Halo semua selamat membaca.
Seperti ujian-ujian sebelumnya, SMA Garuda Merah selalu mengadakan ‘Pekan Remedial’ seminggu setelah ujian berlangsung. Beberapa murid harap-harap cemas, ada pula yang pasrah, tapi juga ada yang percaya diri dengan hasil ujiannya. Kalau untuk gadis bernama Renara Sasmitha, ia sangat berharap hasilnya bagus. Setidaknya tidak remed supaya orang tuanya tak merasa sia-sia sudah mengeluarkan uang untuk biaya bimbelnya.
Berbeda dengan Rena yang harap-harap cemas, Pandu Pradirga terbilang pasrah dengan hasilnya. Berapa pun nilainya akan ia terima. Dirinya juga sadar dengan kemampuan otaknya yang pas-pasan, jika dapat nilai jelek, ia tak terkejut. Kalau untuk laki-laki yang menyandang sebagai ketua kelas XI IPS 3 atau Alvian, ia merasa sudah mengerjakan soal dengan baik maka ia cukup percaya diri dengan hasilnya.
Guru mata pelajaran Geografi masuk ke kelas lebih awal karena upacara bendera ditiadakan. Di tangannya sudah ada map coklat berisi lembar jawaban hasil ulangan kemarin. Bu Anjar mempersilakan Alvian untuk memimpin doa, setelah selesai ia berdiri sambil mengeluarkan lembar jawaban dari dalam map. Udara di kelas IPS 3 seakan menipis. Semua murid harap-harap cemas.
“Nilai tertinggi dan terendah ada di kelas ini dari seluruh kelas IPS lain. Tertingginya 98. Siapa ya kira-kira?” tanya Bu Anjar dengan senyum lebar di bibirnya. Hampir semua murid menoleh pada satu sosok yang duduk di bangku kedua dari depan, barisan ketiga dari pintu, duduk di bangku kanan. Alvian.
Pandu yang berada di sebelahnya menepuk pundak Alvian. “Selamat ya, Al!”
Alvian menggeleng. “Belum tentu gue.”
“Selamat untuk Alvian!” Bu Anjar memberikan lembar jawaban miliknya. Semua orang bertepuk tangan, tidak heran karena Alvian memang terlahir sebagai otak encer.
Pandu buru-buru mengambil lembar jawaban Alvian. Ia mengecek jawabannya. “Gila, salah satu doang!” ucapnya dengan wajah tak percaya.
Rena yang duduk di depan mereka berbalik badan. “Selamat ya, Al!” Alvian mengangguk pelan. Wajah Rena kembali murung, “Aduh nilai gue berapa ya? Pokoknya jangan sampai remed deh! Minimal banget delapan puluh.”
“Aamiin...” Alvian mengamini.
Pandu menghembuskan nafas panjang. Ia merasa saat mengerjakan soal Geografi, kurang maksimal, ada yang ngasal, dan banyak yang ragu.“Gue kayanya remed dah.”
“Jangan gitu. Optimis.”
“Sisanya maju ke depan ya, ibu panggil satu-satu. Oh iya KKM Geografi tujuh enam ya. Yang di bawah itu silakan ikut remedial.” Bu Anjar mulai menyebutkan nama murid untuk maju ke depan sampai giliran Pandu yang dipanggil.
Pandu mengintip hasil ulangannya. 58. Sedikit tak terima tapi ia sadar kalau kemampuannya juga tak seperti Alvian. Ia duduk di bangkunya dengan punggung lemas. Oh sial, ini baru satu pelajaran, masih ada enam belas pelajaran lagi yang belum ia ketahui nilainya. “Remed,” katanya memberitahu Alvian.
“Nanti gue bantu.”
Kemudian giliran Rena, ia maju dan melihat hasilnya. Bibirnya langsung cemberut sampai ia duduk di bangkunya. “Berapa Ren?” tanya Pandu.
“Tujuh dua. Dikit lagi tujuh enam anjir, ah elah! Masa harus remed sih?!”
“Nanti gue bantu, Ren,” ucap Alvian.
Rena mengambil kertas milik Alvian.“Coba liat, gue penasaran sama jawaban benernya.” Alvian membiarkan Rena menyamakan jawaban dengan jawaban miliknya.
“Nggak terima tuh, Rena,” ucap Pandu pada Alvian. Rena memang seperti ini jika nilai ujiannya rendah, ia akan menyamakan jawaban dengan Alvian. Berharap ada kesalahan dalam mengoreksi lembar jawaban miliknya sehingga guru dapat mengubah nilainya menjadi lebih baik. Namun tak jarang dari kesalahan itu malah Alvian yang nilainya diturunkan karena ternyata jawabannya salah. Terkadang sikap itu yang Pandu tak suka dari Rena.
KAMU SEDANG MEMBACA
OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)
Teen Fiction"𝙎𝙪𝙖𝙧𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙤𝙢𝙤𝙣𝙜 𝙠𝙤𝙨𝙤𝙣𝙜 𝙗𝙖𝙜𝙞 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖." *** Menceritakan tentang sistem sekolah yang rusak. Di mana nilai dipermainkan di SMA Garuda Merah. Selain itu, uang SPP yang dibayarkan setiap bulannya juga sengaja diu...