46. Mencari Jawaban

11.2K 474 29
                                    

Bukannya makin menjauh, Ansara malah makin mendekati Bumi di setiap harinya. Bahkan, perlakuan dan sikap Ansara semakin manis, tidak sama sekali menunjukkan sikap berubah jadi membenci pada sang lelaki, meski tahu bahwa ia sudah berkhianat di sepanjang pernikahan mereka.

Ansara tetap berlaku seperti seorang istri yang begitu mencintai suaminya, memberikan Bumi hujanan perhatian dan cinta yang membuat sang lelaki terus-menerus mengulur keinginan untuk mengucap perpisahan.

Membuat efek yaitu bukannya makin yakin meninggalkan Ansara, hati Bumi malah makin ragu seiring dengan berjalannya waktu.

Keraguan di hati Bumi, membuat ia jadi tak bisa bersikap. Pikirannya ribut, terus-menerus mengulang beberapa kemungkinan dari dua keputusan yang ada di depan mata. Yaitu antara keputusan meninggalkan Ansara, atau justru meninggalkan Diandra.

Mengejutkan memang, bagaimana opsi meninggalkan Diandra pada akhirnya bisa sampai di pikirannya. Bumi sendiri tak habis pikir, otaknya tak tahu bagaimana harus memproses, dan berakhir membuatnya uring-uringan selama beberapa hari ini.

Sikap uring-uringannya itu sama sekali tak menggoyangkan keteguhan Ansara yang terus berlaku sebagai istri manisnya. Gadis itu tak terpengaruh sikapnya meski beberapa kali, Bumi mengabaikannya. Contohnya adalah tempo hari, tatkala Ansara dan Bumi diminta untuk menemui Mama Bumi di rumah keluarga Bumi untuk keperluan berbincang santai.

Sepulang dari sana, selama di mobil, Ansara berulang kali menengok keluar jendela, sembari menanyakan pertanyaan dengan mata bulatnya. "Kamu gak laper, Mas?".

Dan Bumi yang tengah banyak pikiran, tidak berpikir panjang dan menjawab lugas. "Enggak".

Ansara tidak mendebat, namun, saat mobil sudah mendekati area perumahan mereka, gadis itu sekali lagi bertanya. "Mas Bumi, beneran kamu gak laper?".

Bumi kembali menggeleng. "Enggak, An".

Ansara sama sekali tak bersuara setelahnya, pun Bumi juga tak berpikir lebih lanjut untuk bertanya alasan Ansara menanyakan hal yang sama berulang. Hingga sesampainya mereka di rumah, Ansara buru-buru menuju ke dapur.

Gadis itu meraih sebungkus mie instan dari kabinet dapur, dan memasak dengan tangan gemetaran. Melihatnya, Bumi baru menyadari, bahwa sejak tadi, tujuan Ansara bertanya bukanlah karena mengkhawatirkan Bumi. Namun karena gadis itu kelaparan. Dan hebatnya, Ansara tidak meminta secara gamblang, tidak juga mengeluh. Gadis itu bahkan hanya mencoba bertanya sebanyak dua kali sebelum berakhir menyerah.

Pada akhirnya, Bumi tak kuasa bertanya. "Kamu kenapa gak bilang kalo kamu laper, An?".

Ansara yang saat itu tengah gemetar, masih menyempatkan untuk tersenyum. "Gak apa-apa. Aku maunya kalo makan diluar, pas kamunya juga laper dan mau. Jadi, kita bisa makan sama-sama, bukan aku aja".

Disana, Bumi tak lagi bisa menahan dirinya untuk memeluk figur yang entah sejak kapan jadi semakin kurus. Saking tak memperhatikannya, Bumi sampai tak sadar jika tidak berakhir memeluk Ansara. Bagaimana sepertinya, bobot tubuh gadis itu turun drastis akhir-akhir ini.

"Maafin saya, Ansara. Saya gak cukup peka untuk ngerti maksudmu". Ucap Bumi, memeluk Ansara dari belakang dan menaruh kepalanya di pundak sang gadis.

Ansara, dengan tangan gemetarnya, meraih kepala Bumi dan mengelus rambutnya lembut. "Gak apa-apa, sayang. An seneng sih, kamu peluk. Tapi, boleh lanjutin nanti gak? An makan dulu sebentar, mie nya udah jadi".

Bukannya melepas pelukan itu, Bumi malah menangis. Airmatanya jatuh tak terkira, tak kuasa merasakan bagaimana perlahan, bongkahan keras di hatinya terkikis dengan ketulusan seorang Ansara.

Seakan menoreh sebuah guratan baru di hati Bumi, tentang bagaimana tidak akan pernah ada yang bisa mencintai lelaki itu, sebesar Ansara mencintainya.

———

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang