Kᴀʀʏᴀ ɪɴɪ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ғɪᴋsɪ. Kᴀʀᴀᴋᴛᴇʀ, ᴛᴇᴍᴘᴀᴛ, ᴀᴅᴇɢᴀɴ ᴅʟʟ ʏᴀɴɢ ᴍᴜɴᴄᴜʟ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ɪᴍᴀᴊɪɴᴀsɪ ᴘᴇɴᴜʟɪs. Aᴅᴀɴʏᴀ ᴋᴇsᴀᴍᴀᴀɴ ɪᴛᴜ ᴍᴇʀᴜᴘᴀᴋᴀɴ ᴋᴇʙᴇᴛᴜʟᴀɴ, ʜᴀʀᴀᴘ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴅᴀ ᴋᴇᴋᴇʟɪʀᴜᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇɴʏᴀᴛᴀᴀɴ.
•••
- BAB 9 | KEBENARAN TENTANG WINDI -
•••
Runa membuka pintu UKS dimana Windi tengah berbaring di salah satu ranjang ditemani Karina yang duduk di kursi samping ranjang.Di sana juga ada Renan, Haikal dan satu anggota PMR yang tengah menangani telinga Renan yang kembali mengalami pendarahan.
"Lo kayaknya harus ke tht deh Ren. Pasti ada sesuatu dalem telinga lo. Berdarah mulu." Omelan Haikal mendapat delikan sinis dari Renan serta isyarat agar laki-laki itu diam. Tapi Haikal tidak mau berhenti bicara dan terus mengomel.
"Gimana kalo lo tiba-tiba tuli?" Ekspresi Haikal berubah seperti orang panik.
"Nggak bisa dibiarin. Lo harus mulai belajar bahsa isyarat mulai dari sekarang."
"Astaga naga, sohib gue bakal nggak bisa denger suara nyanyian merdu Haikal Chandra lagi."
Merasa muak, Renan akhirnya meledak. Mengejutkan Petugas PMR yang sedang menanganinya juga, Karina, Windi serta Runa yang baru saja datang.
"Berisik, Kal! Justru ocehan nggak jelas lo yang bisa bikin gue tuli. Udah minggat sana lo!" usir Renan dengan kejam. Namun, bukannya kapok, Haikal justru makin bertingkah dan menambah kekesalan Rendra.
"Kalian berdua berhenti!" sergap Karina, jengah melihat tingkah dua teman kelasnya sekaligus merasa kasihan pada anak PMR yang sepertinya murid kelas 10, dan tidak memiliki keberanian untuk menegur dua perusuh tersebut.
"Kasihan itu. Renan, dia mau ngobatin telinga lo jadi kesusahan. Dan Haikal, kalo cuman mau bikin ribut di sini, mending balik kelas sana." Karina menegur tegas, alisnya tertekuk serius.
Renan mendorong Haikal sebagai tindakan terakhir sebelum kembali duduk dan meminta maaf pada si anak PMR. Sementara Haikal langsung merapat ke dinding dan diam seperti anak yang baru saja kena marah ibu nya.
Karina menghebuskan napas legah setelah UKS kembali tenang. Begitu pula Runa yang bersyukur karena kehadiran Karina di sini bisa menangani keribuatan yang dipicu Haikal.
"Hai," sapa Runa canggung. Ia masih belum begitu dekat dengan Karina maupun Windi, jadi masih sedikit canggung berhadapan seperti ini. Namun, Karina membalas sapaan Runa dengan ramah dan bersahabat, sementara Windi sama canggungnya dengan Runa.
"Gimana kondisi lo, Win?" tanya Runa pada Windi, karena gadis tersebut sempat pingsan setelah berteriak nyaring saat ditemukannya jasad Helen sejam yang lalu.
Windi tersenyum tipis dan mengangguk pelan, "udah mendingan, kok," jawabnya.
"Kenapa telinga lo selalu berdarah tiap kali ada orang meninggal sih, Ren. Aneh banget," celetuk Haikal ketika anak PMR yang telah selesai mengurus telinga Renan pamit keluar dari UKS.
Perkataan penuh nada keheranan Haikal, ikut menarik minat tiga siswi yang juga berada di ruangan yang sama.
Renan tampak mengumpat pelan saat menemukan wajah-wajah penasaran dari empat orang di sana, sampai pandangannya bertemu dengan Windi yang detik selanjutnya langsung membuang pandangan dari Renan.
"Gue sensitf sama suara keras. Tiap ditemukannya orang meninggal, kan banyak banget yang teriak keras" kata Renan, menjelaskan. Dia tidak sepenuhnya bohong, setidaknya itu setengah dari kebenarannya.
Haikal menyipitkan mata penuh selidik. "Masa sih?" katanya bernada, membuat Renan kesal.
Runa kemudian ikut mengungkapkan pemikirannya. "Maaf nih, Ren. Tapi sesensitif-sensitifnya telinga seseorang. Nggak mungkin bisa sampe denger suara dari lantai tiga ke lantai dua, dan seingat gue, telinga lo juga berdarah waktu kematian Saka padahal tempat suara teriakannya berasal dari halaman depan. Mungkin telinga lo memang sensitif sampe bisa denger suara dengan lebih keras dari pada orang lain, tapi dalam dua kasus yang gue maksud tadi, agak aneh nggak sih bisa sampe berdarah gitu?"
"Gotcha!" tanggap Haikal sembari menjentikan jari. "Itu, itu yang gue pikirin juga."
Haikal kemudian menarik kursi yang sempat diduduki anak PMR tadi. "Sekarang mending lo jujur deh, Ren. Sebelum nantinya gue nangis karena ditinggal sohib paporit gue."
Penuturan Haikal membuat kening Renan berkerut tidak senang. "Dih, lo nyumpahin gue mati?" Mata Renan sudah melotot garang.
"Jujur sama gue, penyakit berbahaya macam apa yang sedang lo derita? Bilang sama gue, Renan, biar gue bisa nyiapin diri buat-"
Perkataan Haikal tidak terlanjut sebab, Renan lebih dulu menabok kepala laki-laki itu sebelum pemikiran Haikal makin jauh hingga diluar nalar.
"Lo sakit, Ren?"
Renan mengulum bibir kuat sembari menahan napas sejenak mendengar pertanyaan Karina. Dia berusaha menahan emosi.
"Nggak, Rin. Haikal ngaur," sahut Renan. Karina tampak menghela napas legah.
"Kalo gitu karna apa?" Windi bertanya tanpa sadar, karena selanjutnya, dia malah menutup mulutnya sendiri dan terkejut dengan bola mata melebar.
Ada jeda cukup lama di ruangan itu sampai Haikal dengan randomnya menirukan suara detak jam.
"Tik tok, tik tok, tik tok, tik-""Udah diem, an**ng!" Renan melemparkan kapas bekas pada Haikal yang dengan gesit menghindar. Laki-laki itu kemudian dengan randomnya melakukan selebrasi tidak jelas. Sampai kemudian, Renan yang muak, berdiri dari duduknya hanya untuk menabok kepala Haikal.
"Diem."
Haikal ber-akting seolah baru saja mengalami kecelakan berat sembari memegang punggung lehernya, tapi kali ini tidak lagi mengeluarkan suara.
Mengabaikan Haikal, Runa, Windi dan Karina kembali fokus pada Renan yang kembali dalam mode serius.
"Sebelum gue kasih tahu, gue pengen tahu soal Windi dulu," kata Renan, tatapannya secara jelas tertuju ke arah Windi yang tampak terkejut.
"Maksud lo apa?"
Kali ini, Runa cukup terkejut oleh rekasi tidak biasa Karina. Gadis yang selalu tampak tenang itu baru saja berekasi agak berlebihan dan sensitif.
"Windi, lo pasti sadar alasan kenapa gue bisa ngalamin pendarahan telinga. Setidaknya setelah beberapa kali kejadian," lanjut, Renan, seakan tidak perduli dengan tanggapan Karina.
Windi terlihat gelisah begitu pula Karina, meski ketua kelas 2-4 itu masih sedikit menjaga image nya agar tetap tampak tenang.
"Gue-" Windi menggigit bibirnya, ragu untuk memberitahu. "Sebenarnya, gue-"
"Win," sergah Karina.
Windi menggeleng. "Harus, Rin," kata gadis itu. Ekspresi wajahnya mengeruh penuh kecemasan. "Gue udah tiga kali ada ditempat kejadian dan jadi yang pertama nemuin jasad. Orang-orang akan mulai curiga." Windi menelan saliva sebelum dia menatap Runa. "Orang-orang akan mulai mempertanyakan soal itu. Tiga kali secara berturut-turut nggak bisa lagi dikira kebetulan."
Melihat keyakinan dan keberaninan dari sorot mata Windi, Karina akhirnya pasrah dan menyerahkan keputusan pada Windi sepenuhnya.
Menarik napas dalam dan menghebuskannya perlahan. Windi akhirnya mengungkap rahasia mengenai kemampuannya pada tiga orang dalam ruangan kecuali Karina yang selama ini menjadi satu-satunya orang yang tahu setelah nenek Windi meninggal.
"Gue Banshee."
To Be Continued
A/nDitunggu vote dan komentarnyas~

KAMU SEDANG MEMBACA
Dire Plight
ParanormalSerangkaian kasus kematian misterius terjadi di sekolah asrama Cartagana. Runa, sebagai murid baru yang menempati kamar lama dari korban pertama, mengalami rentetan penglihatan yang tertinggal di tempat kejadian. Sebuah tulisan "Know You Place" meni...