29. Akhir Kisah

453 8 0
                                    

Alan berdiri di ujung ruangan. Memandang ke panggung dimana Meghan sedang berjalan layaknya model papan atas. Di lihat dari jarak sejauh ini, wajahnya agak mirip Kylie Jenner. Dia tampak sangat cantik dan seksi meskipun tidak percaya diri.

Mata mereka saling bertemu. Alan mengulas senyum, mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat untuk menyemangati Meghan. Sepanjang mengenalnya, baru kali ini ia melihat Meghan setidak percaya diri itu. Dan itu membuat Alan menyadari jika Meghan betulan manusia biasa.

Tepat di belakang Meghan, ada Angel. Adiknya jelas cocok memakai gaun putih itu. Posturnya yang kurus dan tinggi membuatnya cocok berjalan di atas sana. Wajahnya begitu kelihatan sekali asianya. Matanya persis seperti mata Ayah yang kecil. Rambutnya lurus, panjang dan tebal seperti Mamanya.

Angel. Adiknya satu-satunya. Akhirnya, Alan sudah menutuskan untuk tidak mengurungnya di asrama lagi. Jika di pikir-pikir, benar kata Meghan. Angel butuh bersosialisasi dengan orang lain agar tidak hanyut dalam masalahnya sendiri dalam waktu yang lama. Nyatanya, malam ini ia benar-benar melihat adiknya tampil sangat mempesona dan tenang. Sepertinya dia cocok di atas panggung.

" Hei, kau!"

Alan menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu berdiri seseorang yabg wajahnya tampak tak asing. Lelaki itu berjalan mendekat, berdiri di sebelah Alan, ikut bersandar pada dinding.

" Kudengar kau memadati Meg?" tanyanya dengan intonasi tak bersahabat.

" Kau Brian, kan?" Alan yakin tidak salah menyebut nama lelaki di sebelahnya. Ia ingat betul wajahnya.

" Ya. Aku pacar Meg." Aku Brian, begitu percaya diri.

Alan menganggukkan kepala. Berusaha memahami situasi yang dialami lelaki di sebelahnya, " sejak kapan?"

Brian tampak berpikir dan menghitung dengan jemarinya, " dua bulan."

Alan mengangguk lagi. Berusaha menahan tawa, " kau menyukai Meghanku?"

Mendengar itu, Brian yang tadinya memandangi Meghan di atas panggung, beralih mengamati Alan, " Meghanmu?" dia tertawa, " jangan mimpi!"

" Baiklah. Aku tidak akan bermimpi," jawab Alan pasrah.

Brian tertawa lagi, " aku cuma bercanda. Kupikir kau akan cemburu dan meninjuku lagi seperti di lobi waktu itu."

" Aku tahu. Tapi maaf, kekerasan bukanlah tipeku."

Brian mendengus, " kuharap begitu," ucapnya mengalihkan pandangan ke panggung. " Mata kami bertemu."

Alan mengikuti arah pandangan Brian. Benar, Meghan sedang terheran melihat Brian berada di sini. " Jangan buat dia khawatir."

" Tidak akan. Pada awalnya kupikir kami saling cinta, tapi ternyata tidak. Aku hanya terobsesi pada tubuhnya."

Alan mendengar kejujuran dari ucapan Brian. Dia tidak menjawab, memberi ruang kepada Brian untuk melanjutkan.

" Kau, tanyalah pada diri sendiri. Benarkah Meg nyata? Atau ilusi belaka?"

Alan langsung berpikir. Pandangannya tak lepas dari orang yang telah memberi perubahan pada hidupnya sedikit demi sedikit. Mungkinkah sosok itu ilusi? Harapannya tidak nyata?

***

Mereka berakhir duduk melingkar di sebuah bar untuk merayakan kesuksesan acara pameran busana malam ini. Nikolas sudah tidak karuan. Ucapannya kacau. Apalagi wajah telernya yang terlihat menyebalkan. Akhirnya, Caitlin yang kerepotan menangani kekacauan Nikolas. Sandra tak berganti berceloteh. Mengenai segala hal. Mengenai kekasihnya yang katanya adik dari mantan pacar Meghan. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Sandra sudah jelas membuat suasana antara Alan dan Meghan jadi tidak nyaman.

Angel memilih kembali ke asrama naik taksi. Katanya tidak nyaman jika harus ikut bergabung bersama teman-teman Alan. Lagipula, hanya Angel satu-satunya anak di bawah umur. Daripada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Alan mengiyakan keinginan Angel untuk pulang.

Sedangkan Brian kabur beberapa menit sebelum acara selesai. Lelaki itu bilang, tidak enak jika harus berdekatan dengan Meghan lagi.

" Aku akan pulang lebih dulu," ucapan Meghan, menginterupsi Sandra yang sejak tadi tidak berhenti bicara mengenai mantan pacar Meghan.

Alan memegang punggung tangan Meghan, " kuantar ya."

Meghan mengangguk, lalu mengulas senyum. Dia bahkan tidak minum alkohol sama sekali. Lalu perempuan itu berdiri, diikuti Alan.

" Teman-teman, aku duluan ya, dah!" Ucap Meghan, seraya berjalan pergi tanpa menunggu jawaban dari teman-temannya. Alan mengekor di belakangnya.

" Sepertinya kau sedang tidak baik?" tanya Alan dalam perjalanan menuju keluar.

" Ya. Aku tidak suka Sandra membahas mantan pacarku begitu."

Alan mengulas senyum, " memangnya kenapa?" tanyanya penasaran. Lagipula, Sandra tidak membahas hal-hal negatif tentang lelaki bernama Arnold. Apakah mungkin menurut Meghan mantan pacarnya tidak sebaik apa yang Sandra katakan?

" Alan, ada kau di sampingku. Dia tidak sopan sekali membahas lelaki itu di depanmu!" ucapnya kesal.

Melihat ekspresi Meghan yang kesal, membuat Alan gemas. Ia menyetop taksi, membukakan pintu, membiarkan Meghan masuk lebih dulu, lalu dirinya mengikuti. " Jadi kau tidak enak terhadapku, ya?"

Meghan membuang napas, " kau tahu kan bagaimana perasaanku terhadapmu?"

Alan menaikkan sebelah alisnya, " tidak. Memangnya bagaimana?" pancingnya.

Meghan tampak semakin kesal. " Tidak tahu."

Alan menahan tawa, " akui sajalah. Tidak perlu naif seperti itu."

Kini Meghan memandangi Alan lekat-lekat. Ditariknya tangan kanan Alan, diletakkannya tangan itu di dadanya, " kau merasakannya, kan?" tanya Meghan.

Alan mengulas senyum kian lebar. Dada Meghan berdegup begitu keras, sampai-sampai Alan dapat merasakannya. " Kau membuatku bergairah," bisik nya lembut di telinga Meghan.

" Alan, aku serius. Kau jangan bercanda."

" Baiklah. Aku serius." Alan merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Dibukanya kotak itu, menampakkan sebuah cincin dengan mata berkilauan di tengah remang pencahayaan dalam taksi.

Meghan terkejut. Dia menutupi mulutnya menggunakan telapak tangan, " cin-cin?" tanyanya tidak percaya.

" Aku butuh jari manismu," ucap Alan berusaha meraih jari manis Meghan. " Pak sopir, kau dengar semuanya, bukan?" tanya Alan kepada sopir taksi yang ia pergoki tersenyum-senyum sendiri dari spion atas.

" Maaf saya tidak sengaja dengar." Jawab si sopir taksi.

" Tidak apa-apa, pak. Jadilah saksi untuk kami," jawab Alan. Ia memakaikan cin-cin pada jari manis Meghan. Membuat jari itu tampak kian manis. " Aku akan berusaha lebih keras untuk menikahimu. Mulai malam ini, maukah kau tinggal bersamaku?"

Wajah Meghan memerah bagai udang rebus. Dia malu, sekaligus senang. Ia mengangguk lemah, lalu memeluk Alan.

" Bagaimana kalau pernikahan kita adakan sehari setelah acara wisuda kita?" usul Alan, dan mendapat jawaban suara deheman dari sopir taksi.

Alan dan Meghan saling pandang. Lalu tertawa bersama. Sepanjang menuju perjalanan ke Apartemen Meghan, Alan tak melepas genggaman tangan Meghan selama itu. Ia yang dingin bahkan menjelma bagai es meleleh yang banyak bercerita mengenai perasaannya terhadap Meghan kepada sopir taksi.

***

Hot And ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang