Perjalanan panjang yang seharusnya melelahkan itu, entah mengapa sama sekali tak terasa. Sepanjang jalan, Bumi terus mendapati hal-hal baru dari Ansara yang sebelumnya belum pernah ia perhatikan. Seperti misalnya bagaimana gadis itu gemar bersenandung, kemudian mengomentari hal ini dan itu yang matanya sempat tangkap. Celoteh polos Ansara yang mengomentari keadaan jalanan, gedung-gedung yang mereka lewati, berikut dengan jenis lagu yang terputar si radio, membawa suasana menyenangkan yang tak Bumi duga bisa dapatkan saat bersama sang gadis.
"Ah! Aku suka banget lagu ini Mas.. Lagu jadul tapi liriknya punya makna yang bagus". Ucap Ansara selagi menyenandungkan lagu milik Reza Artamevia dan Masaki Ueda, Biar menjadi kenangan dengan wajah berbinar.
Bumi sempat menoleh sekilas, menemukan bagaimana wajah Ansara yang ikut menoleh kepadanya dan menampilkan senyum manis. Rasanya, ini akan menjadi satu core memory bagi mereka, saling mengenal satu dan lainnya lebih dalam lagi, meski tidak seharusnya dilakukan.
"Kamu capek gak, Mas? Mau istirahat dulu?". Ucap Ansara saat menatap Bumi, menunjukkan raut khawatirnya.
Bumi sontak menggeleng, melempar tatapannya kembali ke jalanan kosong didepan mereka. "Saya gak apa-apa".
Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih dua setengah jam itu, pada akhirnya menemukan ujung saat rumah mungil berwarna putih milik keluarga Ansara terlihat. Bumi memarkirkan mobilnya hati-hati di garasi rumah, sebelum turun dan menemui Ibu dan Bapak dari Ansara yang sudah menanti didepan rumah.
Lengan keduanya terbuka saat menanti anak mereka menghampiri, raut-raut penuh rindu tergambar jelas disana. "An, putri cantik Ibu".
Ansara lantas berlari kecil menghampiri sang Ibu, memeluknya dengan erat, dan dilanjut dengan Bapak yang ikut memeluk kedua manusia itu. Melihatnya, Bumi tertegun untuk waktu yang cukup lama di tempatnya, merasa enggan menghampiri ketika momen sakral itu tercipta di depan pandangan matanya.
Ansara adalah yang lebih dulu melerai pelukan itu, sang gadis menoleh pada Bumi. "Mas, sini.. Kok berdiri disitu aja?".
Ibu Ansara juga turut menatap kearah Bumi. "Nak Bumi, ayo masuk, pasti capek ya kalian habis perjalanan jauh?".
Bumi lantas melangkah pelan, dan pada akhirnya menyambut tangan Ansara yang menanti untuk diraih sejak tadi. Bumi mengangguk sopan. "Pak, Bu, maaf ganggu malam-malam".
Ibu Ansara lantas menarik Bumi kedalam pelukan sebelum melerainya. "Kamu itu jangan gak enakan sama Bapak dan Ibu, Bumi. Kami ini kan orangtuamu juga".
Bapak Ansara pun ikut menambahi, menepuk pundak Bumi pelan. "Jangan sungkan, Bumi. Anggap aja rumah sendiri, kami malah senang sekali kalian mau main kesini".
Keempat manusia itu lantas berjalan kedalam, dengan Bumi yang menarik koper mereka kedalam. Ansara lebih dulu membuka percakapan. "Bapak, katanya lagi kurang sehat? Kok masih bangun aja jam segini?".
"Bapakmu ini loh, An.. Begitu dengar kamu mau kesini, langsung buru-buru bangun dari kasur, nungguin kamu sampai datang". Balas Ibu Ansara.
Ansara terlihat terkejut. "Benar, Pak? Kenapa maksain..".
"Ah, Bapak cuma gak enak badan sedikit aja, An. Kamu tenang aja. Lagian, kalian udah repot-repot kesini masa Bapak gak sambut? Mana boleh begitu". Balas Bapak Ansara santai.
Ansara terlihat menunjukkan raut cemasnya. "Bapak sudah makan? An masakin sesuatu ya?".
"An, sudah. Kamu pasti capek". Tungkas Bapak Ansara. "Lagipula, sekarang itu, kewajibanmu untuk urus suami, An. Lihat itu, suamimu kelihatan capek begitu, kok malah pikirin Bapak? Ajak lah Bumi istirahat. Dia kan habis nyetir berjam-jam".
Ansara langsung mengalihkan pandang ke Bumi yang kini juga menatapnya, hendak mengucap sesuatu tapi lebih dulu dipotong oleh Ibu Ansara. "Benar itu, An. Kasihan Bumi. Sekarang, kewajibanmu yang utama itu perhatiin Bumi, urus dia. Sana, kalian ke kamar dan istirahat. Sudah hampir tengah malam ini".
Ansara tak lagi mendebat, melainkan mengangguk. "Iya, Bu. Kalo gitu, An sama Mas Bumi ke kamar ya. Bapak sama Ibu istirahat, jangan capek-capek. Besok, An bantu bikin sarapan ya, Bu".
"Gak usah repot-repot, An".
———
Bumi berjalan membuntuti Ansara di lorong yang tak luas itu, memperhatikan bagaimana di sekitaran dinding sepanjang rumah ini, selalu dihiasi dengan figura-figura berisi foto keluarga. Entah hanya perasaannya saja atau tidak, semenjak Bumi menginjakkan kaki di rumah ini, suasananya terasa begitu hangat.
"Maaf ya, Mas.. Rumah ini kecil, gak luas kayak rumahmu atau rumah Gepa. Jadi, agak sesak pasti rasanya". Ucap Ansara sembari terkekeh, membuka pintu kamarnya yang bernuansa putih.
Kamar yang tak terlalu luas itu, hanya berisikan berisi kasur dan meja belajar sederhana. Namun, terlihat nyaman meski tidak luas seperti kamar mereka di Jakarta. Bumi melangkah masuk dan terperangah saat hidungnya menemukan aroma familiar disana. Aroma khas bunga-bungaan milik Ansara.
"Kamu mau mandi dulu? Atau mau ganti baju aja? Pasti badanmu capek banget habis nyetir jauh begitu". Ucap Ansara sembari membuka koper dan mengambil sepasang baju tidur milik Bumi.
Bukannya merespon, Bumi malah sibuk memperhatikan satu-persatu figura yang terpajang di kamar Ansara. Foto sang gadis ketika kecil, dengan rambut pendeknya, dan senyum yang sama persis seperti sekarang. Jemari Bumi meraih sebuah figura yang terpajang di sisi kasur. "Ini kamu?".
Ansara menghampiri, terkekeh sendiri saat melihat foto yang Bumi maksud. "Iya, kenapa, Mas? Gak mirip ya?".
"Cantik". Jawab Bumi refleks, kemudian menggeleng sendiri saat menyadari jawabannya barusan berhasil menimbulkan kecanggungan diantara mereka. Sebab Ansara sampai terbengong, seakan tak percaya mendengar ucapan itu dari mulut Bumi.
Bumi menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. "Mana tadi baju saya? Saya mau mandi aja deh, gerah. Kamar mandinya dimana, ya?".
Ansara yang ikut salah tingkah lantas buru-buru melangkah, menunjukkan jalan. "Ini, Mas, disini. Sebentar, aku ambilin alat mandimu. Oh, iya, tapi, disini, mandinya gak ada air hangat. Mau aku masakin dulu, Mas?".
"Gak usah". Balas Bumi sebelum meraih alat mandi berikut baju gantinya dari tangan Ansara dan segera masuk.
Sepeninggalan Bumi, Ansara sendiri sibuk memegangi pipinya yang memanas, tak menyangka akan pernah mendengar pujian cantik itu dilayangkan untuknya dari Bumi. Gadis itu mengulum senyum, berupaya kuat menyembunyikan debaran yang tak biasa.
Sekitar lima belas menit kemudian, Bumi kembali dan menemukan Ansara yang sudah lebih dulu tertidur. Nampaknya saking lelahnya, gadis itu tidur dalam
posisi setengah duduk dan tanpa selimut. Bumi yang masih sibuk mengeringkan rambut, lantas bergerak kearah sang gadis, kemudian memilih untuk mengangkat sedikit tubuh Ansara dan membenahi posisi tidurnya. Setelahnya, Bumi juga menarik selimut Ansara hingga ke leher, menjaga sang gadis agar tetap hangat.Lama sekali Bumi memandang ke wajah damai itu, berkontemplasi sendiri dengan dirinya. Mempertanyakan hal-hal yang mungkin terasa kurang logis bagi otaknya.
Kalau begini terus, saya bisa-bisa makin nyaman sama kamu, Ansara.
Padahal suatu hari nanti, kita harus berpisah.
Tolong, jangan buat saya makin terbiasa dengan keberadaan kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANSARA
RomancePernikahan yang bukan dilandaskan cinta, memang mimpi buruk bagi mereka yang tidak menerimanya. Ialah Bumigantara Dhiagatri yang hidupnya harus berubah lantaran dijodohkan dengan Ansara Saskiaputri, seorang gadis yang tidak kenal dan hanya pernah ia...