7. Luka

15.9K 668 8
                                    


Hari berikutnya, Ansara keheranan sendiri saat menemukan kosong di gudang. Seluruh pakaiannya yang ia biarkan dilantai, hilang sudah. Entah kemana perginya. Sang gadis terbingung sendiri, sebab ia sudah merencanakan agenda mandi pagi ini sebelum menyiapkan sarapan untuknya dan Bumi.

Masih terbingung, Ansara bergerak menuju kearah dapur, mencari eksistensi Bi Mai yang ternyata sedang sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Ansara menepuk pundak Bi Mai pelan. "Bi".

Bibi Mai menoleh sembari membawa senyuman ke wajah. "Iya, Non?".

"Itu.. Bibi lihat baju-baju yang di taruh di gudang gak ya? Yang ditumpuk. Kok gak ada ya?". Tanya Ansara bingung.

Bi Mai mengerutkan kening sejenak, lalu menjawab. "Oh, yang itu.. Sudah Bibi taruh di lemari Den Bumi. Baru aja tadi, Non. Kenapa?".

Netra Ansara membesar seketika. "Aduh! Gawat".

Buru-buru, Ansara berbalik, kemudian berlari kecil menuju ke lantai atas, tempat dimana kamarnya berada, tidak mengidahkan panggilan Bi Mai akibat takut akan ketahuan Bumi lebih dulu. Gadis itu segera mengecek keadaan kamar yang ternyata kosong. Dengan segera, ia berlari kearah lemari, kemudian terkesiap saat menemukan baju-bajunya yang sudah tersusun rapi disana. Tanpa pikir panjang, Ansara menarik satu persatu pakaiannya keluar dari lemari, berupaya secepat mungkin agar Bumi tidak sempat melihat.

"Ngapain kamu?".

Suara bariton yang menyapa telinga Ansara, membuatnya berhenti bergerak seketika. Gadis itu membeku, takut menoleh karena tahu bahwa Bumi kini memergokinya memindahkan baju-baju yang sudah lelaki itu larang berada di lemari yang sama. Dengan takut, Ansara menoleh, mencoba menjelaskan namun terbata. "I—Ini mas.. Sumpah, aku gak tahu kalo bajuku dipindah kesini. Ini lagi ku keluarin kok, sebentar ya, Mas. Jangan marah".

Ansara lantas kembali pada kegiatannya tanpa mendengar balasan dari Bumi, sebab takut akan mendapat omelan lainnya dari sang lelaki. Gerakannya yang buru-buru, membuat beberapa helai baju sempat terjatuh di lantai.

Tiba-tiba, suara Bumi kembali terdengar. "Gak usah dipindahin lagi".

Gerakan Ansara langsung terhenti, gadis itu kembali menatap kearah lawan bicaranya. "M—maksudnya, Mas?".

Bumi memilih tak menatap balik, lelaki itu menjawab sembari berlalu menuju ke meja rias, mencari arlojinya. "Taruh aja disitu, gak usah dipindah. Masih muat kan?".

"Tapi, waktu itu kamu bilang...".

Belum sempat Ansara menyelesaikan kalimatnya, Bumi sudah memotong. "Memang kalo dipindah mau kemana? Gudang?".

Ansara lantas terdiam. Gadis itu menggigit bibirnya, kemudian menunduk, menatapi ujung kakinya sendiri akibat salah tingkah. "I—iya".

"Udah buruan deh, masukin lagi bajunya. Saya mau mandi ini. Sampai kapan nunggu kamu di depan lemari begitu?". Balas Bumi acuh.

Ansara kemudian menuruti, mengembalikan baju-bajunya kedalam lemari yang sama dengan yang Bumi pakai. Gadis itu menahan senyumannya, sebab satu perasaan senang membuncah begitu saja di hatinya. "Biar aku siapin pakaianmu, Mas. Kamu mandi aja, nanti ku taruh di atas kasur".

Tanpa banyak protes seperti biasanya, Bumi melenggang begitu saja ke kamar mandi, membiarkan Ansara menyiapkan pakaian kerjanya hari ini. Saking senangnya Ansara, gadis itu sampai melantun sendiri, kali ini tersenyum manis karena merasakan perubahan kecil di sikap Bumi untuknya.

Mudah-mudahan, nanti, bisa lebih baik dari ini hubungan kita ya, Mas.

———

"Non, Bibi ke pasar dulu, ya, ada beberapa yang mau dibeli. Ini Non An beneran gak mau dibantuin aja masaknya?". Sapa Bi Mai pada Ansara yang tengah sibuk memasak di dapur.

Ansara menyeka keningnya sebelum menjawab. "Oh, iya, Bi. Gak apa-apa, ini biar An yang selesaiin. Uang belanjanya udah An taruh di meja tengah ya, Bi. Hati-hati dijalan".

"Iya, Non, An. Permisi ya, Non". Balas Bi Mai, meninggalkan presensi Ansara yang masih bergelut di dapur.

Hari ini, Ansara masak lumayan banyak. Menu sarapan nasi goreng dengan telur, ditambah dengan ayam goreng, dan buah-buahan yang sudah dipotong rapi, satu-persatu, tersaji begitu saja di meja makan. Ansara hanya perlu menyelesaikan seluruh sajian ayam gorengnya sedikit lagi, mengangkatnya dari minyak panas, dan...

"Aah!!". Pekik sang gadis, memegangi tangan kanannya yang perih bukan main akibat tersiram minyak panas.

Rona kemerahan mulai muncul di punggung tangan Ansara, membentuk bercak lumayan luas yang terasa perih bukan main. Buru-buru gadis itu menyiram luka bakarnya dengan air mengalir dari bak cuci piring, saking perihnya, tak terasa ia sampai mengeluarkan airmata.

Langkah kaki Bumi yang mendekat, membuatnya buru-buru menutup keran air dan menyeka kedua tangannya di baju. Rasa perih dan panas itu terabaikan, airmata yang sempat jatuh pun kini sudah terhapus, berganti dengan senyuman yang ia paksakan untuk Bumi. Sebelah tangan Ansara dibawa ke belakang, dibiarkan tersembunyi agar tidak terlihat.

Presensi Bumi, membuat Ansara terhenyak seketika. Tak bisa bohong, Bumi memang begitu tampan dengan balutan kemeja hitam dan celana senada, berdiri menatapinya dengan ekspresi datar.
Ansara perlu menggeleng sedikit guna menyadarkannya dari lamunan akibat terpesona dengan suami sendiri. "Mas Bumi, sarapan dulu? Ini, An bikin nasi goreng, ada ayam juga. Atau kalau mas belum pengen makan berat, ada buah, bisa untuk isi perut, biar gak kosong".

Bumi hanya menggeleng cepat. "Saya buru-buru. Kamu aja yang makan, jangan lupa kasih Bi Mai juga".

Raut kecewa jelas tercipta di paras cantik Ansara. Gadis itu kehilangan senyumnya seketika, pun binar di matanya redup akibat penolakan Bumi. Namun, gadis itu masih belum menyerah, masih memaksakan senyum. "Kalau gitu, aku bungkusin aja ya? Biar kamu bisa bawa ke kantor. Jadi, gak repot cari makan nanti. Sebentar ya, Mas..".

"Gak perlu, An". Sanggah Bumi cepat, dengan ekspresi yang berubah tegas. "Saya gak suka bawa begituan, ribet. Udah saya bilang, makanan ini kamu aja yang makan, kan kamu yang masak. Gak usah paksa saya yang makan".

Ansara langsung mengunci bibirnya, menahan segala argumen yang ingin sekali ia layangkan. Gadis itu berakhir mengangguk, mengalah sekali lagi karena tidak ingin merasakan sesak yang lebih dalam dari ini. "Ya, udah, Mas. Maaf jadi maksa kamu".

Detik selanjutnya, Bumi melangkah acuh menuju ke pintu utama rumah mereka, meninggalkan Ansara yang masih menunduk, jelas sekali merasakan kecewa untuk yang kesekian kalinya. Dadanya terasa sesak, perih di punggung tangannya pun belum hilang. Ansara kembali membawa luka bakarnya itu ke hadapan, menatapi bagaimana kulitnya kini terlihat melepuh setelah insiden tadi.

Ia meringis, sakit memang rasanya, terkena luka bakar yang terlihat jelas begini. Tapi, nanti bisa disembuhkan, cukup dengan dioles salep, nanti juga sembuh sendiri.

Lalu, bagaimana dengan sakit di hatinya yang tak terlihat ini? Bagaimana cara menyembuhkannya? Ansara sama sekali tidak mengetahui jawabannya.

Aku tuh masak buat kamu, Mas, buat kita. Biar kita bisa makan sama-sama. Kenapa kamu gak ngerti, sih?

ANSARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang