirik ke sebelah, dan tentu saja sekali lagi menemukan seseorang yang kini sudah resmi menjadi suaminya, tidak menunjukkan ekspresi apapun di sebelahnya.

———

Ansara merasakan lelah di sekujur tubuhnya saat memasuki kamar pengantin di hotel tempat mereka melangsungkan pernikahan. Kamar luas yang disiapkan khusus untuk pasangan yang baru menikah itu, dihias dengan kelopak mawar, bahkan beberapa ucapan juga tergeletak diatas kasur, sengaja disiapkan untuk merayakan pernikahan keduanya.

Sang gadis melepas satu persatu perhiasan di tubuhnya, menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, menemukan lelah di raut wajahnya yang tak sengaja ia ciptakan. Ketukan di pintu membuatnya menoleh, Ansara mengangkat ujung gaunnya agar jalannya tak sulit, kemudian mengintip dari celah kecil di peep hole, sebelum membukakan pintu untuk Bumi, sang suami yang masih saja memasang raut datar untuknya sebelum masuk kedalam kamar hotel mereka.

"Mas Bumi.. Mau langsung mandi? Aku siapin bajunya kalau mau. Kayaknya semua masih di koper, belum dikeluarin". Ucap Ansara, mengekor di belakang Bumi guna berbicara dengannya.

Bumi menghentikan langkahnya, lantas berbalik. Membuat Ansara sontak ikut menghentikan langkah dan mendongak untuk menatap Bumi. Sang lelaki menatap Ansara dengan angkuh, sama sekali tak ada ekspresi lain disana. "Jangan sentuh barang-barang saya".

Setelahnya, Bumi berbalik, berjalan cepat menuju ke tempat dimana koper berada, dan langsung berlutut untuk mengambil pakaiannya sendiri. Ansara sendiri masih berdiri di tempatnya, tak menyangka Bumi akan menjawabnya sama ketusnya dengan saat sebelum mereka menikah.

Namun, gadis itu tak merubah sikapnya. Ia lantas tersenyum, membiarkan Bumi memiliki space sendiri untuk beraktivitas dan meninggalkannya untuk masuk ke kamar mandi. Ansara bukan jenis manusia yang suka memaksakan sesuatu pada orang lain. Suara gemericik air pertanda Bumi yang sudah memulai agenda mandinya itu, membuat Ansara memutuskan untuk melanjutkan kegiatan melepas segala yang menempel di tubuh selepas acara pernikahan mereka tadi.

Tibalah Ansara melepas dress putih panjangnya. Dengan susah payah, Ansara berupaya meraih resleting di punggungnya namun sulit. Membuat sang gadis sampai meliuk kesana dan kesini saking tak sampai. Saking seriusnya, Ansara tak menyadari suara pintu terbuka dari belakang, dan langkah kaki yang mendekat. Gadis itu baru menyadari kehadiran Bumi di belakangnya saat lelaki itu membantu menarik resleting dress yang ia kenakan hingga kebawah. Membuat Ansara reflek memegangi dress bagian depannya agar tidak terjatuh.

"M—Makasih, Mas". Ucap Ansara terbata karena terkejut.

Namun, Bumi, masih menjaga nada bicaranya sedingin mungkin. "Ganti pakaian di kamar mandi. Saya mau lanjut kerja".

Setelahnya, Bumi beranjak pergi, berjalan santai menuju satu sudut dengan meja kerja di kamar suite mereka, tanpa menoleh lantas mengambil laptop dan mulai berfokus dengan aktivitasnya sendiri, seakan hari ini adalah hari biasa lainnya saja.

Dengan perlahan, menjaga langkahnya agar dressnya tidak jatuh, Ansara berjalan ke kamar mandi. Gadis itu melepas dressnya, mengisi bathup untuk mandi dan memutuskan untuk berendam diri di sana untuk waktu yang cukup lama. Mengistirahatkan tubuhnya yang begitu lelah pasca agenda panjang di hari ini. Satu pikiran melintas di pikirannya, membuat pipinya menghangat seketika.

Malam ini.. Malam pertama mereka. Akankah Bumi memintanya melakukan itu di malam ini?

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang