10. Menuju Aksi (2)

29 7 0
                                    

Halo semua, selamat membaca.

Lima ratus lembar surat ajakan sudah siap dibagikan. Kertas-kertas itu disimpan di dalam mobil Alvian karena niatnya mereka akan membagikannya saat pulang sekolah. Alasan utamanya adalah mereka tidak ingin surat ajakan itu berada di lingkungan sekolah sehingga ditakutkan pihak sekolah tahu lebih dulu kalau mereka akan mengadakan kegiatan bersuara sebelum hari yang sudah mereka tentukan. Ya, mereka akan mengadakan aksi bersuara dua hari setelah surat dibagikan.

“Gila, nggak sabar banget gue ngeliat muka panik para guru.” Pandu menggosok kedua tangannya tanda tidak sabar.

“Gue juga nggak sabar liat nilai gue jadi bagus!” seru Rena dengan senyum manis di bibirnya.

“Kalau nilai lo udah bagus, saran gue, sih, langsung lo lempar ke depan ortu lo. ‘Nih, nilai gue yang asli!’.” Pandu tertawa terbahak-bahak. Mendengar cerita Rena tentang kedua orang tuanya membuat Pandu ikut kesal dengan mereka. Makanya ia berkata demikian.

Rena juga ikut tertawa. “Seru kali, ya, kalau gue beneran ngelakuin hal itu?”

Alvian geleng-geleng. “Nanti diusir, nangis...”

“Sialan lo!” umpat Rena. Ia diam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Kalau nilai gue berubah jadi lebih tinggi. Gue harap ortu gue bangga deh dan berhenti marah-marah lagi.”

Alvian memberi senyuman pada Rena. “Gue yakin pasti bangga kok. Gue aja bangga liat lo yang mau berjuang demi nilai kayak gini.”

Mata Rena berkaca-kaca. “Makasih Al. Mau nangis gue dengernya!”

“Tenang aja, Ren, lo pasti bisa bikin ortu lo bangga. Kita liat aja nanti ketika kita bersuara, nilai kita pasti berubah,” ujar Pandu penuh keyakinan. Seratus persen ia yakin kalau aksi bersuara ini akan berhasil.

“Ya, kita semua pasti bisa bikin ortu kita bangga,” ucap Alvian.

“Ibu gue bangga? Gue kurang yakin. Mau nilai gue tinggi atau rendah, ibu selalu biasa aja.” Ada perasaan sesak di hati Pandu ketika mengatakannya.

“Bagus dong? Lo jadi nggak tertekan mikirin nilai,” ucap Rena, “karena jujur, punya ortu yang berharap nilai anaknya selalu tinggi itu bikin beban nambah.”

“Gue dulu mikir kayak gitu. Cuma setelah gue liat lo dan Alvian yang ditekan buat dapet nilai bagus demi masuk kampus negeri, gue jadi sadar. Ibu gue nggak pernah maksa buat dapet nilai bagus karena dia nggak pernah taruh harapan ke gue.”

“Gue selalu dibebasin dapet nilai berapa aja asal jadi anak yang baik. Tandanya, ibu nggak peduli sama masa depan gue, ‘kan?” Pandu sempat kepikiran alasan ibunya tidak pernah menaruh harapan padanya karena wanita itu sadar kalau ekonomi keluarganya tidak mendukung. Namun kalau dipikir-pikir itu bukan jadi alasan yang tepat.

“Makanya itu alasan gue bodo amat sama nilai,” lanjutannya dengan wajah menunduk.

Alvian tak setuju dengan perkataan yang Pandu ucapkan. “Gue pernah bilang ke elo kan, Pan, walaupun ibu lo nggak peduli sama nilai tapi lo nggak boleh ikutan nggak peduli juga.”

Rena mengangguk membenarkan. “Dan kalau ibu lo nggak taruh harapan apa pun sama lo, itu bukan jadi alasan buat lo ikutan nggak punya harapan ke diri lo sendiri ‘kan?”

*****

Guru mata pelajaran matematika tidak datang di kelas XI IPS 3 di saat jam pelajaran terakhir. Hal itu seakan mendukung kelancaran aksi yang akan dilakukan oleh Alvian, Pandu, dan Rena. Ketiganya segera siap-siap menggendong tas dan keluar dari area sekolah yang kebetulan sekali gerbang utama juga sudah dibuka.

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang