BOOM! (2)

286 51 1
                                    

Genggaman tangan di setir mengerat seiring bersama hening yang mencekam. Keenan sama sekali tak membuka suara, dia juga memberi gesture defensive sejak mengetahui kebohongan Brielle. Selama perjalanan Keenan memejamkan mata, entahlah benar tidur atau hanya sekadar menutup mata dengan lengan di depan wajah.

Meski waktu terasa jauh lebih panjang ketimbang perjalanan menuju lapas, tanpa sadar Brielle menghela napas sedikit lega begitu mereka sampai di area parkir basement. Jarang sekali mereka terjebak dalam konflik yang mencekik seperti ini apalagi sudah jelas kesalahan disebabkan oleh Brielle. Keenan langsung turun begitu saja dari mobil tanpa perlu Brielle bangunkan, seolah-olah pria itu memang terjaga sejak awal.

Wajahnya memang tidak menimbulkan emosi tertentu yang mencolok, terkesan datar namun itu dia masalahnya. Sikap tak peduli.

Terasa dingin kuduk Brielle seakan diguyur oleh es batu, bergeming di tempat menjadi kaku. Perasaan takut tiba-tiba merambat dalam relung hatinya, namun Brielle menabahkan diri melihat Keenan begitu santai keluar dari mobil dan terus berjalan menuju elevator. Langkah kaki Brielle menyusul Keenan yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.

"Keen," panggil nya. Sosok itu tengah bersandar di sudut belakang sambil memejamkan mata, lagi.

"Kamu—masih pusing?" Kini suaranya terdengar seperti cicit an. Senyap membantu volumenya yang kecil tetap terdengar.

Sunyi. Tak ada tanggapan. Seolah-olah Brielle tak berada di sana. Keenan setia memejamkan mata, wajahnya yang pucat tak memberi reaksi ekspresif yang mencolok. Tetap tenang seakan tak terjamah meski ditanyai dan ditatap oleh Brielle.

Denting elevator di lantai unit apartemen Brielle satu-satunya alasan Keenan membuka kelopak matanya, kembali berjalan dan menuju unit apartemen. Brielle frustasi tertinggal di belakang.

"Keenan."

Pintu apartemen  sudah dibuka oleh pria itu, dia masuk tanpa menunggu Brielle.

"Keen, kamu sakit? Butuh sesuatu nggak?"

Sabar, Brielle meraih lengan pria itu agar berhenti.

"Jangan abaikan aku," pinta Brielle. "Aku nggak suka saat kita ada di situasi seperti ini kamu diem aja bahkan nganggap aku nggak ada!"

Sedetik, dua detik, tiga detik, detik demi detik terus berjalan. Lidah Keenan tetap kelu, ia mengerjap sejenak sebelum menarik napas.

"Kamu yang nggak buka suara lebih dulu."

Kening Brielle mengerut. "Aku? Sejak tadi aku berusaha nanya keadaan kamu di jalan tapi kamu diam aja."

Keenan menggeleng, "bukan kondisi aku, kamu nggak ada inisiatif buat jelasin sebab kita ada di situasi sekarang?"

"I—itu... Begini,"

"Apa yang kamu sembunyikan dari aku?" Tuntut Keenan.

"Mantan manajer aku ditahan di lapas itu, keluarganya pindah keluar kota jadi aku—"

"Mantan manajer sekaligus mantan pacar makanya kamu bohong?!" Potong Keenan mulai emosi. "Aku pikir kamu beneran dapet client koruptor."

Keenan mengusap wajahnya kasar, "pantes aja kamu nggak bawa tab."

Kini tatapan Keenan lurus dan dingin.

"Tahu dari mana mantan manajer aku itu mantan pacar aku juga?"

"Apa itu penting sekarang?" Tanya Keenan tak percaya. "Masalah sekarang adalah kamu yang bohong ke aku. Kenapa harus bohong?"

Brielle juga tak tahu, mengapa ia harus berbohong. Ia terdiam sejenak.

"Kenapa?"

"Aku—"

"Kamu beneran nganggap kita partner, kan?" Keenan menodong, "atau hanya aku yang menganggap kamu segalanya dan kamu tidak?" Meragu ada dalam benak Keenan untuk beberapa alasan yang telah ia akumulasi tanpa pernah disuarakan.

"Jangan ngaco! Kita sudah sejauh ini, aku bahkan selalu berusaha untuk kita—"

"Benarkah?" Potong Keenan skeptis. "Kamu pernah nggak cerita soal bisnis kamu ke aku?" Tuntut Keenan. "Kamu pernah nggak ngijinin aku masuk ke ruang itu?" Telunjuk Keenan mengarah ke ruang kerja Brielle. "Sudah berbulan-bulan dan kamu masih nggak transparansi ke aku, bahkan soal keluarga kamu."

"Aku—"

"Brielle..." Bulu kuduk Brielle meremang mendengar suara rendah Keenan menyebut namanya dengan lengkap. "Kamu takut aku kayak mantan-mantan kamu, kan? Menipu dan mengambil keuntungan dari kamu." Keenan menutup matanya sejenak, suaranya seakan dipaksa tercekat. "Lucunya kamu malah ketemu mantan yang bikin kamu tanpa sadar membangun boundary. Padahal aku di sini nunggu kamu buat terbuka dan bergantung. Kamu nganggap aku apa? Opsi?"

"Dengerin aku dulu! Kamu nggak bisa ngambil kesimpulan—"

"KAMU YANG HARUSNYA DENGERIN AKU!" Keenan meninggikan suaranya, "gimana aku mau percaya ke kamu? Aku selalu cerita kondisi keluarga ku, finansial ku, pekerjaan, kehidupan ku bahkan ngenalin kamu ke teman-teman aku. Bahkan aku berusaha secure sama kamu biar kita bisa bersama. Apa kita seimbang? Kamu nggak ada inisiatif buat cerita seolah aku orang asing, kamu bersikap defensif, kamu nggak percaya sama aku!!! Aku ... Sejak aku menyadari kamu bohong ke aku dan entah sudah berapa kali kamu bohong buat ketemu mantan kamu itu, aku merasa aku hanya sebuah pilihan." Ucapan Keenan sesaat terhenti, sedikit lega apa yang ada dalam benaknya lepas begitu saja. "Tapi Brielle...maaf, aku bukan opsi."

Keenan membalikan tubuhnya menuju kamar Brielle, mengambil barang-barangnya yang di masukan ke dalam tas dengan terburu-buru. Tidak peduli kepalanya pening karena demamnya belum turun. Yang Keenan tahu, dia harus pergi dari unit ini. Perasaan janggal yang ia rasakan belum juga teror DM yang menjawab semua kejanggalan dalam benaknya. Setidaknya, kini dia tahu semua jawaban itu. Keenan tidak pernah merasa Brielle mencintai apalagi membutuhkannya.

"Apa kamu bakal ninggalin aku?" Suara yang bergetar itu muncul di ambang pintu. "Aku nggak pernah melihat kamu sebagai pilihan Keen, demi Tuhan." Air mata Brielle berlinang deras. "Aku minta maaf karena tidak memperlakukan kamu selayaknya pasangan. Aku ... Aku hanya belum terbiasa untuk terbuka lagi."

Gerakan Keenan berhenti.

"Se-kaku apa sampai kamu nggak pernah lihat apa yang aku share tentang kamu di sosmed aku?"

"Apa?"

"Ini memang sepele tapi harusnya kamu lihat sebesar apa aku mencintai dan memamerkan kamu di dunia aku."

"Hanya karena itu?"

"Dan yang sudah aku jabarkan sebelumnya," tekan Keenan. "Semakin kamu menganggap yang kita bahas sebelumnya adalah tindakan sepele semakin kamu akan memandang remeh aku dan perasaan aku."

Sudah selesai, Keenan menutup resleting tas nya.

"Apa kita benar-benar selesai?"

Keenan mengangkat bahu, "entahlah, kalau kamu butuh anak sekarang kamu boleh balik ke mantan kamu itu."

Ucapan kejam dan telak menusuk jantung Brielle tak kasat mata. Air mata yang tadinya berhenti kini mengalir lagi.

"Jahat banget kata-kata kamu," ungkap Brielle tersendat-sendat. "Aku sadar aku salah tapi tidak sepatutnya kamu bilang gini ke aku seolah adanya kamu hanya biar aku hamil."

"Kita kini sama-sama saling menyakiti, boleh aku pergi sekarang?"

Brielle yang menghalangi akses jalan di ambang pintu menggeser tubuhnya sendiri.

"Kita pikirin lagi," tutur Keenan. "Kita bisa barengan atau tidak."

"Nggak usah Keen!" Tolak Brielle tegas. Otot wajahnya terasa kaku. "Sejak kamu melangkah pergi dengan barang-barang kamu itu, kita selesai."

Mungkin terdengar impulsif namun bagi Brielle Keenan juga sudah menyakitinya, jadi ... Mereka impas.

Hati Keenan seakan diremas, sambil mengeratkan rahang ia melangkah pergi meninggalkan Brielle.

Setelah terdengar pintu depan tertutup rapat, lututnya mendadak kehilangan penyangga. Brielle memeluk lututnya menangis keras

Tbc

Thursday, 8 June 2023

Nanti kasih tahu ya, kalau ada part yang gaje atau typo. Maklum aku nulis sambil jaga pasien huhuhu.

Content Creator & Illustrator (Already Completed!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang