2. Terbang Seperti Burung

51 10 0
                                    

Selamat membaca semua. Semoga suka yaaa ❤️

Pandu yang tengah tertidur itu terbagun akibat suara pintu yang dibuka kencang. Laki-laki itu menatap heran wajah Rena yang baru saja datang ke kelas dengan kesalnya. Bibirnya menggerutu tak jelas, kakinya melangkah cepat sambil mengentakkan kakinya kencang di setiap langkahnya. Gadis itu duduk di bangku depan Pandu, menarik meja kasar supaya lebih dekat dengan tubuhnya dan menelungkupkan kepala di kedua tangannya. Pandangan Pandu beralih pada Alvian yang baru saja duduk di sampingnya, matanya meliriknya seolah berkata, “Rena kenapa?”

Alvian yang mengerti langsung berkata, “Biasa, kejadian lagi.”

“Maksudnya?” Pandu tak dapat menangkap maksud Alvian.

“Nggak diadili.”

“Hah? Lagi?”

Alvian mengangguk. “Rena udah bayaran sampai bulan September tapi cuma ditulis sampai bulan Agustus.”

BRUK!

Pandu menggebrak meja sambil berdiri, kakinya melangkah ke meja Rena. “Rena, gue udah tau masalah lo. Ayo kita ngomong ke mereka!”

Rena mendongak dengan mata sembabnya, ternyata ia menangis. “Percuma..” ucapnya dengan terisak.

“Lo nggak mau hak lo kembali?”

Omong kosong. Paham nggak, sih?!”
“Tapi, Ren, hak lo nggak akan didapat kalau lo diam aja!” balas Pandu menggebu-gebu.

Rena menatap Pandu malas. “Lo pikir kalau gue ngomong gue akan dapetin hak gue? Nggak. Jadi percuma aja gue capek-capek ngomong ke mereka.” Air matanya mengalir kembali, sebisa mungkin ia menahan air matanya supaya tidak keluar, tapi susah.

Alvian menghela nafas panjang, terlihat capek dengan Rena. “Terus kenapa lo nangis?”

Pertanyaan Alvian mampu membuat Rena mendongak kembali. “Emang kenapa, gue cuma mau nangis aja untuk meluapkan amarah gue.”

“Terus lo mau gimana, Ren, bayaran bulan September lagi dong?” tanya Pandu. Ia begitu tak terima Rena mengalami hal yang sama dengannya saat kelas sepuluh lalu. Masalahnya sama, sudah bayar tapi dibilang belum bayar. Saat itu Pandu ingin sekali berkoar pada guru, tapi kala itu ia berpikir kalau dirinya masih kelas sepuluh, masih anak baru, dan ia masih takut melakukannya. Namun sekarang, temannya mendapatkan masalah yang sama dan ia tak mau diam begitu saja. Ia ingin membantu Rena berbicara, tapi gadis itu memilih untuk diam karena tahu berbicara juga tak akan membuahkan hasil.

“Iya, tapi gue bingung mau cari uang di mana. Ortu gue nggak boleh tau hal ini,” Rena berkata dengan lirih.

“Kan gue bilang—”

Ucapan Alvian tertahan oleh perkataan Rena. “Nggak, mau, Al. Gue nggak mau ngerepotin lo.”

“Kalau lo kerja di tempat gue mau nggak?” Pandu memberi usul. Setiap pulang sekolah, Pandu bekerja di sebuah tempat cuci motor. Ia bekerja di tempat pamannya. Uangnya akan ditabung untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Hitung-hitung membantu meringankan beban ibunya.

“Boleh—”

“Jangan, deh, kalau kata gue,” Alvian berucap cepat, menyela ucapan Rena.

“Kenapa?” tanya Rena dan Pandu bersamaan.

“Ya... Rena kan perempuan, masa kerjanya kayak begitu.”

Rena membuka mulutnya, sedikit tak terima dibilang seperti itu. “Jangan seksis, deh. Lo pikir gue lemah gitu? Gue juga bisa kali ngelakuin pekerjaan laki-laki.”

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang