18. Hasil Kerja Keras

27 3 0
                                    

Hai semua selamat membaca dan jangan lupa vote dan komennya ❤️

Jika kalian pernah berada di situasi sulit, sampai tak tahu harus melakukan apa, berarti kalian sama seperti Alvian saat ini. Rena menelepon dirinya dalam keadaan menangis, bicaranya tidak jelas sehingga ia tak dapat menangkap apa yang gadis itu maksud. Ditambah suara bentakan nyaring dari wanita paruh baya yang mengomeli Pandu membuatnya terpaksa mematikan telepon. Alvian mengerti apa yang wanita paruh baya itu maksud, tetapi dirinya hanya tak percaya kalau Ibunya Pandu seperti itu. Sebagai sahabat, Alvian jelas membela Pandu. Tapi sayangnya Pandu tak ingin dirinya ikut campur.

Pada saat Alvian bertanya, “Lo gapapa, Pan?” Pandu malah menjawab, “Gapapa. Lebih baik lo pulang. Makasih ya atas uangnya.”

Kalau boleh memilih Alvian ingin tetap di sana menemani Pandu yang sedang tak baik-baik saja. Mendengarkan keluh kesah tentang masalahnya. Namun, Pandu terus memaksanya untuk pulang sehingga di sinilah Alvian sekarang, di depan rumah Rena sambil mencoba menghubungi gadis itu.

“Ayo, Ren, angkat,” gumamnya pelan. Panggilan tak terjawab. Alvian menghela nafas pelan. Sepertinya Rena marah padanya.

Alvian pun memilih untuk mengirimkan pesan untuk Rena via chat.

Sorry, tadi teleponnya gue matiin. Lagi ada masalah. Kalau lo mau telepon gue lagi, telepon aja Ren. Pasti gue angkat.

Setelah pesan terkirim, Alvian segera pergi dari sana.

*****

Om Kumis kembali ke steam setelah berhasil melakukan mediasi antara ibu Pandu, Pak Eko, dan istri Pak Eko di kantor RT tempat Pandu tinggal. Ketika sampai di steam, dilihatnya Pandu tengah duduk termenung di sofa kayu. Kedua tangannya bertaut di atas lututnya. Pandangannya menatap lantai steam yang mengering karena belum ada motor yang ingin dicuci.

Laki-laki paruh baya itu menatap Pandu nanar. Sebelum Ayahnya meninggal, Pandu adalah anak yang baik, tidak pernah macam-macam, dan selalu nurut. Namun setelah kepergian Ayahnya, Pandu berubah. Terlihat lebih berantakan. Sering bolos sekolah, merokok, susah diatur, dan tak punya tujuan hidup. Makanya sebisa mungkin, Om Kumis berusaha menggantikan posisi Ayahnya itu.

“Sudah makan, Pan?” tanya Om Kumis. Pandu menggeleng. Om Kumis merogoh sakunya dan memberikan uang sebesar lima puluh ribu pada Pandu.

“Beli makanan, gih, untuk kamu sama Om.”

“Nggak usah, Om, Pandu nggak laper.” Setiap ada masalah, nafsu makan Pandu selalu hilang. Karena tubuhnya sudah kenyang oleh semua masalah.

“Apaan, sih, kamu ini. Sana beli makan buruan,” titah Om Kumis menaikkan suaranya. Akhirnya Pandu pergi membeli makan.

Tujuannya saat ini adalah warteg yang letaknya dekat steam sehingga ia bisa mencapainya dengan berjalan kaki. Pandu memesan nasi beserta lauknya sebanyak dua bungkus. Namun, ia memesan untuk salah satunya nasinya lebih sedikit atau setengah porsi untuk dirinya. Ia sedang tidak nafsu makan, takut tak habis. Selesai membeli, Pandu kembali ke steam. Kini Pandu dan Om Kumis duduk di sofa kayu sambil menyantap makanan mereka masing-masing.

Waktu menunjukkan pukul 18.00, matahari mulai terbenam, langit kian menghitam sehingga tidak ada pelanggan yang datang karena memasuki waktu magrib.  Mungkin pelanggan akan datang tiga puluh menit setelahnya.

“Tadi gimana, Om? Ibu baik-baik aja ‘kan?” tanya Pandu perihal kejadian tadi sambil mengunyah makanannya.

“Kamu makan dulu ya?” balas Om Kumis tak ingin membahasnya sekarang.

“Om, jawab Pandu.” Namun Pandu masih penasaran. Meski rasa kecewa masih menggerayangi hatinya tapi ia tetap mengkhawatirkan ibu.

Om Kumis menghela nafas panjang, akhirnya mengalah dan mengatakan hal berat ini. “Ibu kamu ngaku beneran ada main sama Pak Eko. Katanya sejak Ayahmu meninggal, Pak Eko selalu ajak Ibumu ketemuan, tapi ibumu selalu tolak. Tapi waktu kamu kena masalah yang mengharuskan bayar uang sepuluh juta, Ibumu nggak punya pilihan lain selain memenuhi ajakan Pak Eko.”

OMONG KOSONG KITA (Sistem Sekolah yang Rusak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang