Chapter 10

881 113 5
                                    

Setiap pagi sepertinya akan menjadi waktu terfavorit bagi lelaki berdarah Bali ini. Karena di setiap pagi, ia merasakan kehangatan untuk menjadi bekal dalam berkegiatan nantinya. Pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Avan kembali datang ke rumah Anin untuk sarapan bersama keluarga Anin.

Keluarga Anin tentu saja selalu menerimanya dengan hangat, bahkan menelponnya saat jam sarapan sudah mulai tapi Avan belum juga datang. Perhatian yang orang tua Anin berikan pada Avan sama seperti perhatian  mereka pada Anin dan adik-adiknya. Beruntung bukan, bisa hadir di tengah-tengah keluarga ini.

"Abang Avan!"

Pekik adik kecil Anin berlari ke arah Avan dengan secarik kertas ditangannya. Avan membalikan tubuhnya dan menjajarkan tingginya dengan tinggi adiknya Anin.

"Nasywa kemarin gambar pohon, bagus tidak?" Tanyanya pada Avan dengan menunjukan hasil gambar di atas kertas yang ia bawa.

"Wahh, bagus sekali ini. Nanti kita belajar gambar bareng-bareng ya supaya gambarnya bisa lebih bagus lagi" ujar Avan dengan sangat antusias.

Tanpa sadar, Anin memperhatikan kedekatan Avan dengan adik kecilnya. Anin bingung, ilmu apa yang Avan miliki sampai semua anggota keluarganya merasa sedekat itu dengan Avan. Bibirnya tertarik ke samping, membentuk sebuah lengkungan tipis yang juga membuat matanya ikut menyipit.

Pagi ini, Anin kembali diantar Avan ke sekolah. Sudah menolak terus menerus pun tetap saja tidak berhasil. Avan yang selalu punya cara untuk membuat Anin mau diantar olehnya. Padahal sebelum pertemuannya dengan Avan, Anin memang sudah terbiasa berangkat sekolah sendiri.

Sebagai anak pertama ia selalu berani melakukan apapun meski tanpa orang lain. Tapi sejak bertemu Avan, ia justru membuat Anin merasa seperti seorang putri yang seakan kesendiriannya tidak boleh terjadi.

"Ka Avan,  aku sudah biasa sendiri. Jadi ka Avan ga usah repot-repot mau antar aku sekolah tiap pagi" ucap Anin hati-hati.

Berharap kata demi katanya tidak melukai karena memang tujuan Anin hanya tidak ingin menghabiskan waktu Avan untuk bekerja karena mengantar Anin sekolah sebelummya.

"Nin, selama ada saya kamu ga akan saya biarin sendiri" jawab Avan yang masih memfokuskan tatapannya ke depan.

Jawaban Avan selalu membuat nyaman di dengar oleh Anin. Entah karena Avan seorang playboy, atau buaya yang ucapannya manis seperti gula.

Percuma bagi Anin selalu menolak ajakan Avan, karena memang Avan tidak menerima penolakan.
Anin hanya berharap, ia tidak merepotkan Avan, dan tidak merasa punya hutang Budi pada Avan.


°°°

Kembali pada ruang kerja yang cukup luas dan sangat tertata rapih juga terlihat bersih. Aroma pewangi ruangan menelusuk ke dalam hidung yang membuat siapapun penciumnya akan merasa nyaman di dalam sana.

Avan kembali duduk di kursi yang sudah menjadi sandarannya selama beberapa tahun terakhir ini. Baru satu hari tidak masuk kerja, berkas-berkas di atas mejanya sudah menumpuk saja.

Tapi tidak masalah baginya, karena kemarin ia fokus pada bimbingan skripsi terakhirnya, sehingga mulai hari ini dan 30 hari yang akan datang ia hanya akan fokus mempersiapkan hari sidang bagi skripsinya itu.

"Pagi brooo"

Ucap seorang lelaki yang baru saja masuk ke dalam ruangan Avan.

"Udah balik lu?"

Tanya Avan saat menyadari seseorang menyapanya. Lelaki tadi menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang ada di depan meja kerja Avan.

"Udah dari kemaren"

We Will always be us [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang