62. Kembali Untukmu

13.7K 494 15
                                    

Kembalinya Ansara ke rumah miliknya dan Bumi, menghadirkan suatu suasana yang begitu berbeda. Bi Mai yang menyambut kehadiran sang nyonya pun sampai meneteskan airmata nya tatkala mendapati sosok cantik itu masuk kedalam rumah. Satu pelukan untuk Bi Mai dari Ansara, membuat Bumi menekuk bibirnya kebawah. Cemburu katanya.

Kok saya gak dipeluk begitu, sih?

Dalam hati, Bumi menggerutu. Namun, ia memilih diam, sebab tahu bahwa tidak mungkin meminta terlalu banyak pada sang puan kini. Mendapatkan kehadirannya kembali di dalam rumah saja rasanya sudah lebih dari cukup. Bumi tahu, kesalahannya pada Ansara memang sudah seluas dunia, membuatnya tak mau berlaku tak tahu diri dan melampaui bisanya.

Tubuhnya yang amat lelah, terlupakan seketika saat mendapati aroma manis dari seorang Ansara yang kini kembali memenuhi seisi rumah. Presensi sang puan yang meski masih sulit berjalan itu, mampu menciptakan nuansa yang begitu menyenangkan bagi seisi rumah.

Ansara sesekali berhenti, menengok kedalam satu persatu ruangan untuk mengingat kembali bagaimana denah rumah yang sebenarnya terasa nyaman untuknya itu. Ia berulang kali tersenyum, sesekali juga kehilangan senyumnya, seakan mendapatkan kilasan balik ingatan di masa lalu yang mungkin menyenangkan, pun juga menyedihkan baginya.

Mencapai kamar, Ansara sempat menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu. Gadis itu memperhatikan, akan betapa berantakannya kamar mereka yang biasanya selalu rapi berkat tangan magisnya. Ansara menoleh, memberi tatapan penuh tanya pada Bumi yang berdiri disampingnya dan menuntun langkahnya sejak tadi.

"Kenapa berantakan banget?". Tanya Ansara heran.

Melihatnya, Bumi hanya cengengesan. "Ini kan satu-satunya bagian rumah yang gak boleh dimasukin Bi Mai. Jadi wajar kan, kalo berantakan? Gak ada yang rapiin soalnya".

Ansara makin penasaran. "Sejak kapan Bi Mai gak boleh masuk ke kamar ini?".

Bumi kembali menunjukkan senyum kikuk. "Sejak gak ada kamu. Kamu jangan ketawain saya, ya? Bi Mai gak saya bolehin masuk, soalnya saya gak mau wangi kamu hilang dari ruangan ini".

Mulut sang puan sampai terbuka saat mendengar jawaban Bumi. Konyol sekali menurutnya. "Aneh banget, alasan macam apa itu?".

Bumi mengedikkan bahu. Lelaki itu lantas kembali menuntun Ansara untuk masuk kedalam kamar, memapahnya perlahan sebab sebelah kaki Ansara masih dalam kondisi penyembuhan. "Ya, memang itu alasannya. Soalnya cuma disini yang wanginya paling tercium".

Setelah mencapai kasur, perlahan Bumi membantu Ansara untuk duduk. Sedangkan, sang lelaki berlutut untuk melepaskan sebelah sepatu yang Ansara kenakan. Perlahan sekali, seakan takut menggores kulit putihnya. Melihatnya, Ansara kembali mengerutkan kening. "Aneh banget lihat kamu yang sekarang rasanya".

Bumi lantas mendongak. "Kenapa? Makin ganteng, ya?".

"Makin gak jelas". Sembur Ansara tak basa basi, yang disusul oleh tawa renyah sang suami.

Padahal, Bumi ingin sekali mengecup pergelangan kaki Ansara, menunjukkan pada sang puan bahwa kini ia rela melakukan segalanya. Namun, niat itu ia urungkan. Bumi mencoba menjaga tindakannya agar tak diluar batas dan berujung bisa membuat Ansara tak nyaman. "Kamu sih, pake kabur segala. Saya jadi aneh gini, kan? Gak kamu urusin soalnya".

"Kan ada Bi Mai?". Sahut Ansara dengan sebelah alis dinaikkan.

Dengan lembut, Bumi membantu Ansara bersandar diatas kasur. Lelaki itu juga memastikan suhu ruangan cukup sejuk, agar Ansara bisa beristirahat. "Bi Mai mana bisa rawat saya kayak kamu. Memangnya dia bisa masak seenak kamu? Cukurin wajah saya kayak kamu? Apa lagi kopinya, wah, gak mungkin bisa seenak kamu, deh".

Ansara sontak mengalihkan pandang, tersipu sendiri saat mendengar penuturan Bumi. "Mana ada begitu".

Bumi lantas memilih duduk di ujung kasur, lantas memandang Ansara dengan tatapan penuh cinta. "Oh, satu lagi dan yang paling penting. Bi Mai mana bisa panggil saya 'Mas' kayak kamu?".

"Aku kan gak panggil kamu gitu lagi". Sahut Ansara cepat.

Disana, Bumi menekuk bibirnya kebawah. "Iya, makanya saya kangen panggilan itu. Tapi, gak apa-apa, pelan-pelan aja. Nanti, kalau udah maafin saya seutuhnya, panggil saya 'Mas' lagi, ya?".

Ansara menggigit bibir, matanya pun berkedip repetitif, diam-diam makin tersipu karena merasakan perubahan sikap Bumi untuknya. Namun, gadis itu tetap menjaga sikapnya. "Kalo aku inget".

Bumi memicingkan matanya, namun bibirnya tersenyum. "Saya ingetin terus nanti, tenang aja".

Tak tahan mendapatkan perlakuan seintens itu, Ansara kembali mengalihkan pandang. Sebab takut rona di pipinya yang menghangat itu menunjukkan diri.

Melihat Ansara yang masih menghindari perlakuan manisnya, Bumi hanya tersenyum. Tahu bahwa perjuangannya masih panjang, lelaki itu memilih bersabar. "Ya, udah. Kamu istirahat dulu sekarang. Saya mau beresin kamarnya, biar gak berantakan lagi. Habis itu, saya siapin makan sama obatmu".

Baru saja Bumi hendak beranjak, Ansara sudah kembali berucap. "Eh, itu.. Aku belum kasih kabar ke Mas Gala".

Pergerakan Bumi langsung terhenti seketika. Rahangnya mengetat tatkala mendengar nama itu keluar dari bibir Ansara. "Untuk apa kamu kasih tahu dia? Sepenting itu dia buat kamu sampai dia harus tahu? Memangnya hubungan kalian apa? Kamu itu masih istr....".

Perkataan Bumi terhenti seketika, sebab Ansara menutup mulut sang lelaki dengan ujung jemarinya. "Stop dulu negative thinking-nya, Bumigantara. Aku cuma harus kabarin dia, karena dia bosku. Kamu lupa kalo selama kita pisah aku kerja sama dia? Semenjak kecelakaan, aku udah bolos beberapa hari dari kafe".

Bumi menahan kesalnya, menekuk bibirnya kebawah bak anak kecil yang tengah merajuk. Lelaki itu lantas menghela nafasnya panjang. "Berhenti aja kerja dari situ. Kamu gak perlu kerja lagi, saya bisa hidupin kamu dan anak kita dengan layak. Bukan layak lagi malah, berlebihan".

Mendengar jawban Bumi, Ansara memutar bola matanya. "Ya, tahu, gak usah diperjelas. Cuma kan aku gak mungkin berhenti kerja gitu aja tanpa ngomong. Gak profesional namanya. Seenggaknya, biarin aku bicara dulu sama Mas Gala".

"Masih aja panggil dia Mas.. Giliran saya, gak dipanggil Mas juga". Gerutu Bumi.

Ansara menyilangkan tangannya di dada. "Kamu nih bisa fokus ke inti obrolan kita dulu gak, sih?".

Bumi kembali menghela nafasnya. "Iya, iya, sayang. Kenapa jadi kamu yang galak, sih? Kebalik kita. Ya, udah. Nanti saya bawain hpmu, kamu telfon aja dia. Tapi di speaker, ya? Biar saya denger. Kalo dia mau ketemu, bilang gak boleh. Soalnya kamu lagi perawatan intensif sama saya".

Ansara menatap malas. "Banyak banget syaratnya".

Bumi lantas bangkit berdiri. "Terserah, kalo gak mau, gak saya kasih hpnya. Saya buang aja, biar kamu gak bisa telfon dia. Gimana?".

Ansara berdecak. "Iya, iya! Aku speaker, biar kamu bisa denger. Deal?".

"Deal, sayangku. Bentar, ya, Ayah bersihin kamar kita dulu, biar kamu dan anak kita nyaman. Habis itu baru telfonan sama bosmu itu, inget ya, urusan kerjaan aja". Ucap Bumi sebelum berlalu dan mulai membersihkan ruang kamar luas mereka.

Menyisakan Ansara yang keheranan di tempatnya. Seakan tengah menghadapi versi lain dari seorang Bumigantara yang belum pernah ia temui sejak awal mereka saling mengenal.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang