12. Protes tak Diterima

27 6 0
                                    

Halo semua, selamat membaca.

Kalau suka tolong beri vote dan komennya ya. Makasih 🤍

“Lapangan SMA Garuda Merah mendadak penuh dengan ratusan muridnya yang memberontak kepada pihak sekolah pada hari Jumat pukul 1 siang. Para murid tersebut melakukan pemberontakan yang mereka sebut ‘Aksi Bersuara’ itu sebagai bukti rasa kekecewaan mereka terhadap sistem sekolahnya. Di mana nilai yang mereka dapatkan sengaja dikecilkan atau diubah oleh hampir semua guru.”

“Dalam video yang beredar, tampak empat orang murid memimpin aksi. Mereka berempat disinyalir sebagai pelopor aksi pemberontakan ini. Dalam video tersebut juga tampak kepala sekolah berusaha menghentikan aksi muridnya dengan mengatakan bahwa nilai yang mereka dapatkan adalah nilai asli. Alias para guru tidak melakukan kesalahan apa pun.”

Perasaannya campur aduk ketika berita di televisi itu menayangkan aksi yang mereka lakukan kemarin. Sekar hendak mematikan televisinya tapi sebuah suara menginterupsi.

“Kamu memberontak lagi, Kak?” Laki-laki paruh baya baru saja pulang dari masjid. Ayahnya melepas dua kancing baju muslimnya lalu duduk di sofa samping Sekar duduk.

Sekar mengangguk pelan. Ia sangat cemas.

“Selama Ayah di masjid tadi, tetangga pada nanyain. ‘Pak Hasan, Sekar masuk berita. Memangnya ada masalah apa di sekolahnya?’. Ayah diam aja karena Ayah nggak tau kamu melakukan pemberontakan besar begini. Kenapa kamu nggak cerita dulu ke Ayah dan Mama kamu sih?”

Sekar merasa bersalah karena tidak bilang ke orang tuanya mengenai pemberontakan besar ini. Padahal setiap dirinya ingin bersuara sendiri, ia selalu meminta restu orang tuanya. “Maaf Yah. Sekar terlalu bersemangat dengan aksi ini karena Sekar pikir dengan banyaknya murid yang ikut, para guru akan takut. Tapi ternyata nggak, mau satu atau ratusan murid yang bersuara, pihak sekolah tetap merasa kalau mereka benar.”

“Nggak usah minta maaf. Anak Ayah sudah keren karena berani bersuara.” Hasan mengusap rambut Sekar. Ia dan istrinya selalu mengajarkan pada anaknya untuk menegakkan kebenaran. Tidak perlu takut kalau tidak salah. Hal inilah yang membuat Sekar berani bersuara, karena orang tuanya yang selalu mendukung.

Sekar tersenyum tipis, sedikit lega karena ia masih memiliki orang tua yang pengertian padanya. Namun rasa cemas pada dirinya belum juga hilang.

“Kenapa wajah kamu masih cemas?” tanya Hasan.

“Sekar dan teman-teman lupa bilang ke murid yang ikut aksi kalau nggak boleh merekam aksi ini. Dan benar aja, karena kelalaian kita, ada murid yang merekam dan diunggah ke medsos. Ya jadi gini, deh, masuk berita. Sekar yakin—” Belum rampung Sekar bicara, telepon Ayahnya berbunyi.

Hasan menjauh dari Sekar untuk mengangkat telepon. Tak lama kemudian ia kembali duduk di samping Sekar. “Hari Senin, Ayah disuruh ke sekolah kamu.”

Dan kecemasan yang sedari tadi ia rasakan, menjadi kenyataan.

*****

Biasanya upacara bendera selalu dilaksanakan pada hari Senin tapi sudah dua minggu upacara ditiadakan. Di minggu pertama setelah PTS atau pekan remedial upacara ditiadakan dan itu hal yang wajar. Dan di Minggu setelahnya upacara tetap tidak ada, kalau ditebak pasti pihak sekolah sibuk mengurusi nama baik sekolah setelah tercemar oleh muridnya sendiri.

“Pandu! Gimana nih, gara-gara aksi ini kita kena SP!”

“Iya! Semalam ortu gue ngomel-ngomel!”

“Mana nggak menghasilkan apa-apa dari aksi ini. Tau gitu mending gue nggak ikut.”

“Lo gimana sih, Pan! Harusnya sebagai pelopor lo harus mempertimbangkan aksi ini dengan matang!”

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang