9. Salah

13.2K 588 1
                                    


"Astaga, ini benar An? Cantik sekali, cocok pakai gaun itu, Mama jadi pangling loh, ini". Ujar Mama Bumi saat mendapati Bumi dan Ansara di ruang makan yang sama dengannya.

Disana, semua sudah hadir. Papa Bumi, sang Kakek, Patria, dan Mama Bumi, semua sudah lebih dulu disana, menanti kehadiran anak bungsu keluarga Rompawan, yang kini tengah mempertontonkan akting terbaiknya, memperlakukan Ansara bak seorang ratu tanpa diminta. Dengan sigap, Bumi menarik kursi milik Ansara, mempersilahkan sang gadis untuk duduk, untuk kemudian menarik bangku miliknya sendiri dan duduk disebelah Ansara.

Ansara tersipu mendengar pujian itu. "Makasih, Ma.. Ini bajunya pilihan Mas Bumi".

Mama Bumi lantas menaikkan alis. "Wow, tumben banget Bumi repot-repot pilihin baju segala?".

Bumi terlihat santai, menjawab singkat. "Tadi lagi ada waktu".

Sedangkan Kakek Bumi, Patria, sejak tadi sibuk memperhatikan bebatan perban di tangan kiri Ansara, sengaja tidak ikut berbasa-basi dan langsung bertanya. "Ansara tangannya kenapa? Diperban begitu?".

Mendengar pertanyaan Patria, Ansara gugup sendiri. Gadis itu sempat terbata, berujung membawa tangan yang terbalut itu kebawah, ke pangkuannya secara refleks. "I—Ini.. Kegores aja kok, Gepa". Balas Ansara, menggunakan panggilan yang sama dengan yang Bumi pada Patria.

Makin memicingkan mata, Patria tak langsung percaya. "Coba dibuka perbannya".

"Hah?". Sahut Ansara, terkejut sendiri sebab tak menyangka akan mendapat permintaan segamblang itu. "T—Tapi.. Kalau dibuka nanti.. Lukanya gak ketutup, Gepa".

Patria mengisyaratkan pada salah seorang yang berdiri diujung ruangan untuk mendekat. "Panggil Elora, suruh bawa peralatan P3K kesini". Setelah berbicara dengan seorang yang Ansara yakini adalah salah satu pelayan keluarga, Patria kembali meminta Ansara membuka lilitan perban di tangannya. "Perbannya akan langsung diganti sama Elora, silahkan dibuka perbannya, An".

Ansara menggigit bibir, terlihat begitu gelisah. Berbeda dengan Bumi yang malah terlihat santai, bahkan menepuk pundak Ansara untuk meyakinkannya, lelaki itu juga berbisik tipis. "Buka aja, An. Gepa gak bisa dilawan kalo udah begitu. Dia cuma mau lihat pasti, itu luka beneran luka gores atau tanda kekerasan dari saya. Gepa takut saya diam-diam KDRT ke kamu".

Ansara makin menunduk. Gadis itu ketakutan sendiri. Pasalnya, sejak tadi, ia pun tidak mengakui pada Bumi bahwa luka di tangannya yang tertutup itu adalah luka bakar. Gadis itu takut, Bumi akan marah terhadapnya karena sudah berbohong dan menutup-nutupi.

Namun, Ansara tidak punya banyak pilihan. Gadis itu tahu, tidak ada artinya menentang perintah orang yang paling memiliki kuasa di keluarga ini. Terlebih, sekarang, semua mata sudah mengarah padanya. Dengan menahan gemetar, Ansara meraih sebelah tangannya, mencari ikatan perban yang tadi dibuat oleh Bi Mai, membukanya dan dengan perlahan membuka lilitannya, sedikit demi-sedikit, hingga akhirnya terbuka seutuhnya.

Seluruh netra disana, semua mengarah ke satu titik, yaitu punggung tangan Ansara yang kini terbebas dari perban dan ternyata melepuh total. Bumi adalah yang paling syok, lelaki itu sampai memutar duduknya mengarah ke Ansara, tidak percaya akan apa yang kedua matanya lihat. "An?! Apa-apaan?!".

Mama Bumi pun sampai menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Astaga...".

"Bumi, luka bakar seperti itu kenapa cuma di perban?". Papa Bumi ikut berkomentar, turut terkejut dengan pemandangan di depan matanya.

Bumi menggeleng, sama sekali tak mengerti. "Bumi sama sekali gak tahu, Pa, ini.. Bumi baru lihat. Tadi, An bilangnya cuma kegores".

"Dan kamu percaya?". Serobot Patria, memotong bicara cucunya. Mata pria paruh baya itu memicing, penuh selidik. "Istrimu jelas dari tadi nahan sakit, berulang kali dahinya menyerngit, dan kamu gak ngeh? Suami macam apa kamu, Bumigantara?".

Ansara menengahi, menggeleng kuat dan ikut bersuara. "Gepa, maaf, An lancang, tapi.. Ini bukan salah Mas Bumi sama sekali. Memang An yang gak terbuka. An malah menutupi dan bilang kalau ini cuma luka gores. An gak berniat apa-apa, cuma.. Gak mau bikin Mas Bumi khawatir, maaf, Gepa".

"Elora!". Panggil Patria kencang, disusul kehadiran seorang wanita dengan kotak putih di tangannya. Selanjutnya, Patria menunjuk kearah Ansara. "Segera cek lukanya. Itu jelas sekali luka bakar. Kalau perlu penanganan dokter, segera telfon Dokter keluarga kita, minta dia kesini sekarang".

Sedangkan di tempatnya, Ansara terdiam, kebingungan sendiri sebab atmosfer meja makan itu tiba-tiba saja berubah tegang. Dengan airmata tergenang, sang gadis menoleh kesamping, bertemu tatap dengan Bumi yang kini masih membeku di tempatnya, menatap tak percaya pada Ansara. Bibir Ansara kelu, hingga hanya bisikan 'maaf, Mas'-lah yang terdengar, samar sekali hingga hanya kedua manusia itu yang mendengar.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang