chapter 08

21 5 0
                                    

Kᴀʀʏᴀ ɪɴɪ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ғɪᴋsɪ. Kᴀʀᴀᴋᴛᴇʀ, ᴛᴇᴍᴘᴀᴛ, ᴀᴅᴇɢᴀɴ ᴅʟʟ ʏᴀɴɢ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ɪᴍᴀᴊɪɴᴀsɪ ᴘᴇɴᴜʟɪs. Aᴅᴀɴʏᴀ ᴋᴇsᴀᴍᴀᴀɴ ɪᴛᴜ ᴍᴇʀᴜᴘᴀᴋᴀɴ ᴋᴇʙᴇᴛᴜʟᴀɴ, ʜᴀʀᴀᴘ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴋᴇᴋᴇʟɪʀᴜᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇɴʏᴀᴛᴀᴀɴ.

•••
- BAB 8 | 10 MENIT SEBELUM KEJADIAN -
•••

Lia terbangun oleh suara teriakan Helen. Ia segera menyikap selimut dan buru-buru pergi ke kamar mandi di mana suara teriakan Helen berasal. Lia terkejut saat menemukan gadis itu duduk merapat ke dinding dan menangis. Tubuhnya bergetar ketakutan.

Tanpa bertanya keadaan Helen lebih dulu, Lia lebih memilih untuk membawa Helen keluar dari kamar mandi dan mendudukan gadis itu di tepi tempat tidur. Lia menunggu sampai Helen tenang sebelum mempertanyakan kondisi gadis itu dan penyebab yang membuatnya berakhir dalam kondisi kacau.

"Lo kenapa, Len? Cerita sama gue," kata Lia, ia mengenggam tangan Helen seakan menyalurkan kehangatan.

"Len?"

Bibir Helen bergeter, dia nyaris menangis lagi. Tapi Lia segera menenangkannya. Helen tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menceritakan masalahnya pada Lia.

Dari awal Helen menerima setangkai lily putih, seseroang yang mengikutinya di lorong dan apa yang baru saja ia alami di kamar mandi semenit yang lalu.

Lia tentu saja terkejut. Soal lily putih dan penguntit, Lia membuka pikiran karena hal itu masuk akal. Tapi soal apa yang terjadi di kamar mandi sudah diluar kepercayaan Lia. Itu bukan lagi terdengar sebagai teror yang dilakukan seseorang, tapi oleh hal lain.

Tapi Helen bersikeras dengan apa yang dilihatnya, membuat Lia mau tidak mau bersikap seolah ia percaya agar Helen tidak terlalu menekan diri lagi.

Kekacauan pagi itu berakhir dengan Helen kembali ke kamarnya sendiri untuk bersiap pergi ke sekolah. Sementara Lia pergi ke kamar mandinya untuk mengecek. Lia masih sulit mempercayai cerita Helen, bukannya Lia tidak percaya cerita hantu, tapi sulit untuk benar-benar melihat hal-hal semacam itu dengan mudah.

Membuang napas berat, Lia berusaha untuk tidak lagi berpikir keras tentang hal tersebut. Ia kemudian mulai bersiap untuk pergi ke sekolah.

Tapi, sayangnya, otaknya tidak benar-benar menurut. Pikirannya masih terdistraksi oleh cerita Helen dan apa yang gadis itu alami. Pandangan Lia tertuju ke arah meja depan, ia melihat punggung Helen sementara sang empuh tengah fokus pada Bu Jessie yang tengah bicara menggunakan bahasa Inggris yang sedikit di selipkan kata-kata lokal.

Perhatian Lia kemudian teralihkan oleh suara puplen yang jatuh. Lia menoleh ke belakang dan menemukan Ajun menunduk meraih pulpen miliknya. Namun sebelum kembali duduk tegak, Ajun justru menatap Lia dan bicara tanpa suara, menanyakan kenapa Lia melamun saat pelajaran. Hal yang tidak biasa gadis itu lakukan.

Tidak ingin membuat Ajun khawatir, Lia menggeleng cepat dan menggeleng singkat. "Bukan hal penting."

Sayangnya, Ajun terlalu mengenal Lia sehingga dengan mudah melihat tanda bahwa gadis itu tengah berbohong. Lia punya kebiasaan mengepalkan tangan dengan menyembunyikan ibu jarinya saat sedang berbohong. Tapi tidak ingin memborbardir Lia dengan pertanyaan di tengah pelajaran yang masih berlangsung, Ajun menahan hasratnya dan kembali menelungkupkan kepala di atas meja, memejamkam mata, kembali tidur. Beberapa menit kemudian, Lia ikut jatuh tertidur.

Bel berbunyi, pertanda jam pelajaran pertama telah selesai dan akan dilanjutkan dengan pelajaram kedua.

Ajun yang tidak benar-benar terlelap, bangkit dari posisi telungkupnya dan melihat keadaan Lia. Baru saja ingin menanyakan perihal kebohongan gadis itu, Ajun justru menemukan Lia tertidur.

"Cekcekcek." Jevon datang sembari mengeluarkan suara menyebalkan, yang hanya ditanggapi Ajun tanpa minat.

Seila yang datang bersamanya kemudian menduduki kursi di depan meja Lia yang masih tidur.

"Lia kayaknya kelamaan bergaul sama lo deh, Jun sampe kena virus tukang molor lo," cetus Jevon.

Ajun menggerakan bibirnya mengikuti gerakan mulut Jevon dengan gaya mencibir. "Lo banyak omong banget deh, Pon." Ajun kemudian beralih pada Seila. "Tiati, Sei. Kemungkinan lo bakal ketularan virus cerewetnya Jepon karena sering bareng."

Seila bergidik mendengar perkataan Ajun. "Dih, amit-amit."

Giliran Jevon yang mencibir karena balasan Ajun terhadapnya.

"Lia abis begadang yak?" tanya Susan, ikut nimbrung. Ia datang bersama Runa dan Yeji. Mereka duduk di sekitar meja Ajun dan Lia. Yang masih tidur.

"Bangunin deh, Jun. Bentar lagi guru masuk," ujar Seila.

Ajun mengangguk. Ia hendak menyentuh bahu Lia untuk membangunkan gadis itu, tapi, belum sempat tangan Ajun mendarat di bahu Lia, gadis itu tiba-tiba bangun dan langsung duduk tegap. Pergerakannya tidak hanya mengagetkan Ajun, tapi juga lima orang lainnya yang duduk di sekitarnya.

"Lia, lo ngagetin, anjir," seru Susan. Ia memegang dadanya dengan kening berkerut sedikit kesal.

"Gue hampir jantungan, sial," umpat Jevon.

Runa menarik hembuskan napasnya yang sempat terdistraksi karena terkejut.

Seila dan Yeji sama-sama sempat menahan napas dan kini sedang berusaha menromalkan irama jantung dan pernapasan.

Namun, seperti tidak perduli dengan orang-orang yang terkejut dengan tindakannya, Lia justru panik saat menemukan bangku Helen kosong dan juga tidak melihat gadis tersebut di dalam kelas. Lia langsung menatap satu persatu teman-teman kelasnya yang keheranan melihat sikapnya.

"Kemana Helen? Kalian ada yang liat Helen pergi ke mana?" tanya Lia.

Ajun mengenali sikap dan peragai itu. Kepanikan Lia yang datang karena di sebabkan oleh sesuatu. Ajun pun bergerak cepat, berusaha menangani kepanikan Lia.

"Dia tadi keluar setelah pelajaran pertama selesai," kata Runa. Jadi orang yang menjawab karena nampaknya yang lain masih terkejut oleh rekasi Lia.

Lia langsung bangkit berdiri dan dengan agak kasar mendorong Runa dan Susan yang menghalangi jalan. Dia berlari keluar dari kelas dan Ajun dengan cepat ikut menyusl, bersamaan dengan Runa. Sementara yang tersisa mengikuti meski dilanda kebingungan.

Akan tetapi, langkah Runa tiba-tina terhenti saat pandangannya menangkap sosok Windi yang berjalan tegap seperti orang yang tidur berjalan tidak jauh di depannya. Runa melihat Windi hendak memasuki Toilet ketika langkahnya didahului Lia dan yang lainnya. Dan selanjutnya, sebuah teriakan menggema dari tiga siswi yang masuk ke dalam. Lalu teriakan yang lebih nyaring dari Windi mengikuti, lebih keras sampai mengundang perhatian orang-orang untuk datang ke dalam toilet. Dimana jasad baru kembali di temukan.

To Be Continued


A/n

Mohon vote dan komentarnya~

Dire PlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang