8. Presensi Ansara

13.7K 571 4
                                    


"Non, kan Bibi tadi bilang, kalo mau dibantu, biar dibantu aja. Jadi melepuh begini tangannya, Non". Ucap Bi Mai, khawatir sendiri saat mendapati luka bakar di punggung tangan Ansara, cukup luas ketika dibaluri dengan salep khusus penanganan luka bakar.

Ansara meringis, menahan perih dan panas yang bahkan sudah membuat sebelah tangannya mati rasa. "Tadi tuh gak sengaja, Bi. Memang suka ceroboh aku tuh, dari kecil. Gak apa-apa ini mah, dikasih salep juga besok udah mendingan harusnya".

"Ini mah harusnya ke dokter, Non. Pasti bakal terkelupas kulitnya, takutnya infeksi kalo gak dicek dulu". Balas Bi Mai, masih berupaya membujuk Ansara agar mau ke dokter.

Jujur saja, sejak tadi, Bi Mai sudah berupaya keras membujuk sang gadis agar mau berobat, mengobati kondisi luka bakar yang makin mengkhawatirkan itu. Namun, Ansara terus menolak. "Gak usah, Bi. Gak apa-apa, beneran. Tolong ditutup perban aja, biar gak kelihatan".

Ansara menahan ringisannya saat Bi Mai membalut lukanya dengan perban, meski titik airmata di sudut matanya sudah terlihat, Ansara masih terus berupaya terlihat tidak apa-apa. Membuat hati Bi Mai nyeri melihatnya. Aneh, padahal baru beberapa hari kerja di rumah baru itu. Tapi, Bi Mai seakan sudah menganggap Ansara sama dengan Bumi. Sama-sama harus dijaga, meski tak saling mengenal sejak kecil.

"Makasih ya, Bi. Oh, iya. Kalo Mas Bumi tanya, bilang aja ini luka kegores ya, Bi. Jangan bilang kebakar". Pesan Ansara saat Bi Mai membebat perban di lengannya.

Bi Mai mengerutkan kening. "Atuh kenapa, Non? Bukannya Den Bumi harusnya tahu?".

"Jangan, Bi. Takutnya nanti Mas Bumi.. Marah. Atau nanti malah dia kepikiran. Kasihan, dia udah banyak banget yang dipikirin. Lagian, ini kan salah An yang ceroboh". Balas Ansara disertai senyuman, membuat Bi Mai sampai menghela nafas saking bingungnya.

Pada akhirnya, Bi Mai mengangguk. "Ya, sudah, Non. Bibi gak bilang apa-apa. Ini udah, kekencengan gak, Non, lilitannya?". 

"Enggak, Bi". Balas Ansara. Ditengah pembicaraan mereka, ponsel Ansara tiba-tiba saja berbunyi, membuatnya mengecek layar ponsel tersebut dan menemukan nama Bumigantara disana. Netra Ansara langsung melebar, kaget sendiri saat menemukan suaminya itu meneleponnya secara tiba-tiba.

Ansara gelagapan sendiri saat menjawab. "Halo, M—mas?".

"An". Panggil Bumi singkat, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kamu dirumah kan?".

Ansara mengerutkan kening. "Iya, ini dirumah. Kenapa, Mas?".

"Saya ada kirim barang kerumah, kamu buka nanti, terus pakai semuanya. Semua ya, An, jangan ada yang kelewat. Nanti jam enam saya jemput dirumah". Perintah Bumi, membuat Ansara makin bingung.

Ansara menggaruk belakang lehernya. "Maksudnya? Pakai apa, Mas? Gak ngerti".

"Nanti malam, Mama minta kita kerumahnya. Makan malam resmi, sekeluarga. Tadi saya kirim baju aksesoris dan parfum ke rumah, kamu pakai buat datang nanti malam. Jangan pakai bajumu yang biasa kamu pakai". Balas Bumi menjelaskan.

Ansara mengangguk. "Memang bajuku yang biasanya kenapa, Mas?".

Bumi terdengar berdecak dari ujung sana. "Kamu kalo saya ngomong jangan banyak tanya gak bisa ya? Pusing saya dengarnya".

Ansara langsung mengatupkan bibirnya. "M—Maaf. Iya, nanti begitu sampai aku coba ya, Mas".

"Pakai, An. Jangan dicoba doang. Begitu saya sampai rumah nanti, harus udah siap. Saya gak mau nunggu". Balas Bumi lagi, menegaskan.

Ansara tidak punya jawaban lain selain mengiyakan permintaan Bumi. "Iya, Mas. Ngerti".

"Bagus. Ya, udah. Saya mau bilang itu aja. Saya mau lanjut kerja lagi". Sahut Bumi dari ujung sambungan.

Sang gadis kembali mengangguk, otomatis. "Iya, selamat kerja, ya, Mas. Makasih kiriman bajunya".

Tanpa sepatah kata pun lagi, Bumi menutup panggilan mereka, membuat Ansara tersenyum pahit. Sungguh berbeda sekali caranya berbicara dengan Bumi, dibanding dengan cara kedua orangtuanya berkomunikasi, yang mana begitu penuh dengan kasih sayang, penuh dengan panggilan sayang. Ansara kian menunduk, merasakan kehampaan yang makin lama  makin menggerogoti batinnya.

Ia bingung. Sangat tidak terbiasa menjadi seorang yang begitu kesepian. Tidak terbiasa menjadi seorang yang tidak dianggap, seperti sekarang.

———

Ansara berulang kali mengecek figur dirinya di pantulan cermin, bolak balik memutar badannya untuk melihat kondisi punggung terbukanya yang terekspos dengan jelas di balutan gaun hitam selutut yang Bumi belikan untuknya. Ansara terlihat tak nyaman, menarik-narik gaunnya sendiri karena merasa kulit terbukanya terlihat.

Matanya yang sejak tadi sibuk menatap bayangan di cermin, jadi bertemu tatap dengan milik Bumi, yang ternyata sudah memperhatikannya dari ambang pintu kamar mereka. Tatapan Bumi begitu intens, lelaki itu juga tak banyak berkomentar seperti biasanya, hanya membiarkan matanya menatap lebih lama, mendetail, dari ujung kaki Ansara, hingga ke ujung kepala, seakan tengah memberi penilaian di benaknya.

Ansara yang salah tingkah, jadi berbalik, dan menatap langsung ke manik mata milik Bumi yang belum juga berkedip. "M—Mas, dari kapan disitu?".

"Belum kelar siap-siapnya?". Bukannya menjawab, Bumi malah balik bertanya.

Ansara menutupi rona di pipinya dengan menunduk. "Ini, aku.. Agak gak percaya diri. Kok bagian punggungnya rendah banget ya, Mas? Jadi kelihatan punggungku. Dari tadi coba tutupin, tapi gak bisa. Apa pakai cardigan aja ya, Mas, Untuk tutupinnya?".

"Kenapa harus ditutupin?". Respon Bumi datar, membuat Ansara sontak menatapnya.

"Hah?". Ansara membalikkan badan, dengan polosnya menunjukkan bagian tubuhnya yang terbuka di hadapan Bumi. "Ini loh, Mas.. Bagian punggungnya kebuka sampai ke pinggang. Kalo aku banyak gerak, takut makin turun".

"Masalahnya dimana? Memang saya pilih yang begitu modelnya". Balas Bumi, sama sekali tak merubah nada bicaranya. Matanya yang tadi sempat menatap intens ke punggung Ansara, kini kembali berkoneksi dengan milik Ansara melalui cermin,

Ansara menoleh, rona merah di pipinya makin jelas terlihat. "Oh.. Ini kamu yang pilih, Mas?". Gadis itu lantas terdiam sejenak, sebelum pada akhirnya menyetujui. "Kalau gitu.. Ya, udah. Gini aja".

"Aksesorisnya dipakai". Kata-kata Bumi barusan membuat Ansara buru-buru mencari aksesorisnya, membuat tubuh mungil itu tanpa sadar menunduk, hingga bagian belakang pinggang mungilnya nyaris seluruhnya terekspos.

Mata Bumi, menangkap pemandangan itu, terkunci disana untuk beberapa detik, layaknya ditarik gelombang magnet yang sulit sekali ditahan. Jika saja matanya tak teralih oleh lilitan perban di tangan kiri Ansara, mungkin saja netra lelaki itu tak akan berhenti berada dibawah, menjelajahi bentuk bokong Ansara yang tercetak jelas di balutan gaun pas badan yang ia pilihkan.

"Itu tanganmu kenapa di perban?". Ucap Bumi spontan.

Ansara memilih tetap membelakangi Bumi, sembari buru-buru mengenakan kalung dan anting yang lelaki itu belikan untuknya secara cepat. "Oh.. Ini kegores tadi pas masak, Mas. Gak apa-apa kok".

Detik selanjutnya, Ansara berbalik, berjalan mendekat kearah Bumi dan pada akhirnya menunjukkan hasil riasan sederhana di wajah sang gadis yang sebelumnya tak begitu Bumi perhatikan. Ansara tersenyum, membuat bibir merahnya yang dipoles lipstik, jadi makin terlihat menarik. "Yuk, Mas? Kamu buru-buru, kan? Maaf jadi nunggu".

Bumi menelan salivanya, untuk yang pertama kalinya menunjukkan raut grogi di hadapan Ansara setelah mereka menikah selama beberapa minggu. Lelaki itu lantas berbalik, berjalan lebih dulu dan mendengarkan langkah Ansara mengekor di belakangnya.

Ansara memang benar-benar istri penurut. Sekilas tadi, Bumi memperhatikan, semua yang ia intruksikan, benar-benar Ansara lakukan. Gaun, aksesoris, bahkan parfum pilihan Bumi, semua lengkap Ansara pakai. Hingga kini, aroma manis bercampur bunga-bungaan itu, tercium jelas di indera penciuman Bumi, membuatnya perlu berkonsentrasi lebih memerangi diri agar tidak menoleh, dan meneguk presensi Ansara sekali lagi.

Seperti yang matanya inginkan.

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang