17. Sebuah Harapan yang Dipatahkan

27 4 0
                                    

Hai semua selamat membaca dan jangan lupa vote dan komennya ❤️

Sekumpulan laki-laki yang tengah mengisap benda mengandung nikotin di toilet tak terpakai di belakang sekolah itu menghentikan gelak tawa yang mereka ciptakan ketika mendengar suara gemuruh dari luar sana. Mereka memasang telinga lebar-lebar, seruan, teriakan, gelak tawa semakin terdengar. Empat laki-laki itu memutuskan untuk keluar dari toilet, tak lupa menyemprotkan parfum ke seragam untuk menutupi bau rokok, lalu bertanya pada salah satu murid yang lewat di depan toilet.

“Ada apaan, sih, kok berisik banget?” tanyanya. Pandangannya menatap murid-murid bergerombol selesai upacara masuk ke kelasnya.

“Itu, nilai kita bakalan diubah!” jawab perempuan yang ditanya dengan penuh semangat lalu pergi dari sana.

Para laki-laki itu mengangguk-angguk, tampak tak tertarik dengan berita ini.

“Ah, nilai diubah atau nggak, nilai gue tetep kecil!” seru salah satu dari mereka, namanya Bintang. Sebuah tabokan mendarat di belakang kepalanya. Pelakunya adalah Pandu.

“Gimana nggak kecil, pas ujian aja lo tidur. Bangun-bangun pas mepet waktu ujian selesai,” ucap Pandu di akhiri dengan gelak tawa.

Bintang mengusap belakang kepalanya. “Yaudah, sih!”

Gilang menyenggol badan Pandu. “Gimana, Pan, seneng dong aksi lo nggak sia-sia?”

Pandu mengangkat bahunya membalas pernyataan kakak kelasnya itu. “Bingung harus bereaksi gimana.”

“Lah? Nggak seneng?” tanya Eno.

“Biasa aja.”

Aksi itu malah bikin Pandu dapat banyak masalah. Mulai dari di-skors, gajinya dipotong untuk bayar hutang sepuluh juta, bertengkar dengan Ibunya karena jadi simpanan suami orang. Keuntungan yang ia dapat hanya nilainya yang berubah, sedangkan ia tahu kalau lulus nanti nilai itu tidak ada gunanya.

Gilang menyengir. “Kenapa? Nggak worth it ya?”

“Emang nggak worth it, sih. Kecuali bebas biaya SPP sampe lulus!” Pandu tertawa mendengar guyonan dari Bintang.

“Jelas nggak menguntungkan bagi kita yang setelah lulus langsung kerja. Boro-boro daftar kampus, uang aja nggak ada!” seru Eno lalu semuanya tertawa.

“Udah uang nggak ada, nilai pun pas-pasan!” Mereka kembali tertawa bersama sambil berjalan ke kelas masing-masing.

Namun percayalah, tawa yang dikeluarkan hanya untuk menutupi rasa sakit yang mereka rasakan.

*****

Ketika Pandu masuk ke dalam kelas, seorang gadis langsung menghampirinya dan berseru di depannya.

“Pandu nilai kita berubah! Aksi kita nggak sia-sia, Pan!” Wajah Rena begitu bahagia mengatakan hal tersebut. Sedangkan Pandu sebaliknya.

Rena cemberut karena Pandu tampak tak bahagia dengan hal ini. “Kok diam? Lo nggak senang, Pan?” tanyanya sambil mengikuti Pandu yang duduk di bangku samping Alvian.

“Biasa aja, Ren,” sahut Pandu malas.

Kerutan muncul di dahi Rena. “Tapi kenapa?”

Pandu mengangkat bahunya tanda tak tahu. “Mungkin karena gue udah terlalu dapet banyak masalah dari aksi itu. Sekarang memang nilai gue berubah, tapi nggak mungkin naik banyak karena gue nggak pintar. Terus dengan nilai gue yang berubah, apa masalah gue bakal selesai? Nggak.”

“Masalah?” tanya Rena tak mengerti. “Cuma di-skors dan bayar uang sepuluh juta ‘kan? Kita udah selesai di-skors terus uang sepuluh juta juga bukannya lo udah bayar? Terus masalah apa lagi?”

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang