65. Dua Hal Di Waktu Yang Sama [END]

34.8K 625 53
                                    

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tak terasa, usia kandungan Ansara sudah mencapai nyaris sembilan bulan. Pernikahan yang awalnya penuh dengan pilu, berangsur-angsur berubah menjadi sebuah pernikahan yang normal. Bersama Bumi, pada akhirnya Ansara berhasil merasa dicintai. Hidupnya yang sempat temaram, perlahan membaik setelah ia mengambil keputusan untuk mencabut gugatan dan menyetujui keinginan Bumi untuk memperbaiki pernikahan mereka.

Hal yang sama juga terjadi pada Bumi. Terlihat betul dari sikapnya, lelaki itu tidak lagi menganggap Ansara sebagai orang lain. Sebaliknya, Bumi memperlakukan Ansara dengan begitu hati-hati, menghujaninya dengan cinta yang tak ada akhir, menjaganya sesuai janjinya dulu.

Perut Ansara yang membuncit, tak ayal membuat keduanya sering tersenyum tatkala memandang kearah cermin. Berbagai jenis perlengkapan bayi, seperti boks bayi, stroller, baju bayi, hingga ke mainan, semua sudah tertata rapi di dalam kamar yang Bumi sengaja buatkan untuk calon anak pertama mereka yang sudah diketahui jenis kelaminnya sebagai laki-laki.

'Penerus saya'

Dengan bangganya, Bumi selalu berucap demikian tatkala membicarakan tentang anak mereka, berandai-andai akan mirip seperti siapa bayi laki-laki yang hanya perlu beberapa lama lagi untuk hadir di dunia. Sedangkan Ansara selalu tersenyum tiap kali Bumi membanggakan malaikat kecilnya, sebab dirinya juga membayangkan akan betapa indahnya dunianya nanti, dilingkupi oleh dua orang yang begitu ia cintai, yang kemungkinan wajahnya pun mirip.

Nuansa rumah mereka yang begitu hangat, membuat Bumi betah berlama-lama disana. Terkadang, lelaki itu sampai mencari seribu alasan untuk bolos kerja, yang biasanya ditolak oleh Ansara dan berakhir dengan sang lelaki yang berangkat kerja dalam keadaan merajuk.

Semenjak kepulangan Ansara ke rumah, Bumi juga jadi memiliki hobi baru yang tak kalah menggemaskan. Yaitu, mengecup perut Ansara dan mengajak manusia di dalamnya berbicara, dengan nada bicara lucu yang sengaja dibuat jenaka. Hal itu seringkali membuat Ansara terpingkal, dan gerakan dari dalam perutnya ikut merespon.

"Nanti saya usahain pulang lebih cepat, ya. Kamu jangan capek-capek, kan udah dekat lahiran". Ucap Bumi pada Ansara sebelum berangkat kerja.

Sang puan tersenyum, lantas menyerahkan tas kerja Bumi. "Iya, Mas. Kamu juga, jangan kecapekan".

Bumi lantas melakukan satu rutinitasnya sebelum berangkat kerja, yaitu mengecup satu persatu sisi wajah Ansara, dimulai dari dahi, kedua pipi, dan berakhir di bibir. Dan hebatnya, kecupan-kecupan itu selalu berhasil menimbulkan senyum di wajah Ansara.

"Berangkat dulu, ya, sayang". Ucap Bumi pada Ansara.

Sang puan tersenyum. "Iya, Mas Bumi-ku, sayang".

Netra Bumi membulat saat mendengar panggilan Ansara barusan. "Kamu jangan bikin saya batal berangkat kerja".

Ansara terkekeh, menunjukkan raut lucu. "Apa sih? Aku kan gak ngapa-ngapain?".

Bumi menggelengkan kepala. "Udah, ah. Pening saya nih kalo deket kamu, bawaannya pengen gendong ke kasur terus. Saya beneran berangkat, ya".

Setelahnya, Ansara kembali terkekeh, menyaksikan bagaimana punggung Bumi menghilang dari balik pintu. Senyumnya kembali menguar, lantas berjalan untuk masuk kedalam rumah sembari mengusap pelan perutnya yang sudah maju.

"Ayah lucu banget, ya, Nak? Mudah-mudahan kamu mirip Ayah, biar Bunda punya dua bayi yang mukanya mirip". Ucap Ansara bermonolog sendiri.

———

Menjelang waktu cutinya yang berjarak tiga minggu dari sekarang, Bumi benar-benar disibukkan dengan segala keperluan perusahaan. Demi mengejar cuti panjang untuk menemani Ansara di masa melahirkan, Bumi rela menghabiskan sedikit lebih banyak waktu untuk pekerjaannya disela waktu senggangnya. Di rumah, di mobil, bahkan di kamar, tepat sebelum tidur, Bumi mengejar pekerjaannya agar selesai sebelum ia tinggalkan.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang