Alan terbangun saat merasa ada sesuatu yang melingkari lehernya. Membuka mata, lelaki itu nyaris berteriak mendapati Meghan terlelap berhadapan dengannya. Tangan perempuan itu melingkar di lehernya.
Alan menahan diri agar tidak lari. Yang ia lakukan justru mengamati ruangan tempatnya tertidur. Kamar Meghan. Lalu diulasnya senyum setipis kapas saat memori semalam mendadak berputar di kepala.
Rasanya seperti mimpi ia bisa terbangun di sini, di samping perempuan yang sudah lama ia gilai dalam diam. Namun perasaannya tidak enak saat menyadari jika Meghan tak akan mungkin menyukainya hanya karena hal ini. Alan pernah dengar jika Meghan sedang dekat dengan seseorang. Alan bahkan pernah bertemu orang itu di pesta. Lelaki muda yang tampan dan kaya. Jelas bukan dirinya. Bahkan bermimpi menggantikan si tampan dan kaya saja, ia takut.
" Kau sudah bangun?"
Alan mengerjap, menyadari Meghan telah terbangun. Mengamati wajahnya beberapa saat yang sukses membuatnya salah tingkah.
" Kamu gemetar?" Bisik perempuan itu, mengusap tengkuk Alan.
Alan mengatur napas untuk dapat mengumpulkan keberanian dan menahan diri agar tak melakukan hal diluar nalar. " Sedikit."
Meghan mengulas senyum manis, lalu menarik tangannya pada leher Alan. Beringsut menjauh sembari menarik selimut agar seluruh tubuhnya tertutupi sempurna. " Apa kau masih menyukaiku setelah aku menjadikanmu bahan taruhan?" tanyanya dengan pandangan ke langit-langit ruangan.
Alan tak langsung menjawab. Pikirannya seolah saling bertanya dan menjawab sesukanya. Ia sendiri tidak terima jika dijadikan bahan taruhan. Namun, ia tahu jika pertaruhan itu akhirnya gagal karena Meghan yang mengaku menyukai Brian dan Caitlin yang pacaran dengan Nikolas.
Lalu, apa yang seharusnya Alan rasakan setelah mengetahui fakta-fakta itu?
" Maaf. Tapi sejak awal aku tidak menaruh minat pada hal-hal yang dapat menyakiti perasaan orang begitu." Meghan berbicara lagi lantaran tak kunjung mendapat jawaban dari Alan. " Jika kubilang itu ide Sandra, apa kau masih mau berteman dengannya?"
Alan terkekeh mendengar pertanyaan itu. Ia bahkan tidak kenal dekat dengan Sandra. " Mengapa harus memutus pertemanan? Lagi pula, dia bukan teman dekatku."
" Kau benar. Akulah teman baiknya. Karena itu aku terlibat."
" Jam berapa sekarang?"
Meghan tak menghiraukan pertanyaan itu, " karena aku juga terlibat dan sudah tahu perasaanmu, kutanya sekali lagi. Apa kau masih menyukaiku?"
***
Meghan tahu jika ia akan nyaris terlambat pagi ini. Makanya ia memakai sepatu kates. Berlari-lari menyusuri koridor panjang menuju kelasnya. Ponselnya meraung-raung, menandakan adanya panggilan masuk. Namun, sama sekali tak ia ambil dari dalam tas karena itu akan memperlambat langkahnya.
Memasuki ruang kelas yang sudah ramai, Meghan menghela napas lega. Profesor yang harus mengajar pagi ini belum datang. Barangkali sakit pinggang karena sudah terlalu sepuh untuk beraktifitas.
" Kukira kau mau membolos lagi." Pekik Caitlin, menarik pergelangan tangan Meghan, menuntun sahabatnya untuk duduk di kursi yang sudah ia booking sejak tadi.
" Aku tidak akan membuat bantuan Sandra jadi sia-sia hanya karena sering membolos," jawabnya sembari melirik Sandra. " Syukurlah kau aman sampai rumah."
" Memangnya aku kenapa?"
Pertanyaan itu diajukan pada Meghan, tapi Caitlin yang melotot, bersedekap, " kau tanya kenapa? Kau mabuk berat, Sandra!"
Sandra menggaruk kepalanya, " maafkan aku teman-teman karena sudah merepotkan kalian."
Meghan dan Caitlin duduk bersebelahan. " Nikolas belum datang?"
" Sebentar lagi, mungkin."
" Dengan Alan?"
Mendengar nama Alan, Sandra langsung menoleh. Ia amati wajah Meghan lekat-lekat. Lalu menahan senyum, " aku dengar semua yang kalian bicarakan," bisiknya, lirih. " Kau menyukainya?"
Meghan membuang napas, " jangan-jangan, kau tidak mabuk sungguhan?" terka Meghan, setengah bercanda.
Sandra tertawa terbahak-bahak, " menurutmu jika aku pura-pura mabuk, bisa sampai muntah seperti itu?"
" Hah?" Caitlin yang baru tahu soal ini kaget, " kau muntah?"
" Sandra memuntahi Alan."
" Astaga!"
***
"... Apa kau masih menyukaiku?"
Meghan mengamati dirinya di depan cermin. Tubuhnya indah seperti biasa. Penampilannya terlalu mempesona. Wajahnya jelas memenuhi kriteria orang Amerika. Tapi kali ini ia merasa ada sesuatu di dirinya yang berbeda.
" Kalau kubilang masih, bagaimana?"
Ia mengulas senyum semanis madu pada refleksi dirinya. Bahkan setelah menjadikan Alan bahan taruhan, lelaki itu masih berani mengatakan hal begitu.
" Sebenarnya, apa yang kau sukai dariku?"
Rasanya aneh, tapi percakapan pagi itu selalu terngiang-ngiang di kepala Meghan. Ia mundur dua langkah, duduk di sisi ranjang, mengusap selimutnya yang sudah terlipat rapi. Semalaman ia dan Alan tidur di atas sini, dibalut selimut ini.
" Aku tak bisa menjawabnya."
Meghan menahan tawa. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang, tangannya telentang.
" Orang-orang menyukaiku karena akulah standar kecantikan paling sempurna. Mereka bilang aku seksi, cantik dan panas."
Meghan memejam. Membayangkan Alan berada di sisinya. Memeluknya. Menghangatkan setiap inci tubuhnya.
" Kau memang seperti itu. Tapi aku tak punya alasan untuk menyukaimu."
Jantung Meghan berdegup kencang lagi. Kalimat terakhir Alan pagi tadi sebelum memutuskan pulang, ada favoritnya. Baru sekali seumur hidup ia mendengar alasan tak masuk akal, namun sukses membuat perasaannya menghangat. Barangkali kalimat seperti itulah yang disebut sederhana, namun memikat.
" Sayang!"
Meghan membuka mata sesaat setelah mendengar suara itu. Di ambang pintu sudah berdiri Brian. Dengan senyum lebar. Bertingkah seolah tak terjadi apa-apa terhadapnya kemarin. Cepat-cepat ia beringsut bangun, mengambil jaket, mengancingkannya sampai atas untuk menutupi bahunya yang terbuka.
" Kenapa ditutup?" Brian bergerak maju. Perlahan, namun ekspresinya tidak biasa.
" Brian, apa yang akan kau lakukan?" Entah kenapa melihat ekspresi wajah Brian yang seperti itu membuat Meghan mendadak gemetaran.
" Bagaimana kalau kita main satu ronde?"
Gila. Brian benar-benar gila. Sepertinya ada yang salah dengan isi kepalanya. " Brian, jangan mendekat!"
Brian tidak mengindahkan perintah Meghan. Ia terus berjalan maju, perlahan-lahan dengan seringai macam psikopat. Membuat Meghan terus mundur dan mendapati jalan buntu karena pinggangnya sudah menabrak meja rias.
" Jangan takut, Meg."
Meghan berusaha meraih apapun di meja riasnya. Ia lempar sisir, botol-botol perawatan wajah, parfum, dan apa saja yang dapat ia raih. Namun nihil. Brian masih tetap berjalan maju seperti robot meskipun kepalanya sudah berdarah-darah karena terkena botol parfum yang terbuat dari kaca.
Saat jaraknya dan jarak Brian sudah sangat dekat, dan Meghan tak bisa kabur kemana-mana lagi, tiba-tiba Brian mengeluarkan kain dari saku jaket kulitnya. Membekap Meghan.
Brian benar-benar psikopat gila. Seharusnya Meghan sadar sejak awal. Itulah yang ia sesali sebelum benar-benar pingsan dalam pelukan Brian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hot And Cold
Любовные романыMeghan selalu tampil panas dalam setiap kesempatan. Sedangkan Alan nyaris tak pernah peduli pada apapun. Termasuk Meg. Suatu hari, Meg dan teman-temannya bertaruh untuk mendapatkan cinta Alan. Siapapun yang berhasil akan diberi hadiah menarik minima...