53. Detak

12.9K 446 25
                                    

Ansara memperhatikan layar monitor yang menunjukkan bentuk tak terlalu jelas. Gadis itu memperhatikan titik putih yang bentuknya masih belum sempurna dan begitu mungil. Telinganya juga menangkap suara repetitif yang membuat kening sang gadis berkerut seketika.

"Nah, itu dia, kelihatan ya, Bu. Detak jantungnya juga sudah kedengaran, bagus. Secara keseluruhan, bayinya sehat, kondisinya baik". Ucap Dokter yang memeriksa Ansara.

Itu.. Suara detak jantung bayi An?

Hati Ansara bergetar saat mengetahui bahwa suara indah yang berhasil tertangkap oleh alat USG itu, adalah suara degup jantung buah hatinya. Senyumnya merekah, bersamaan dengan sebulir airmata yang juga jatuh seketika.

Mungkin ini yang namanya mencintai tanpa mengenal. Sebab, seketika, Ansara merasakan dirinya jatuh cinta pada seorang yang bahkan belum ia kenali itu, yang mana merupakan separuh dari dirinya, belahan dari jiwanya sendiri. Hatinya langsung bermonolog saat itu juga.

Sehat terus ya, Nak. An pengen cepet ketemu.

"Ini saya kasih resep vitamin untuk dikonsumsi, Ibu jangan terlalu capek mulai sekarang". Pesan Dokter kepada Ansara seraya menuliskan resep di secarik kertas, lantas sang Dokter beralih pada Galaksi yang duduk disebelah Ansara. "Istrinya dijagain ya, Pak. Jangan sampai banyak pikiran, apalagi stress. Kalo susah makan, dituruti aja pengennya apa. Yang penting ada yang masuk".

Galaksi terkejut saat sang Dokter berbicara padanya, tidak menyangka akan dianggap sebagai suami Ansara. Lelaki itu melirik Ansara sekilas yang juga menatap kearahnya, sebelum berakhir menjawab. "Iya, Dok. Akan saya jaga sebaik-baiknya".

Usai menebus resep, berikut menyelesaikan administrasi, Galaksi menghampiri Ansara yang terduduk di bangku ruang tunggu. Lelaki itu lantas menyerahkan plastik isi vitamin kepada Ansara. "Yuk, pulang? Ini vitaminnya".

Ansara mendongak, kemudian menunjukkan raut sedih. "Maaf ya, Mas. An ngerepotin banget. Sampai Dokter tadi ngira kamu suami An".

Galaksi tersenyum mendengarnya, lelaki itu kemudian duduk di sebelah sang gadis. "Gak ada repot, An. Justru saya berharap yang Dokter bilang tadi jadi kenyataan. Omongan saya tempo hari itu serius, saya bersedia jadi sosok ayah untuk anakmu jika memang diperlukan".

Ansara lantas menunduk, menghindari tatapan Galaksi untuknya. "Aku gak bisa jawab apa-apa, Mas".

Galaksi lantas mengusak kepala Ansara lembut. "Gak usah dipikirin sekarang, masih terlalu awal juga. Kamu aja pasti masih kaget karena kehamilan ini, kan? Udah, yang terpenting sekarang, kamu jaga kesehatan. Jangan banyak pikiran lagi. Inget, ada yang harus kamu prioritasin di dalam diri kamu".

Ansara mengangguk, menyampirkan senyum di wajahnya. "Iya, Mas".

———

Mama Bumi mendapati sang anak duduk terdiam di satu sudut ruangan. Lelaki itu sama sekali tak bergerak dari sana, masih mengenakan polo shirt dan celana bahan yang sejak kemarin tak diganti. Bumi hanya duduk diam di salah satu bangku rumah duka, menunduk kebawah dengan raut kosongnya.

Sang Mama lantas ikut duduk, kemudian menyentuh pundak Bumi. "Sayang, kamu pulang dulu. Semenjak di rumah sakit, kamu gak pulang. Istirahat lah, besok
kesini lagi sebelum Gepa dikebumikan".

Bumi terus terdiam, lelaki itu hanya mengangguk samar. Hal itu membawa sendu di hati sang Mama,
lantas ia kembali berbicara pada putra bungsunya itu. "Tadi An kesini, cuma sebentar. Tapi, Mama sempet ketemu. She looks no better than you, kelihatan banget kalian berdua tersiksa karena permasalahan ini. Don't you want to fix it?".

"I don't know how, Ma". Balas Bumi, sama sekali tak menaikkan pandangannya.

Mama Bumi lantas meraih sesuatu dari dalam tas berwarna ivory miliknya. Sebuah amplop cokelat yang berukuran tak besar. Wanita itu kemudian memberikannya pada Bumi. "Ini, kamu buka deh".

Pada akhirnya, Bumi mengangkat pandangannya, menatap bingung kearah sang Mama. "Ini apa, Ma?".

Sungguh, Bumi masih memiliki trauma saat memegang amplop cokelat, sebab bentuknya mirip dengan amplop berkas perceraian yang Ansara layangkan untuknya saat itu. Namun, Bumi memberanikan diri untuk membuka, menarik selembar kertas dengan gambar dua anak manusia disana.

Anak laki-laki dan perempuan yang masih kecil sekali, mungkin usianya baru sekitar empat tahun. Bumi mengenali dirinya sendiri di foto itu. Tapi tidak dengan anak perempuan di sebelahnya. Dua mata indah sang anak perempuan, langsung menarik perhatian Bumi.

"Itu fotomu dan Ansara". Ucap Mama Bumi singkat, membuat Bumi menoleh cepat dengan raut tak percaya. Sedangkan, sang Mama melanjutkan. "Itu fotonya Gepa yang ambil, waktu kita ke rumah Ansara yang di Bandung. Kamu mungkin gak inget karena masih terlalu kecil".

Bumi menggeleng. "Gak mungkin. Bumi gak pernah ketemu An".

"Seandainya kamu inget masa kecilmu, kamu pasti kaget. Soalnya, pulang dari Bandung kamu gak berhenti ngomongin An. Sampai bilang suatu hari nanti mau sama-sama An sampai tua. You were obsessed with her ever since you saw her for the first time, sayang. You just don't remember".

Kening Bumi makin berkerut mendengarnya. "Then how come I have zero memories of her when we were little, Ma?".

Mama Bumi tersenyum. "Dulu kamu panggilnya bukan An. Tapi, Sara".

Sara.

Ingatan Bumi langsung berdatangan layaknya kilat yang menyambar, sekilas dan tak begitu jelas. Tapi, kilasan dirinya yang masih kecil, bermain dengan anak perempuan cantik yang ia panggil Sara itu, terlihat jelas.

"Sara itu.. Ansara?". Ucap Bumi tak percaya, menuntut jawaban dari sang Mama.

Wanita di sebelah Bumi itu tersenyum sekali lagi. "Iya. Kamu inget? Ansara itu, Sara mu yang dulu kamu taksir itu. Your love at the first sight. Sayang setelah itu kita harus menetap di Singapore bertahun-tahun karena kerjaan Papa. Mungkin kalo nggak, kalian akan lebih sering ketemu dan kamu gak mungkin sampai lupa".

Astaga, pantas saja Bumi merasa familiar saat memandang foto-foto kecil Ansara saat mereka menginap di Bandung waktu itu. Ternyata penyebabnya adalah karena wajah itu sudah tersimpan pada kotak memori di otak Bumi, tersegel rapi disana bak tak tersentuh.

"Kalo bukan takdir, Mama gak tahu apa namanya pertemuan kalian itu". Lanjut sang Mama.

Bumi meremat kertas foto di tangannya. Merasakan hatinya makin diremas setelah mendengar penuturan sang Mama. Lelaki itu kemudian menatap kembali pada wanita disebelahnya. "Kalau ternyata setelah ini, Bumi benar-benar kehilangan An, apa itu bagian dari takdir juga, Ma?".

Mama menjeda lama jawabannya, menghela nafasnya berat sebelum kembali menepuk pundak sang anak. "Bukan. Itu tandanya, perjuangan kamu mempertahankan Ansara belum maksimal. Sekarang Mama tanya balik ke kamu, apa yang kamu mau sekarang? Kamu mau perbaiki semuanya, atau justru lepas Ansara dan biarin dia bahagia tanpa kamu?".

Entah kenapa, membayangkan Ansara bahagia dengan orang lain selain dirinya, membuat perut Bumi mual.

Lelaki itu menelan salivanya, sekali lagi tertunduk memandangi dua figur di dalam foto yang ia genggam. Lelaki itu kembali tenggelam dalam kalutnya, mengutuk keadaan yang membuatnya sama sekali tak berdaya.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang