chapter 05

29 7 0
                                    

Kᴀʀʏᴀ ɪɴɪ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ғɪᴋsɪ. Kᴀʀᴀᴋᴛᴇʀ, ᴛᴇᴍᴘᴀᴛ, ᴀᴅᴇɢᴀɴ ᴅʟʟ ʏᴀɴɢ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ɪᴍᴀᴊɪɴᴀsɪ ᴘᴇɴᴜʟɪs. Aᴅᴀɴʏᴀ ᴋᴇsᴀᴍᴀᴀɴ ɪᴛᴜ ᴍᴇʀᴜᴘᴀᴋᴀɴ ᴋᴇʙᴇᴛᴜʟᴀɴ, ʜᴀʀᴀᴘ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴋᴇᴋᴇʟɪʀᴜᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇɴʏᴀᴛᴀᴀɴ.

•••
- BAB 5 | BAYANGAN DI LORONG SEKOLAH -
•••

Pintu loker dibuka, dan hal pertama yang terlihat di dalamnya adalah setangkai bunga lily putih. Si pemilik loker meraih bunga tersebut dengan kasar sebelum mengambil satu buku. Ia kemudian berjalan ke arah tempat sampah dan membuang bunga lily putih itu. Ekspresinya mengeruh, merasa ketakutan.

Lorong saat itu sudah sepi, hampir sebagian besar murid telah masuk ke dalam kelas karena jam pelajaran sebentar lagi akan dimulai.

Hawa menakutkan terasa lebih pekat karena keberadaan lily putih yang ia ditemukan. Gadis itu melihat ke arah lorong kiri dan kanan, seolah memastikan sesuatu yang mengganjal. Seperti ada seseorang yang tengah memperhatikan.

Tubuhnya tiba-tiba merinding. Ia kemudian lekas beranjak pergi. Berjalan menyusuri lorong yang telah sepi sendirian. Perasaan seperti tengah diikuti semakin kuat dan membuatnya tidak tenang. Gadis itu mulai mempercepat langkah, merasa amat ketakutan.

Suara derap langkah sepatu yang berasl dari belakangnya memperjelas bahwa memang ada seseorang yang tengah mengikutinya. Tapi gadis itu terlalu ketakutan untuk sekedar menoleh ke belakang. Maka alih-alih melihat siapa yang mengikutinya, gadis itu justru berlari ketakutan, menyusuri lorong, mengambil jalan acak seolah tidak lagi ingat bahwa ada kelas yang sebentar lagi akan dimulai.

Langkah gadis itu membawanya ke sebuah ruangan kosong. Ia menutup pintu dan bersandar dengan nafas putus-putus. Jantungnya masih berdetak hebat akibat lonjakan rasa takut yang tiba-tiba meningkat.

Ada jeda tenang sesaat, tapi selanjutnya suara gedoran kasar dari balik pintu membuat gadis itu menjerit dan berusaha mendorong pintu agar tetap tertutup. Gedoran itu semakin keras, seolah tenaga si penggedor lima kali lipat lebih besar dan nyaris mendobrak pintu.

Gadis itu mulai menangis, menahan pintu dengan susah payah. Sampai gedoran pintu akhirnya berhenti, membuat gadis itu bungkam dan berniat untuk memeriksa. Namun, detik berikutnya, pintu kembali diketuk dari luar, kali ini tidak terdengar kasar.

"Siapa di dalem? Keluar. Lo nggak boleh masuk gitu aja ke ruang fotografi." Terdengar decakan sebelum orang itu kembali bicara, "keluar."

Gadis itu dengan perlahan membuka pintu, dengan takut menerka siapa yang berada di balik pintu. Sampai ketika pintu akhirnya terbuka, ia justru menemukan sosok laki-laki, teman sekelasnya sendiri berdiri di depan pintu dengan wajah berkerut kesal.

"Naren?"

"Helen? Lo ngapain di sini?" tanya Naren. Ia melonggok untuk melihat apakah ada sesuatu yang lain dalam ruang fotografi yang bisa menarik perhatian Helan.

Helen segera menggeleng. Ia kemudian melihat ke sana kemari, mencari sesuatu, membuat Naren mengerutkan alis bingung. "Ada apa? Lo nyari seseorang?"

Seperti mendapat teguran, Helen kembali melihat Naren dan menggeleng cepat. "Nggak. Nggak ada." Gadis itu menipiskan bibir dan menelan saliva. Ia menatap Naren gugup sebelum pamit pergi.

Helan menoleh ke belakang lagi, melihat ke arah Naren yang bergerak masuk ke dalam ruang fotografi dan menghilang. Helen menarik napas dalam, perasaannya bimbang antara mencurigai Naren atau tidak.

Gadis itu berdecak singkat, sebelum membuang pemikirannya dan lekas pergi menuju kelas yang sudah berlalu nyaris satu jam.

Helen menemukan beberapa teman kelasnya berdiri di samping pintu kelas yang sudah tertutup rapat. Mereka mengangkat tangan ke atas, hukuman karena tidak mengerjakan pr.

"Len, tumben telat." Haikal menyapa lebih dulu, tersenyum manis pada Helen yang tidak begitu peduli. Helen lebih tertarik pada salah satu dari lima orang yang berdiri di sana.

Alisnya berkerut heran. "Jendra?" panggil Helen, memastikan, cukup terkejut menemukan siswa lima besar di antara murid yang dihukum.

"Beneran Jendra, Len. Lo kira setan." Haikal terkekeh bersama Jevon dan Yuina. Runa yang berdiri di antara dua orang itu hanya bisa menggeleng pelen.

Mengabaikan tiga temannya, Runa lebih tertarik dengan alasan murid teladan seperti Helen bisa telat masuk kelas. "Kenapa bisa terlambat, Len?"

Perhatian Helen beralih pada Runa. Untuk sejenak, Helen terdiam karena tidak tahu harus memberi alasana apa.

"Lo kepo banget si, Run. Helen pasti ngurus sesuatu yang pastinya bermanfaat. Ohya dong, murid teladan," kata Yuina, kata-katanya sedikit sinis. Runa kemudian menatapnya dan menghela napas tak habis pikir. Haikal menyenggol lengan Yuina dan memberi isyarat agar gadis itu tutup mulut.

Sementara Jendra yang sejak tadi diam, hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir saat melihat pertengkaran kecil mereka. Dia kemudian beralih pada Helen dan tersenyum maklum. "Pelajaran udah mau satu jam-an, udah nggak bisa masuk. Lo tunggu di sini aja bareng kita, masuknya pas pelajaran berikutnya aja," kata Jendra.

Kecuali Yuina, tiga diantara mereka mengangguk setuju. Haikal mempersilahkan Helen berdiri di sebelahnya, tentunya tanpa mengangkat tangan seperti mereka.

"Tangan gue pegel," keluh Yuina.

"Siapa suruh nggak bikin tugas," celetuk Jevon, membuat Yuina berdecak kesal.

"Gua ngerjain ya, cuman lupa bawanya. Padahal cuman izin ambil ke asrama doang, malah nggak diizinan. Nyebelin," cibir Yuina.

Runa bernapas sinis. "Masih mending. Lah gue? Ada tugas aja nggak tau."

"Sabar-sabarin aja, Run. Pak Hotman emang begitu tabiatnya. Paling anti ngasih toleransi," kata Jevon.

"Noh, liat Jendra. Murid lima besar yang baru pertama kali nggak ngumpulin tugas aja langsung kena bantai," lanjut Haikal.

Runa hanya menanggapi dengan kerlingan bola mata malas perkataan Haikal dan Jevon. Dua anak ini memang nggak bisa diem kalo udah disatuin.

"Lo gimana, Len. Lo bikin tugasnya?" tanya Runa. Sekedar basa-basi.

"Ya pastilah. Murid teladan," sahut Yuina. Membuat Runa berdecak.

Helen tidak menanggapi Yuina, ia dengan tenang menjawab pertanyaan Runa dengan ramah. "Ini." Ia memperlihatkan buku di tangannya, memberitahu bahwa itu adalah buku pr yang seharusnya ia kumpulkan jika tidak terlambat. Helen tersenyum kecut, kecewa

"Sayang banget," kata Runa, ikut kecewa.

Mereka menunggu pelajaran berikutnya sembari mengobrol ringan. Sesekali, akan terdengar teguran dari Pak Hotman ketika Jevon, Haikal, Yuina atau bahkan Runa, terlihat curi-curi kesempatan untuk menurunkan tangan dan beristirahat. Sementara tawa cekikian dari sebagai besar teman kelas mereka, meramaikan hukuman yang dijalani lima orang itu ditambah Helen yang telat masuk kelas.

To Be Continued

A/n

Jangan lupa vote dan komentarnya~

Dire PlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang