Halo
Vote + Comment
Enjoy!
.
.
.
Putaran jarum jam terasa begitu lama bagi Rasi dan ayah. Keduanya setia duduk di kursi tunggu dekat ruang operasi tanpa berniat untuk meninggalkannya bahkan untuk sekedar pergi ke toilet. Sesekali Rasi atau ayah menoleh kearah pintu ruang operasi untuk melihat apakah pintu itu terbuka atau tidak.
Namun, sudah empat jam berlalu, masih belum ada tanda-tanda operasi Bintang selesai, begitupula dengan rasa cemas di hati Rasi yang tak kunjung hilang, dimulai sejak ia melihat brankar adiknya didorong memasuki ruang operasi.
Entah apa yang sedang dilakukan dokter saat ini, apakah operasinya berjalan lancar atau tidak, yang jelas adiknya Bintang sedang berjuang antara hidup dan mati di dalam sana, dan itu membuat Rasi tak bisa memikirkan hal lain selain kondisi Bintang.
Kaki Rasi mengetuk lantai rumah sakit dengan sepatu putihnya, berusaha mengalihkan perhatian agar degup jantungnya bisa sedikit santai dan berdegup dengan kecepatan normal. Napasnya berembus berat, ia mengusap wajahnya dengan kasar. Jika boleh jujur, Rasi sudah tidak tahan menunggu hal yang tak pasti ini lebih lama lagi, ia ingin segera mengetahui kondisi adiknya.
Akal gilanya seakan berbisik dan mendorong Rasi untuk menerobos saja pintu ruang operasi dan melihat sendiri keadaan Bintang, apakah adiknya baik-baik saja di dalam sana? Tapi untungnya ia masih dapat berpikir jernih untuk tidak membuat kericuhan gila itu di rumah sakit.
"Tenang ya Ras, Abin pasti kuat, doain aja semoga operasi adek lancar," ucap ayah sembari mengusap bahu Rasi.
"Iya yah," hanya itu yang dapat Rasi ucapkan, matanya tetap tertuju pada pintu ruang operasi, dalam hati berharap besar pintu ruangan itu untuk segera terbuka dan membawa kabar baik.
Setelah hampir jatuh tertidur karena lelah menunggu, Rasi kembali membuka matanya saat mendengar suara berisik dari decitan pintu operasi. Kantuknya hilang seketika, tubuhnya refleks berdiri dan mendekat, melihat beberapa suster keluar sembari mendorong brankar Bintang dengan langkah yang tergesa, ia bahkan tak sempat bertanya, Rasi hanya dapat melihat sesaat wajah pucat adiknya yang tertutup masker oksigen.
Dokter keluar paling terakhir, langkahnya berhenti sejenak di hadapan Rasi dan ayah, "kami akan memindahkan pasien Bintang ke ruang ICU, saya akan jelaskan keadaannya disana."
~~~
Ruangan ICU rumah sakit terasa begitu dingin menusuk kulit. Di dalam ruangan besar itu, terdapat banyak bilik yang dilengkapi kaca besar di tiap bagian depan biliknya, membuat orang-orang dapat melihat jelas siapa saja yang berada di dalam masing-masing bilik tersebut. Pandangan Rasi tertuju kearah kaca besar yang tertempel angka delapan di sudutnya. Lebih tepatnya, ia terfokus pada seseorang yang ada di dalam ruangan itu, terbaring lemah dengan banyak alat medis yang menempel di tubuhnya, Bintang.
Tangan Rasi terangkat memegang kaca, berharap ia dapat memegang langsung tangan sang adik tanpa halangan kaca sialan untuk menyalurkan kehangatan, Bintangnya pasti kedinginan di dalam sana, ia terlihat redup, tidak secerah biasanya.
"Ada beberapa komplikasi yang terjadi saat operasi berlangsung, dan itu membuat kondisi pasien sekarang dalam keadaan kritis."
Rasanya kekuatan Rasi lenyap begitu saja, bahkan hanya untuk menopang dirinya agar berdiri tegap pun ia tak kuasa, tangannya bergetar, wajahnya pucat pasi setelah mendengar penjelasan dokter. Mengetahui kondisi adiknya yang kini berada di dalam masa kritis membuat hatinya hancur, begitu juga ayah yang menunduk lesu menahan tangis.
"Kami memohon maaf, untuk saat ini keluarga pasien hanya bisa melihat pasien dari luar kaca, dilarang untuk masuk ke dalam bilik karena kondisi pasien yang belum stabil."
"Kami akan mengizinkan keluarga menjenguk langsung saat pasien sudah keluar dari masa kritisnya. Kami harap keluarga tetap tabah dan terus berdoa ya."
"Baik dok, terima kasih."
"Kalau begitu, saya permisi."
Ayah langsung menangis tanpa suara sesaat setelah dokter pergi, tubuh kurusnya terjatuh lemas di lantai rumah sakit, tangannya menangkup wajah yang basah oleh air mata. Rasi hanya bisa memberikan usapan penenang di punggung rapuh sang ayah. Ia juga sama hancurnya, namun mereka hanya punya satu sama lain, dan disaat seperti ini, Rasi harus bisa menguatkan sang ayah.
"Abin pasti kuat yah.."
"Rasi, maaf ayah gak kuat disini, ayah mau nenangin diri dulu, kalau Rasi masih mau disini temenin Abin gapapa, ayah keluar ya."
"Iya ayah, istirahat dan tenangin pikiran ayah dulu. Kalau perasaan ayah udah lebih baik dan siap buat liat Abin, ayah bisa kesini lagi, sekarang biar Rasi aja yang nemenin Abin."
Rasi kembali menatap nanar kearah kaca yang menjadi pembatas antara dirinya dan Bintang.
"Bintang.. adek kakak yang kuat, tidurnya jangan lama-lama ya. Abin harus cepet sembuh supaya kita bisa ngobrol lagi."
"Nanti kakak ajak Abin jalan-jalan ke tempat yang Abin mau tapi Abin harus bangun ya.."
"Adek tolong hidup lebih lama lagi, ayo habisin waktu bahagia sama kakak dan ayah lebih lama lagi Abin, karena kita gak siap kalau harus ditinggal kamu.."
Tanpa Rasi sadari, seseorang telah memperhatikannya dari belakang, seseorang yang baru saja keluar dari bilik lain yang berada di ruang ICU itu berdiri kaku di belakang Rasi, mendengar sedikit ucapan Rasi walau hanya samar-samar.
"Ras.."
"Ngapain lo disini?"
"Gue abis jenguk kakek gue, gak nyangka bakal ketemu lo disini. Yang di dalam bilik itu.. Bintang? Kondisi adek lo gimana? Kenapa bisa sampe masuk ICU?"
"Bukan urusan lo, gue udah bilang kalo urusan kita udah selesai Jean, jangan pernah ganggu gue apalagi adek gue."
"Gue gak ada niat itu, gue cuma mau nanya keadaan adek--"
"Gue bilang, bukan urusan lo."
"Tapi gue mau tau keadaa—"
"Lo gak denger omongan gue, hah?!"
Rasi menarik kerah baju Jean, menatap penuh amarah pada teman sekolahnya itu. Pikirannya sedang kacau, dan Jean dengan tidak tau dirinya datang membuat pikiran Rasi semakin kacau.
"Jangan sok peduli, inget lo bajingan yang udah nyakitin mental dan fisik adek gue sampe penyakitnya kambuh, brengsek!"
"Ras, gue minta ma--"
"Pergi," Rasi mendorong kasar tubuh Jean, ia tak ingin mendengar ocehan sampah dari Jean lebih lama lagi disaat kondisinya yang tengah hancur seperti sekarang.
"Ras--"
"Pergi sebelum gue bikin lo mati disini, gue gak peduli ini rumah sakit, gue bisa bikin lo masuk ICU saat ini juga."
.
.
.
To be continued..
Fyuh, setelah dua bulan gak nulis akhirnya aku balik lagii😃
Maaf kalo chapter ini kurang memuaskan karena aku udah lama gak nulis😔 tapi semoga kalian ttp suka ya..
Ayooo comment pendapat kalian tentang chapter ini?? Tentang alurnya, tokohnya, kritik saran, pesan kesan, random pun juga boleehh kok, ramein aja hehe, aku kangen bacain notif comment dari kalian
Jangan lupa tinggalkan vote nya juga, see u next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasi Bintang || Jaemin - Renjun
FanfictionTerpisah belasan tahun membuat Rasi tidak bisa menerima kedatangan Bintang begitu saja kedalam hidupnya. Rasi membenci Bintang karena sebuah alasan, meski ia tau itu bukanlah kesalahan adiknya. -Na Jaemin and Huang Renjun brothership local story-