Kepergian Nikolas dan Caitlin menyisakan sisa-sisa tawa. Meghan mengusap ujung-ujung matanya yang sempat basah karena terlalu banyak tertawa.
Kata orang, jika terlalu bahagia, ia bisa saja akan mengalami kesedihan yang mendalam nantinya. Tapi rasanya tidak mungkin. Ada Sandra dan Caitlin yang akan selalu ada dalam keadaan apapun, bukan?
Di hadapannya, Alan sudah membopong Sandra yang nyaris pingsan. Jika dilihat-lihat, kesadaran Sandra tak kurang dari lima persen. Karena dia hanya menunjuk-nunjuk wajah Alan dan bergumam tidak jelas sejak tadi.
" Padahal aku bisa melakukannya sendiri," gumam Meghan. Mulai melangkah keluar trotoar. " Sepertinya kita perlu naik taksi. Sandra terlalu berat dibopong seperti itu."
" Aku bisa membopong Sandra sampai apartemenmu." Jawab Alan sembari menunjuk gedung apartemen Meghan yang menjulang tinggi. " Jaraknya tak sampai lima ratus meter, kan?"
Meghan mengamati arah yang ditunjuk Alan. Gedung tinggi dengan tiga puluh lantai. Apartemennya. Tempat tinggalnya. Namun berjalan santai menuju kesana, bersisian dengan Alan, suasananya terasa berbeda.
" Kau tinggal di sana juga?" tanya Meghan. Mengingat Alan bisa sangat cepat sampai saat akan mengantarnya ke rumah sakit minggu lalu.
Lelaki itu menggeleng, " bukan. Tapi, tak jauh dari tempat tinggalmu."
" Sebuah Flat kecil yang harga sewanya sangat murah."
" Di mana itu?"
Alan tak menjawab. Namun langkahnya pasti menuju apartemen Meghan. " Maaf atas ucapan ku semalam." Ucapnya tiba-tiba. " Kau mungkin saja tidak terima kalau kita pernah..."
Seolah tahu apa yang akan dikatakan Alan selanjutnya, Meghan menyelamatkan, " ah, lupakan saja." Diliriknya Sandra yang tampak sudah tak sadarlan diri. Syukurlah jika dia tertidur. " Aku berusaha untuk... tidak... menyesalinya." Meghan melanjutkan dengan ragu. Namun itulah yang ingin ia katakan. Lagi pula, sampai detik ini hubungan pertemanan antara dirinya dan Alan masih baik-baik saja.
" Baguslah." Seulas senyum terpancar di sudut-sudut bibir Alan. " Aku cukup senang mendengarnya."
" Kenapa hanya cukup? Aku berharap kau senang mendengarnya."
Alan menoleh, " memang apa bedanya?"
" Cukup itu artinya tidak seratus persen."
" Aku senang, pada akhirnya bisa mengenalmu seperti ini." Ucap Alan dengan langkah yang tiba-tiba terhenti. Tubuh Sandra bergerak, lalu memaksa untuk turun. Membuat lelaki itu kaget. Untungnya Meghan sigap menahan badan Sandra yang sempoyongan.
" Aku mau pulang naik taksi!" pekik Sandra, sembari berjalan ke pinggir jalan. Melambaikan tangan, berharap ada taksi yang berhenti di depannya dan sudi mengantarnya sampai rumah.
" Sandra, kau mabuk berat! Kalau pulang sendirian, berbahaya." Meghan mengekor Sandra. Berdiri di sebelah sahabatnya sambil menahan tubuh itu agar tidak jatuh.
Sandra mendekatkan mulut ke telinga Meghan, " kau... ada hubungan apa dengan Alan?" tanyanya, diakhiri dengan batuk, lalu Sandra berputar-putar, dengan tangan kanan memegangi mulut dan tangan kiri memegang perut.
Dia akan muntah.
Meghan segera menuntun Sandra ke tempat yang tidak dilewati banyak orang. Di belakang, Alan mengekor.
" Meghan, biar aku saja." Alan menawarkan bantuan. Sengaja, karena tahu jika meladeni orang mabuk sangat merepotkan.
Meghan mengangguk sebagai jawaban. Lalu Sandra diambil alih oleh Alan. Namun, baru tangan lelaki itu menyentuh bahu Sandra, kemeja putih yang ia kenakan sudah basah oleh muntahan Sandra.
" Ups," Sandra meletakkan tangan di atas mulut, " aku tidak sengaja." Lanjutnya. Lantas berjalan sempoyongan menjauh dari Alan dan Meghan. Menyetop taksi, naik dan menolak diantar pulang.
***
" Kau tak mau mampir dulu? Paling tidak untuk membersihkan kemejamu." Meghan menawarkan dengan tulus. Matanya mengamati kemeja putih Alan yang sudah mengering lagi, namun terdapat membekas kekuningan di bagian depannya.
" Tidak apa-apa. Lagipula, Flat-ku dekat dari sini."
Meghan menggeleng, " masuklah. Gantilah dulu kemejamu. Aku..." ia tak melanjutkan karena hal yang akan diungkapkannya adalah soal pakaian mantan kekasihnya yang masih tertinggal di apartemennya. " ... punya beberapa pakaian lelaki."
Alan terdiam. Memandangi Meghan dengan tatapan bingung.
" Eh, maksudku... pakaian... mantan pacarku yang masih tertinggal." Akhirnya, kalimat yang ia tahan terungkap juga. Gugup, Meghan menggigit bibir bawahnya. " Gantilah sebentar."
Alan mengangguk pelan, lantas masuk ke apartemen Meghan. Berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan bekas muntahan yang mungkin saja mengenai kulitnya dan sudah mengering. Kemejanya ia buka, dikuceknya dengan air bersih.
" Alan, kayanya di atas meja." Ucap Meghan dengan nada agak tinggi dari ruang tamu. Bergegas menuju dapur untuk membuatkan Alan minuman hangat.
" Apa yang kau buat?"
Meghan menoleh ke sumber suara. Ia yang baru saja akan menuang air panas ke dalam gelas berisi teh dan dua helai daun mint, nyaris menumpahkannya. Untungnya Alan sigap menahan itu agar tidak tumpah. Efeknya, posisi mereka kini terlalu dekat. Lengan Meghan bahkan bisa merasakan otot-otot tubuh Alan yang keras.
Perempuan itu menelan ludah dengan susah payah. Tapi itu harus ia lakukan karena kerongkongannya kering. Dalam hatinya bertanya-tanya, dari mana Alan bisa punya tubuh macam atlet seperti ini? Ah, sialan. Jantung Meghan jadi berdebar-debar hanya karena melihat Alan yang bertelanjang dada, menampakkan tubuh atletis.
" Berhati-hatilah, Meghan." Lirihnya. Menjauhkan badannya dari Meghan, lantas berjalan menuju ruang tamu.
Meghan juga kembali mengatur diri. Mengatur napas. Menahan diri. Dia tergoda. Tapi, jangan sampai bertindak bagai jalang yang mudah melakukan hubungan dengan setiap pria.
" Teh mint. Kuharap kau suka." Meghan meletakkan cangkir kaca yang berjumlah dua di atas meja. Mempersilakan Alan untuk minum, lalu duduk di sebelah lelaki itu. " Mau menonton acara televisi?" ia meraih remot televisi, mengacungkan benda itu kepada Alan.
" Boleh. Tolong nyalakan."
Meghan mengangguk. Dinyalakannya televisi, langsung menampakkan sebuah serial drama romantis yang beberapa kali pernah ia tonton.
" Kau pernah melihatnya?" tanya Meghan, memulai obrolan.
" Belum. Aku belum pernah menonton drama romantis." Aku Alan.
" Kau harus melihatnya, agar bisa bersikap romantis pada kekasih mu nanti." Ucap Meghan, bercanda.
" Oh ya?"
Meghan mengangguk, " Lihatlah cara Daniel memperlakukan kekasihnya."
Alan mengamati tindakan orang di dalam layar. Lelaki yang Meghan bilang bernama Daniel. Lelaki itu mengulas senyum, melirik Meghan yang tampak serius menonton serial itu. " Maukah kau kuperlakukan begitu?"
Meghan menoleh. Tepat saat itu, matanya saling pandang dengan Alan. Dadanya berdebar lagi untuk yang kedua kali. Rasanya aneh.
Saat bibir Alan membungkamnya, Meghan tidak menolak. Ciuman itu perlahan-lahan memanas, mempersatukan birahi dalam kedamaian. Saat benda-benda yang menutupi tubuh keduanya terlepas sempurna, suara-suara yang saling bersahutan menjelma bagai irama bermelodi romantis. Suara tarikan napas, bagai api yang membakar logika sementara. Peluh yang membasahi tubuh bagai pecut yang memacu Alan untuk bergerak lebih cepat saat melihat tubuh di bawahnya. Ketiganya saling bahu-membahu, mempengaruhi pikiran dan mengantarkan mereka pada sebuah pelepasan.
***
Hai, hari ini aku update dua bab. Sampai sini, gimana menurut kalian? Komen boleh dong. Supaya besok aku bisa upload lagi. Teruntuk kalian yang sudah meluangkan waktu untuk membaca dan menunggu, terimakasih banyak.
Salam,
Kala
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot And Cold
RomanceMeghan selalu tampil panas dalam setiap kesempatan. Sedangkan Alan nyaris tak pernah peduli pada apapun. Termasuk Meg. Suatu hari, Meg dan teman-temannya bertaruh untuk mendapatkan cinta Alan. Siapapun yang berhasil akan diberi hadiah menarik minima...