21. Interogasi

10.8K 473 6
                                    

"Non, atuh maaf, Bibi tadi sinyalnya susah. Jadi kedepan dulu". Ucap Bi Mai, terpogoh-pogoh berjalan kembali kedalam area supermarket, menghampiri Ansara yang kini tengah berbincang dengan Galaksi.

Galaksi menunjukkan senyumnya ramah, membuat Bi Mai sontak mengangguk. "Halo, Bi. Salam kenal".

Ansara sendiri kebingungan hendak menjawab yang mana duluan, sebab Bi Mai dan Galaksi sama-sama berbicara padanya. "Eh.. Aduh, iya gak apa-apa, Bi. Tadi kamu bilang apa, Mas?".

Galaksi mengembalikan tatapannya pada Ansara. "Itu.. Kalo, saya antar pulangnya, gimana? Kan Mba udah bantu terus".

"Itu.. Aduh, gak usah, Mas. Gak enak kalo repotin. Rumah saya deket juga kok, ini juga niatnya bantu aja pilih-pilih". Balas Ansara sembari menggeleng.

Galaksi menghela nafasnya, tahu akan adanya penolakan di depan mata tapi tak sanggup menahan godaan untuk mengupayakan, berharap hasilnya sebaliknya. "I see. Ngerti sih, walau Mbanya ada yang temenin, pasti masih takut kalo saya antar. Wajar, maaf kalo bikin gak nyaman ya, Mba".

Ansara kembali menggeleng. "Eh, bukan! Gak gitu kok, Mas. An cuma beneran gak biasa ngerepotin orang. Bantuin Mas pilih-pilih begini juga bukan hal sulit kok".

Bi Mai yang mencium adanya keanehan saat melihat gelagat Galaksi saat berbicara dengan Ansara, seakan mendapati maksud sang lelaki yang nampaknya tertarik pada sang gadis. Buru-buru, Bi Mai berdeham. "Non An, sudah mau pulang sekarang? Den Bumi katanya tungguin dirumah".

Ansara langsung teringat. "Ah, iya! Astaga, udah mau siang, An mesti buru-buru pulang!".

Tergesa, Ansara langsung mendorong kereta belanjanya, seakan lupa tengah berbincang dengan Galaksi yang kini malah mengekor sembari terkekeh sendiri karena perilaku Ansara yang tergesa, mendorong kereta belanja sambil masih menenteng plastik buah di sebelah tangan. "Mba? Mba? Itu.. Buah yang udah dipilihin jadi buat saya apa nggak?".

Ansara langsung menghentikan langkah. "Eh, iya. Maaf, ini Mas. Kenapa malah An bawa-bawa sih?".

Galaksi masih terkekeh, gemas sendiri menyaksikan gadis mungil di hadapannya yang kini linglung, panik entah karena apa. Setelah menyerahkan plastik isi buah milik Galaksi, Ansara lantas berbalik dan buru-buru mendorong kereta belanjanya sampai ka kasir. Ditemani Bi Mai, Ansara buru-buru membayar belanjaannya dengan kartu milik Bumi, total mengabaikan Galaksi yang masih juga mengekor dan memilih kasir disebelah Ansara agar dapat menyesuaikan.

"Bi Mai cegat taksi didepan ya, Non. Non An tunggu di sini dulu aja". Pesan Bi Mai sebelum meninggalkan Ansara di depan meja kasir.

Lantas, tanpa sepengetahuan Bi Mai, Galaksi kembali mendekat setelah membayar belanjaannya. "Mba An".

"Eh? Mas? Masih disini?". Sahut Ansara lagi, menoleh kearah sang lelaki.

Galaksi mengangguk. "Mba, sebenarnya kebetulan saya punya kafe. Nah, baru buka, Mba. Kalo ada waktu, mau undang Mba An kesitu untuk cicipi menunya. Pengen tahu pendapatnya. Soalnya, Mba An kayaknya cukup detail menilai sesuatu".

"Oh?". Ansara menatap Galaksi dengan mata indahnya, kemudian berpikir sejenak. "Anu.. Itu..".

"Gak usah sekarang, gak apa-apa, Mba. Mungkin bisa minta nomor atau emailnya? Nanti saya kirim undangannya kesitu, datangnya bisa sesuain kapan Mba An bisa aja". Balas Galaksi, total kehabisan akal memutar otak guna bisa mengupayakan pendekatan pada orang yang tidak peka seperti Ansara.

Ansara nyaris menyebutkan nomornya. "Oh, boleh, nomor An di 081..".

"Non An! Ayo, Non. Taksinya udah dapat". Panggil Bi Mai sembari menyambar barang-barang belanjaan Ansara, memotong pembicaraan keduanya dengan menarik tangan sang gadis agar mengikuti langkahnya.

Galaksi mengerutkan kening. "Eh, bentar, Mba! Kosong delapan satu berapa?".

Terlambat, Ansara sudah lebih dulu menaiki taksinya dan melesat, menghilang begitu saja dari pandangan. Galaksi refleks menepuk jidat, frustasi.

"Gagal lagi aja dapetin nomornya, susah banget sih deketin kamu, Ansara?". Kekeh Galaksi menertawai keadaannya sendiri.

———

Bumi sejak tadi tak henti menatapi pintu utama, entah mengapa Ansara yang tidak pulang-pulang membuatnya cukup gelisah kali ini. Kali pertama rasanya bagi Bumi untuk mendapati perilaku posesifnya yang jarang keluar, bisa muncul ke permukaan begitu saja tanpa disengaja.

Suara pintu dibuka, berikut pemandangan Ansara yang kini menguncir rambutnya asal, masuk kedalam rumah dalam keadaan tergesa, membuat Bumi sempat terbengong. Netra mereka langsung terkoneksi saat itu juga, lantas Ansara langsung menghampiri Bumi. "Mas, maaf perginya kelamaan. Aku gak ngeh, keasikan belanja jadi kesiangan pulangnya. Sebentar ya, aku langsung masak".

"Belanja apaan sampai tiga jam?". Sahut Bumi segera setelah mendengar penjelasan Ansara, tidak memedulikan ini dan itu, membiarkan lidahnya yang mengambil alih percakapan mereka.

Ansara yang semula sudah berada di station dapur, kini berbalik kembali menghadap kearah Bumi, memelintir ujung baju yang ia kenakan karena merasa bersalah. "Tadi beli bahan makanan, Mas. Beli pastry, buah-buahan, sama ada lauk protein juga. Tadi, begitu selesai, langsung pulang kok".

"Naik apa?". Sahut Bumi lagi, masih menatap dengan sama intensnya pada Ansara.

Ansara menatap takut. "Taksi kok, Mas".

"Besok-besok, saya carikan driver. Kamu kemana-mana didampingi driver. Gak usah naik taksi. Dan harus tetap didampingi Bi Mai juga". Balas Bumi lagi, kini memilih bangkit, menyilangkan tangan didepan dada.

Ansara heran sendiri mendengar keinginan Bumi. "Untuk apa, Mas? Apa gak ngerepotin? Kamu aja kerja gak pakai driver?".

"An". Panggil Bumi dengan nada tegas. "Bisa gak, kalo saya ngomong sesuatu gak usah banyak tanya? Nurut aja".

Ansara sontak menelan salivanya. Jelas ada aura yang berbeda dari cara Bumi berbicara barusan. Tidak seperti biasanya, membuat Ansara langsung menunduk, menuruti. "Iya, Mas. Maaf. Aku ikut maumu aja".

Setelahnya, Bumi pergi meninggalkan Ansara di meja dapur, melenggang keluar dari ruangan. Dengan sebelumnya memanggil Bi Mai yang sejak tadi memilih tak ikut campur dan beberes belanjaan Ansara. "Bi, ikut saya bentar".

"Iya, Den?". Ulang Bi Mai memastikan, takut salah dengar.

Bumi lantas mengulangi kalimatnya. "Ikut saya sebentar".

"Baik, Den". Balas Bi Mai, memberi tatapan pada Ansara sebelum meninggalkan ruang makan, mengikuti langkah Bumi.

Ansara sendiri menggigit bibirnya, takut kalau Bi Mai akan dimarahi karena perbuatannya yang mungkin kurang menyenangkan untuk Bumi. Padahal, niat Ansara hanya ingin menyenangkan sang suami, memberinya segala usaha dan niat-niat terbaik. Namun, sepertinya, kali ini Ansara lagi-lagi berbuat salah.

Gadis itu menghela nafasnya panjang. "Mudah-mudahan Bibi gak dimarahin. Kalo Mas Bumi marah sama Bi Mai, An bakal ngerasa bersalah banget. Soalnya, kan An yang mau pergi dan ajak Bi Mai..".

Sang gadis menunduk, merasakan kebingungan yang terus melanda hatinya. Ansara sama sekali tidak mengerti bahwa sikap Bumi yang keras barusan itu, terbentuk karena perasaan posesif yang tumbuh entah dari mana. Entah karena mulai terbiasa bersama, atau memang hanya Ansara yang bisa membangkitkan sisi dominan Bumi yang selama ini tertidur dengan tenang.

Disana, Ansara menyeka ujung matanya yang mulai berair. "Kenapa kayaknya An salah terus sih..? Aku bener-bener bingung".

———

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang