Hai semua selamat membaca dan jangan lupa vote dan komennya ❤️
Keadaan pasar 24 jam yang berada di daerah Jakarta sangat ramai oleh ratusan manusia. Entah para pedagang yang berteriak menawarkan barang, ibu-ibu yang sibuk tawar-menawar harga dengan pedagang yang jika harganya tetap mahal malah pura-pura pergi supaya dipanggil, anak-anak yang menangis minta beli baju kartun favorit tapi sang ibu mengomelinya karena uangnya habis untuk belanja ikan, pengamen jalanan dengan tindik di telinga yang bernyanyi dengan nada sumbangnya, atau yang paling menakutkan ketika preman pasar datang meminta uang setoran pada salah satu pedagang.
“Alah! Dari kemarin bilangnya nggak ada mulu!” Preman pasar itu menggebrak meja penjual petai itu.
“Demi Allah, Bang, petai saya belum laku,” ucap laki-laki yang usianya terbilang cukup muda.
“Petai udah keriput begini, ya mana laku?!”
Gadis yang lewat di samping keduanya sontak menjauh. Gadis itu adalah Rena.
Rena merasa kasihan pada pedagang itu tapi tak bisa membantu. Ia hanya bawa uang lima puluh ribu yang akan dipakai untuk membeli baju. Takut kurang. Ia pun hanya berharap semoga ada orang yang membeli petai dagangannya.
Rena pernah berpikir kalau dirinya pemeran utama di dunia ini. Keluarga dan teman-temannya adalah pemeran pendukung. Sedangkan orang asing yang ia temui hanyalah imajinasinya yang ia sebut sebagai pelengkap agar kegiatannya berjalan lancar.
Pemikiran yang aneh memang.
Namun sekarang ia sadar kalau semua orang adalah pemeran utama di kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada istilah imajinasi atau semacamnya. Mereka tetap manusia sama seperti dirinya yang memiliki kehidupan, masalah, dan kebahagiaan yang berbeda-beda.
Rena bersyukur dirinya mendapat peran di dunia ini yang Rena rasa ia bisa melakukannya. Sedangkan kalau dirinya mendapat peran seperti laki-laki penjual petai tadi, rasanya ingin mati saja. Dibentak orang tuanya saja sakitnya minta ampun apalagi orang lain.
Tibalah Rena di salah satu toko pakaian orang dewasa. Ia melihat-lihat kaos berjejer di gantungan besi. Di paling atas, ada kertas bertulis 35.000 untuk satu baju. Langsung saja Rena memilih baju yang cocok untuk gurunya tanpa melihat kualitas baju tersebut. Ya apa yang mau diharapkan untuk baju seharga tiga puluh lima ribu? Toh ini bukan untuk dirinya jadi ia langsung pilih saja.
Sejujurnya Rena setuju dengan pemikiran Alvian kalau pengayaan ini sama saja disebut dengan membeli nilai. Dirinya tahu ini salah, tapi mau bagaimana lagi? Kalau dirinya tidak ikut pengayaan ini maka nilainya pas-pasan dan tentu saja akan tertinggal dengan temannya yang ikut pengayaan.
Setelah memilih salah satu kaos, Rena langsung membayarnya. Kebetulan di toko ini juga menyediakan jasa bungkus kado dan Rena memilih memakai jasa tersebut. Hanya tambah lima ribu. Selesai semua, Rena memutuskan untuk pergi dari sana.
Kini uangnya sisa sepuluh ribu. Terlintas di pikirannya untuk membeli petai di penjual tadi. Ia pun segera ke sana. Ternyata preman pasar tadi sudah pergi.
“Bang, petai sepuluh ribu dapet nggak?” tanyanya karena sejujurnya Rena tak pernah membeli petai, memakan pun tak pernah.
Tatapan berbinar terlihat di wajah penjual muda itu. “Dapet kok.”
“Ya udah, Bang, mau beli sepuluh ribu ya.” Penjual itu pun mengangguk dan langsung memasukkan beberapa petai ke dalam plastik. Rena menerima plastik tersebut.
“Makasih, Bang!”
*****
“Nih, petai.”
“Hah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)
Teen Fiction"𝙎𝙪𝙖𝙧𝙖 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙤𝙢𝙤𝙣𝙜 𝙠𝙤𝙨𝙤𝙣𝙜 𝙗𝙖𝙜𝙞 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖." *** Menceritakan tentang sistem sekolah yang rusak. Di mana nilai dipermainkan di SMA Garuda Merah. Selain itu, uang SPP yang dibayarkan setiap bulannya juga sengaja diu...