chapter 22

4 2 0
                                    

Kᴀʀʏᴀ ɪɴɪ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ғɪᴋsɪ. Kᴀʀᴀᴋᴛᴇʀ, ᴛᴇᴍᴘᴀᴛ, ᴀᴅᴇɢᴀɴ ᴅʟʟ ʏᴀɴɢ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ɪᴍᴀᴊɪɴᴀsɪ ᴘᴇɴᴜʟɪs. Aᴅᴀɴʏᴀ ᴋᴇsᴀᴍᴀᴀɴ ɪᴛᴜ ᴍᴇʀᴜᴘᴀᴋᴀɴ ᴋᴇʙᴇᴛᴜʟᴀɴ, ʜᴀʀᴀᴘ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴋᴇᴋᴇʟɪʀᴜᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇɴʏᴀᴛᴀᴀɴ.

•••

- BAB 22 | MALAM API UNGGUN

•••

Malam itu, bulan bersinar dengan indahnya, menerangi halaman asrama Cartagana. Karina, dengan senyum bersemangat di wajahnya, berjalan menuju kamar Windi. Diketuknya pintu kamar asrama itu perlahan.

"Windi?" panggil Karina dari luar.

"Masuk aja, Rin," jawab Windi dari dalam kamar.

Karina membuka pintu dan mendapati Runa sedang membaca buku di ranjangnya. "Lagi ngapain?" sapa Karina.

"Baca buku aja. Kenapa, Rin?" balas Windi sambil menutup bukunya.

"Ke pesta api unggun yuk." ajak Karina dengan antusias.

"Pesta api unggun? Mereka jadi ngadain?" tanya Windi dengan nada gelisah.

Karina mengela napas pelan, ia menghampiri Windi, duduk di tepi tempat tidurnya. Paham akan kegelisahan Windi saat ini. "Lo masih mikirin kasus Mira?"

Melihat Windi menundukan kepalanya, Karina tahu tebakannya benar.

"Padahal kita udah tahu Mira bakal jadi korban selanjutnya, tapi kita bahkan nggak bisa lakuin apa pun yang bisa nyegah..."

Sorot mata Karina menjadi lirih. "Apa yang kita tahu, belum pasti, Win. Mira bahkan udah hilang lebih dulu."

"Entah kenapa, gue merasa bersalah," ungkap Windi, murung.

Karina menepuk bahu Windi dan mendiamkannya sejenak. "Lo nggak seharusnya merasa bersalah, karena emang bukan salah lo..."

"Tapi, Rin." Windi menatap Karina dengan sorot mata sayu dan lirih.

"Windi, dengerin gue," kata Karina, lebih tegas. "Apa yang terjadi di sekolah ini, seharusnya bukan tanggung jawab kita. Gue tahu lo ngerasa sedih karena selalu jadi orang yang nemuin jasad korban, walaupun kali ini, bukan lo yang nemuin Mira, jujur, gue legah. Win, hanya karena lo yang nemuin korban pertama kali, itu bukan berarti lo harus bertanggung jawab juga."

Windi terdiam cukup lama, mencerna baik-baik ucapan Karina. Logikanya menyetujui semua ucapan tersebut, tapi perasaan gelisah, tidak hilang dari hatinya.

Karina menghela napas panjang. Ekspresi wajahnya melunak. Karina pun tersenyum kecil. "Dalam situasi sekarang ini, Win. Lo butuh penghiburan. Ayo bareng gue ke pesta api unggun."

Windi mengulum bibir, lantad mengangguk kecil, membuat Karina merasa legah.

Mereka berdua pun keluar dari kamar asrama dan bergabung dengan murid-murid Cartagana lainnya yang sudah berkumpul di halaman belakang asrama. Malam itu, mereka semua bersenang-senang di pesta api unggun, menikmati kebersamaan dan suasana malam yang hangat.

Namun, di tengah ramainya pesta, Windi yang masih tidak bisa melupakan kejadian yang menimpa Mira beberapa waktu lalu. Kasus itu masih menjadi misteri dan menimbulkan kekhawatiran di kalangan murid Cartagana. Windi jadi teringat akan Mira.

Di antara murid-murid Cartagana lain, Windi melihat Runa sedang berdiri sendirian, tampak memandangi teman-temannya yang sedang menari di sekitar api ungggun.

"Runa," panggil Windi, suaranya sedikit bergetar.

Runa menoleh ke arah Windi. "Eh, Win. Kenapa?" tanya Runa.

Windi sejenak ragu, tapi akhirnya ia mengungkapkan apa yang mengganjal dalam pikirannya "Apa lo nggak khawatir sama situasi sekolah kita sekarang?"

"Kenapa lo tiba-tiba nanyain?" tanyanya heran.

"Gue masih kepikiran tentang Mira. Kasus itu belum selesai, dan kita semua masih dalam ketidakpastian. Gimana kalau sesuatu yang buruk terjadi sama kita juga?" ujar Windi dengan nada khawatir.

Runa terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Gue ngerti kekhawatiran lo, Win. Gue juga khawatir. Apa yang terjadi sama Mira dan temen-temen yang lain, kita belum bisa pastiin apa pun. Tapi untuk sekarang, kita harus tetap berani dan saling jaga satu sama lain," jawab Runa.

"Tapi, gimana caranya? Sementara kita masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Windi, matanya mulai berkaca-kaca.

Runa merangkul Windi dan mencoba menenangkannya. "Gue percaya, cepat atau lambat, kebenaran pasti akan terungkap. Lagian, kita udah sepakat buat cari tahu kan? Sementara itu, untuk saat ini kita nikmatin malam ini dan lupain sejenak masalah ini. Jangan terlalu setress, Windi," ujar Runa.

Windi mengangguk lemah. Ia memang masih khawatir, tapi kata-kata Runa memberinya sedikit kekuatan. Ia mencoba untuk menikmati pesta api unggun itu, meskipun bayangan Mira masih menghantuinya.

Di tengah keramaian, matanya menangkap sosok Aska yang duduk sendirian agak jauh dari kerumunan. Hanya menatap api unggun dengan wajah tanpa ekspresi berarti. Windi tahu Aska adalah teman sekelasnya, tapi selama ini ia mengenalnya sebagai sosok yang pendiam dan misterius. Tak banyak yang tahu tentang Aska, kecuali bahwa ia pintar dan suka menyendiri.

Windi melupakan niatnya untuk menghampiri Aska. Tapi tidak lama kemudian, tanpa disangka, Aska tiba-tiba duduk di sebelahnya. Windi sedikit terkejut, namun ia berusaha bersikap biasa.

"Aska, hai," sapa Windi, mencoba membuka percakapan.

Aska mengangguk singkat. "Hai."
Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat. Windi merasa canggung, ia tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana.

"Tumben" ucap Windi, memulai percakapan, "lo biasanya nggak pernah ikut acara kayak gini."

Aska mengangkat bahu. "Gak tau, pengen aja," jawabnya singkat, matanya masih fokus ke api unggun.

Windi mengangguk-angguk. "Oh..."
Hening seketika.

"Padahal, saat ini seharusnya masih masa berduka," gumam Windi, tanpa sadar, tatapannya tertuju ke arah teman-temannya yang sedang bersenang-senang di dekat api unggun.

Aska melirik Windi. Mengamati gadis itu, menyaksikannya berulang kali menghela napas berat. Menunjukan bahwa dia sedang gelisah akan sesuatu.

Aska meronggah sesuatu dari dalam jaketnya, "mau denger?" tawar Aska, memamerkan sebuah mp3 pada Windi.

Mata Windi mengejrap terkejut. Windi hanya menatap Aska masih dengan tatapan tidak menyangka, sampai akhirnya Aska memasangkan headset ke sebelah telinga Windi, dan juga ke sebelah telinganya, membuat mereka mendengarkan lagu yang sama.

Alunan lagu yang perlahan-lahan memasuki indra pendengarannya, membuat senyum kecil merkah di wajah Windi. Sebuah lagu menenangkan yang turut mengusir rasa gelisahnya.

Sementara itu, Karina yang sejak tadi memperhatikan, dan merasa khawatir hanya dengan melihat raut wajah Windi yang gelisah, kini merasa lebih legah. Dalam batinyanya, ia berterima kasih pada Aska yang telah membuat Windi jadi lebih santai.

"Rin."

Tepukan dibahu dan teguran suara dari seseorang, mengambil alih perhatian Karina. Melihat siapa orang itu, Karina tersenyum kecil.

"Ngelamun lagi. Masih ngehawatirin Windi?"

Karina mengangguk. "Tadinya, tapi..." Karina menuding ke arah tempat Windi dan Aska. Senyumnya makin lebar melihat dua orang tersebut. "Udah enggak."

"Aska?"

"Iya. Nggak nyangka ya, Yo. Aska yang pendiam bisa ngehibur orang," kata Karina, tidak percaya.

Yogi mengangguk, ia juga tidak percaya. Tapi dia ikut tersenyum melihat kedekatan Windi dan Aska. Lalu, pandangannya beralih pada gadis di sampingnya, senyum Yogi makin melebar makin dia mengamati Karina.

To Be Continued

A/n

Vote dan komentar jangan lupa~

Dire PlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang