Alasan

549 74 2
                                    

Desakan rasa mual yang mendera memaksa Brielle membuka matanya dari lelapnya tidur yang memikat, ia terpaksa membuka mata disela-sela kantuk. Keningnya mengerut pusing. Aneh sekali, padahal akhir-akhir ini rasa mual nya tidak separah ini. Berniat ke toilet dan menyingkap selimut, sebuah tangan yang melingkupi perutnya menyadarkan sosok lain di sampingnya. Sangat dekat. Barulah Brielle merasakan sebagian beban berat itu di atas perut.

Rasa mual itu terdistraksi, kini ia tak sendiri. Rasanya bahagia sekaligus haru. Lelaki itu masih tertidur dengan damai tak terusik dengan gerakan kecilnya. Memeluknya seperti lalu-lalu seolah takut ia pergi.

Gelombang desakan mual kembali hadir, kali ini lebih kuat dari saat ia terbangun. Pelan namun pasti Brielle cepat melepaskan dekapan Keenan darinya dan ia melangkah cepat ke toilet.

Keenan ikut terbangun.

Suara Brielle yang mencoba memuntahkan isi perut dari toilet membangunkan dirinya, reflek kepala Keenan melirik celah gorden yang memperlihatkan kondisi langit. Gradasi antara gelap menuju terang dari ujung timur. Fajar baru saja menyingsing.

Ini belum waktunya Brielle biasa bangun, rupanya anak mereka sedang rewel sampai membuat Brielle-nya terbangun.

Keenan masuk ke toilet yang tidak terkunci, tepat saat itu Brielle baru saja menyelesaikan membersihkan mulutnya di westafel. Wajah Brielle tampak lesu dan tidak bertenaga begitu ia melihat kekasihnya masuk.

Tangan Keenan terulur, menyingkap helai rambut yang mengganggu di depan wajah.

"Maafin aku," lirihnya.

Pagi-pagi begini Brielle tak akan menduga ia mendengar kalimat pertama yang dikatakan Keenan adalah permintaan maaf. 

"Untuk?"

"Bikin kamu hamil dan kesusahan."

Senyum tipis Brielle terpatri, "dulu aku justru menantikan ini, Keen. Aku penasaran rasanya hamil dan aku senang."

Sepanjang pagi yang terlewat, Keenan membiarkan Brielle berada dalam rengkuhannya. Perasaan nyaman bisa menyentuh figur Keenan dan di dekap oleh lelaki itu. Tubuh Brielle bersandar dalam dekapan Keenan dengan lelaki itu pula yang menjaga dirinya.

Brielle menghirup banyak-banyak aroma Keenan, benar, ia sangat merindukannya. Sangat. Sampai-sampai ia hanya ingin menghirup aroma Keenan sesukanya.

"Kamu harus sarapan."

Dalam dekapan Brielle menggeleng, "belum sekarang, aku masih pusing."

Itu tidak sepenuhnya bohong. Mual nya memang perlahan pulih semenjak ia jatuh dalam pelukan Keenan. Namun bukan berarti pusing kepalanya sudah hilang.

"Atau mau ku buatin susu gimana?"

Kepala Brielle mengangguk dua kali, lalu pelukan yang entah sudah berapa lama itu akhirnya terurai. Keenan menuju dapur, menyiapkan air panas dan selama menunggu ia membaca penuh perhatian cara menyeduh yang tertera di kotak susunya.

"KEEN, AKU MAU YANG DINGIN, TAMBAHIN ES BATU."

Suara Brielle terdengar, meski lemah ia berusaha agar suaranya sampai pada Keenan.

"EMANG BOLEH?"

"Boleh."

Membuat susu sesuai keinginan Brielle, begitu susunya siap. Tangannya sudah terulur dengan antusias.

"Susu nggak bikin kamu mual?"

"Nggak, kan rasa stroberi terus dingin. Bisa sekalian gigit-gigit es batu."

"Sejak kapan kamu suka gigit es batu?"

Seingatnya, ia tak pernah mendapati Brielle punya kebiasaan menggigit es batu sebelumnya. Ia amati bagaimana Brielle meminum susunya dengan baik sampai susunya habis dan meninggalkan balok-balok es yang nantinya mau ia kunyah.

Content Creator & Illustrator (Already Completed!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang