Chapter 16

844 111 0
                                    

"Anin, terimakasih ya"

"Sama sama ka, aku masuk dulu ya. Ka Avan hati-hati, kalo sudah sampai jangan lupa mengabari."

Gadis itu melepaskan seatbelt sebelum akhirnya pintu mobil terbuka dan ia perlahan melangkahkan kakinya.
Avan masih bertahan dengan senyuman hingga akhirnya gadis itu hilang dari pandangannya.

Tangannya terangkat untuk menyentuh setetes air yang tiba-tiba saja menetes di atas pipinya. Jika sebelumnya ia masih terlihat kuat untuk menyelesaikan kisah kelam yang ia ceritakan pada Anin, tapi untuk saat ini nyatanya ia juga masih rapuh setiap kali mengingat kejadian itu. Entah harus berapa lama lagi ia sampai pada kelapangan dadanya setiap mengingat itu semua.

Realitanya sekarang, kejadian itu sudah berlalu selama 4 tahun, tapi tetap saja masih terasa sakitnya. Bahkan kehilangan karir dan hartanya sudah terbayar oleh kesuksesannya saat ini. Tapi tetap, ia mengklaim dirinya masih terlalu lemah karena selalu ada air mata yang jatuh di setiap ingatan yang kembali pada masa lalu.

Avan menjalankan mobilnya, ia akan kembali ke apartemen dan mengistirahatkan pikirannya di sana.

"Mas Avan tumben malem banget anterin si neng nya"

Ujar satpam komplek rumah Anin kepada Avan yang baru saja membuka kaca mobilnya untuk menyempatkan memberi sapaan pada pak satpam.

"Iya pak, tadi ada urusan dulu" jawab Avan.

"Yasudah saya pamit ya paaa, titip Anin dan rumahnya ya pak"
Tambah Avan dengan sedikit gurauan kemudian melajukan mobilnya kembali.

°°°

"Abi, umma. Kaka berangkat dulu ya"

Gadis itu menyalami kedua orang tuanya dan diberikan kecupan hangat di kening oleh ayahnya.

"Hati-hati ya nak Avan bawa mobilnya"

Pesan tante Neli pada lelaki yang sudah siap mengantar putrinya.

"Pasti umma!" jawabnya meyakinkan.

Melihat Tante Neli seperti melihat ibunya. Dekat dengan Tante Neli seperti merasakan hangatnya dekat ibunya.
Meskipun ibunya tetaplah seorang perempuan yang tidak bisa digantikan oleh siapapun, tapi setidaknya semenjak dekat dengan tante Neli bisa mengobati kerinduan terhadap ibunya.

"Nin, 2 Minggu lagi saya sidang"

Ujarnya pada gadis disampingnya. Anin menolehkan kepalanya, menatap lelaki yang sedang fokus mengendalikan setir yang ada ditangannya.

"Wahhh, hebat kamu ka" jawab Anin penuh rasa bangga.

"Doakan saya pada Tuhanmu ya, semoga berkenan melancarkan segala urusan saya juga"

Seharusnya Anin tidak perlu diam dan berusaha mencerna maknanya, krena itu sangat jelas maksudnya.
Tapi diamnya Anin bukan karena kesulitan memaknai itu, tapi karena ia kembali tersadar bahwa mereka berbeda.

"Iyaa ka, Tuhan kita sama ko. Hanya kepercayaannya saja yang beda"

Kelas Anin dengan lengkungan senyum yang terukir.
Avan melirik untuk membalas senyuman gadis itu, sebelum akhirnya kembali fokus menyusuri jalan di depannya.

Mereka sama sama menepikan perbedaan yang ada. Karena Avan butuh kehangatan gadis itu dan Anin butuh sosok yang supportif seperti lelaki di sampingnya.

"Oh iya ka, hari ini aku pulang siang. Jadi, kaka ga usah jemput aku nanti sore."

Jelas Anin pada lelaki yang setiap hari mengantar juga menjemputnya.

"Yakin ga mau saya jemput aja?"

"Ga usah kaa. Nanti waktu kerja Kaka kepotong cuman karena jemput aku"
Anin masih berusaha menolaknya.

We Will always be us [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang