Kᴀʀʏᴀ ɪɴɪ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ғɪᴋsɪ. Kᴀʀᴀᴋᴛᴇʀ, ᴛᴇᴍᴘᴀᴛ, ᴀᴅᴇɢᴀɴ ᴅʟʟ ʏᴀɴɢ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ɪᴍᴀᴊɪɴᴀsɪ ᴘᴇɴᴜʟɪs. Aᴅᴀɴʏᴀ ᴋᴇsᴀᴍᴀᴀɴ ɪᴛᴜ ᴍᴇʀᴜᴘᴀᴋᴀɴ ᴋᴇʙᴇᴛᴜʟᴀɴ, ʜᴀʀᴀᴘ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴋᴇᴋᴇʟɪʀᴜᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇɴʏᴀᴛᴀᴀɴ.
•••
- BAB 14 | FOTO DALAM RUANGAN MERAH -
•••Ruang klub fotografi itu ada di lantai tiga. Katanya, Naren adalah satu-satunya anggota aktif dan sering keluar masuk ruangan itu.
Sejak pindah ke Cartagana, Runa belum pernah melihat Naren bicara dengan seorang pun. Cowok itu hanya berkeliaran mengambil gambar dari setiap objek yang dia temukan. Lalu berdiam diri di ruang fotografi untuk mencetak hasil potretnya. Katanya, jika ingin menemui Naren, datang ke ruang fotografi adalah pilihan yang paling tepat, karena disana satu-satunya tempat tetap yang sering Naren singgahi selain kelas.
Selepas kelas terakhir, Runa yang kebagian jadwal piket, terpaksa menahan niatnya untuk mengajak Naren bicara, dengan tidak rela membiarkan cowok itu berlalu begitu saja meninggalakan kelas, sementara dirinya mesti berurusan dengan sapu serta meja dan kursi berantakan dan perlu di tata.
Piket berlangsung hanya beberapa menit, tapi menit juga adalah waktu, jadi Runa agak sebal karena piketnya tiba di waktu yang paling tidak tepat. Selepas membersihakan kelas, Runa mengabaikan ajakan Yeji untuk kembali ke asrama bersama, dia terlalu buru-buru sampai mengabaikan tasnya yang tidak sempat ditutup.
Setelah berlari tergopah-gopah, Runa akhirnya mencapai ruang fotografi. Dia berharap akan menemui Naren di sana. Runa mengetuk pintu, berulang kali sembari memanggil-manggil nama si fotografer. Tapi, tidak ada sahutan.
"Dia nggak ada di sini juga?" Runa merutuk. Dia menoleh kanan dan kiri. Koridor sudah sepi karena semua orang sudah meninggalkan sekolah dan pergi ke asrama, menanti waktu makan malam yang akan tiba hampir dua jam lagi.
Runa menatapi pintu di hadapannya, menimang-nimang untuk masuk atau tidak. Bisa saja Naren sedang memakai penyumbat telinga apa pun itu sehingga tidak dengar. Tapi itu pun hanya dugaan. Naren bisa saja sudah kembali ke asrama, jika sudah di sana, Runa tidak bisa bertanya di mana letak kamar Naren, itu akan sangat aneh meski niatnya tidak.
Mengambil napas dalam-dalam, Runa meraih knop pintu, memutarnya setengah dan mengetahui bahwa tidak terkunci. Menoleh ke arah koridor sebelah kanan dan kiri sekali lagi, Runa memantapkan niat memasuki ruang fotografi. Dia sadar bahwa dia seperti seorang yang sedang melakukan hal mencurigakan, masuk dengan mengendap-endap dan memeriksa apakah ada orang yang melihat atau tidak, tapi Runa terlalu penasaran, dan pikirannya sedang tidak rasional seperti anak baik-baik saat ini. Lagi pula, Runa tahu dia memang bukan anak baik-baik.
Seperti yang diduga, tidak ada seorang pun selain dia di sana. Hanya ruangan kosong dengan benda-benda fotografi pada umumnya. Runa merutuk dan berdecak sebal. Dia terlalu tidak sabaran untuk menunggu besok. Tapi apa boleh buat, sebentara lagi malam dan hari ini akan berlalu begitu saja tanpa hasil apa pun.
Runa baru akan pergi ketika pandangannya jatuh pada pintu lain dalam ruangan. Rasa penasarannya kembali muncul, jadi, alih-alih segera keluar, Runa mengarahkan langkah menuju ruangan tersebut.
Ruangan itu remang-remang dengan pencahayaan merah, tampak gelap disudut-sudut ruangan. Ada meja besar ditengah dan berlembar-lembat foto yang telah di cetak, ada juga yang terjepit pada untaian tali yang terpasang bak tali jemuran.
Runa mengawasi ruangan itu, mengamati dan meneliti lembar-lembar foto yang ada di sana. Sebagian besar foto adalah objek tidak penting, tapi sebagiannya lagi adalah foto-foto dari kasus yang tengah senter di sekolah mereka saat ini.
Foto-foto yang dijepit berjejer pada tali adalah foto-foto korban dan situasi saat insiden tragis itu terjadi. Foto mayat Saka, Helen bahkan Nana.
"Gila, fotonya jelas banget." Tiba-tiba Runa merasakan kengerian dan dia bergidik karenanya. Hawa dalam ruang gelap seketika terasa menakutkan, perasaan bagai ada mata yang mengawasi dari sudut-sudut ruangan membuat bulu kuduk Runa meremang.
Mulai merasakan ketidak nyamanan dan semakin dilingkupi ketakutan, Runa beranjak keluar dari ruang gelap itu. Tepat saat dia melewati pintu, sosok yang sejak tadi dicarinya kini sedang berdiri tepat di hadapannya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Naren?"
Runa mengejrap. Kemunculan Naren yang tidak terduga membuat jantung Runa nyaris meledak saking terkejutnya. Tapi begitu tatapannya beradu dengan mata penuh tuntutan yang memandangnya tajam, Runa seketika menciut.
"Apa maksud lo masuk ke ruang ini sendirian?" Naren akhirnya buka mulut, dengan langsung menanyakan point penting tanpa basa-basi. "Mau cari sesuatu?"
Tidak ingin dituduh macam-macam, Runa segera menyela sebelum Naren sempat bicara lagi, "gue nyari lo."
Alis Naren berkerut penuh tanya. "Gue? Buat apa?"
Berdehem sejenek untuk menetralisir kegelisahannya, Runa bicara, "ada yang gue mau dari lo." Ekspresi Naren sama sekali tidak berubah sepanjang Runa mengawasinya. "Foto-foto yang lo ambil saat insiden kematian Helen. Gue pengen mastiin sesuatu."
"Apa?" Naren penasaran, tapi dia tidak menunjukan secara gemblang di hadapan Runa.
Ada jeda hening yang cukup lama melingkupi mereka. Selepas pertanyaan satu kata Naren, Runa tidak kunjung menjawab, sebab dia ragu. Mempercayai seseorang tampaknya bukan sesuatu yang bisa dia lakukan dalam situasi ini. Runa baru saja bicara dengan Naren hari ini, jadi dia belum mengenal Naren dan orang seperti apa dirinya. Juga, selepas melihat foto-foto korban di ruang gelap, perasaan Runa menjadi cukup rumit, dia gelisah dan dalam kondisi itu, satu pemikiran mengutusnya pada satu kesimpulan bahwa Naren cukup mencurigakan.
Gerak-gerik dan gelegatnya memang sulit diartikan, tapi justru itulah yang membuatnya menjadi salah satu orang aneh yang mencurigakan
"Gue nggak duga kalo orang kayak lo ternyata tertarik sama kasus kematian," cetus Naren, setelah lama menunggu jawaban tapi tak kunjung direspon. "Apa menurut lo, foto-foto yang gue ambil bisa bantu lo nemuin petunjuk ke pelaku?" Sudut bibir Naren tertarik sedikit ke atas, membentuk senyum miring yang memberi kesan meremehkan.
Cukup jelas untuk melihat bagaimana ekspresi meremehkan yang di buat Naren untuk ditunjukan padanya, Runa tidak bisa menahan kekesalan dan membalasnya dengan tatapan tajam.
"Pelaku? Apa lo juga nyimpulin kalau kasus-kasus itu punya pelaku? Karena dari keterangan polisi, itu adalah kasus bunuh diri"
Naren mengedikan bahu acuh, tapi itu justru menarik rasa penasaran Runa lebih kuat. Dia berdecih, lalu sorot matanya berubah menantang. "Gue rasa lo kayaknya tau sesuatu."
Mengambil satu langkah lebih dekat, Runa menatap tepat ke dalam mata Naren, mencoba menggali sesuatu dari sana.
"Hal yang cukup penting."
Meski Runa mencoba mengintimidasi, Naren tidak goyah, dia tetap kukuh, membalas tatapan Runa sama menantangnya.
"Gimana kalo lo kasih tau gue?"
To Be Continued
A/nDitunggu vote dan komentarnya~

KAMU SEDANG MEMBACA
Dire Plight
ParanormalSerangkaian kasus kematian misterius terjadi di sekolah asrama Cartagana. Runa, sebagai murid baru yang menempati kamar lama dari korban pertama, mengalami rentetan penglihatan yang tertinggal di tempat kejadian. Sebuah tulisan "Know You Place" meni...