25. Jangan Percaya Siapapun

147 7 1
                                    

The Arkeolog Hottest Girl

Sandra Walter
Teman-teman, ayo kita keluar nanti malam. Besok akhir pekan. Bisakah kita menikmatinya bertiga?

Caitlin Fernandez
Maaf. Aku tidak bisa. Ada hal yang harus kukerjakan. Ini tidak ada hubungannya dengan kencan. Aku sungguh sedang mengerjakan sesuatu. Sekali lagi maaf.

Meghan Rodriguez
Bagaimana jika kita berpesta pekan depan? Aku yakin akan mendapat undangan dari siapapun itu.

Sandra Walter
Kalian sibuk sekali. Kalau begitu, aku pergi sendiri saja.

Meghan Rodriguez
Sandra, kau tidak marah kan?

Sandra Walter
Untuk apa marah? Aku sudah terbiasa seperti ini.

Meghan Rodriguez
Mau kutemani malam ini?

Sandra Walter
Kau mau menginap di rumahku?

Meghan Rodriguez
Boleh. Tapi aku akan pulang pagi-pagi sekali.

Sandra Walter
Baiklah. Mari menonton drama.

***

" Menurutmu apakah aku berubah?" Sandra memasukkan potato chips ke dalam mulutnya. Sembari mengganti saluran televisi yang menampilkan serial avengers.

" Bukan kau yang berubah. Tapi waktu." Meghan menjawab serius. " Waktu yang sudah berubah. Membuat kita juga seolah-olah berubah."

" Menurutmu, kenapa Caitlin tidak pernah mau kita ajak main?" Sandra masih belum mendapat alasan yang jelas. Dia masih penasaran dengan apa yang terjadi pada salah satu sahabatnya. Di kelas pun Caitlin tampak sibuk dengan ponselnya dan buku-buku berisi gambarnya. Tidak banyak bicara dan menjawab sebisanya. " Apakah dia marah karena kalah dari pertaruhan? Dia belum memberiku hadiah sampai saat ini."

Meghan jadi curiga, " jangan-jangan, dia sedang kesulitan finansial dan harus mengambil lembur setiap hari."

" Ah, aku jadi kasihan. Bagaimana jika besok kita ke rumahnya saja?" usul Sandra.

" Besok?"

Sandra mengangguk. Memandangi Meghan penuh harap agar mau menemaninya ke rumah Caitlin, atau jika tidak di sana berarti di restoran tempat kerja Caitlin.

" Maaf. Tapi akhir pekan ini aku sudah berjanji untuk keluar dengan seseorang."

Sandra tertawa kecut, " benar. Aku lupa kalau kau sudah berpacaran dengan Alan."

" Tahu darimana kau?"

Sandra memandangi Meghan tepat di manik mata, menunjuk kepalanya sendiri, " insting," lalu tertawa terbahak-bahak untuk menutupi kesepiannya. " Sepertinya aku juga perlu melakukan kesibukan lain."

***

Ia pergi pagi-pagi sekali dari rumah mewah Sandra saat pemiliknya masih terlelap. Meghan meninggalkan pesan singkat agar Sandra tidak mencarinya.

Kini Meghan sudah siap dengan tas bahu tersampir di bahunya. Menunggu Alan menjemput di lobi apartemen. Katanya lelaki itu harus menjamput Angel dulu, jadi mungkin saja akan terlambat.

Dan dia benar-benar terlambat. Sepuluh menit. Mobil tua milik Alan berhenti tepat di depan lobi. Membuat Meghan berlari kecil dan langsung membuka pintu di kursi sebelah kemudi. Namun, ia mengurungkan niatnya saat mendapati Angel duduk di sana. Memandangnya dengan tatapan aneh. Lalu, Meghan berpindah ke kursi belakang.

" Kau yakin kita bisa sampai tempat tujuan dengan mobil ini?" tanya Meghan, memastikan jika mobil tua milik Alan tidak akan mogok di jalan. Mendengar suara deru mesinnya saja kasar dan seram.

" Kau tidak perlu takut. Aku akan meminjam milik Nikolas." Jawab Alan santai. Ia sudah memberi tahu Nikolas mengenai rencananya hari ini.

Meghan mengerjap tak percaya, " sungguh? Nikolas tahu kita akan berlibur?"

Alan mengangguk, " aku percaya padanya."

Meghan paham. Mengingat hanya lelaki berkulit hitam itulah satu-satunya orang sering berinterakasi dengan Alan bahkan sebelum Meghan mengenalnya. Meghan sudah membuka mulut hendak mengatakan sesuatu lagi, namun tidak jadi saat mendengar suara Angel.

" Kau mempercayai siapa?" Tiba-tiba, Angel buka suara. " Kita tidak bisa mempercayai orang lain. Bukankah itu yang selaku kau katakan kepadaku?" Intonasinya tinggi. Seolah dia marah pada kakaknya karena melanggar janji.

Meghan memasang telinga. Tidak berniat ikut-ikutan terlibat dalam topik pembicaraan mereka.

" Tidak boleh. Termasuk pada dia." Angel menunjuk wajah Meghan dari spion.

" Angel, aku sudah berubah pikiran. Jadi, kau juga harus berubah ya." Alan berusaha menenangkan Angel. Dia menyesal telah menumbuhkan pemikiran demikian. Bukan hal bagus memang, tapi dulu Alan menganggap pemikiran itulah yang paling benar.

" Kenapa harus berubah? Aku hanya perlu hidup, kan? menghindari kekerasan. Tapi, aku tidak bisa karena... diam-diam aku mempelajari belajar diri dari internet."

Meghan menyandarkan punggung. Terkejut dengan jawaban Angel. Ia merasa iba melihat Angel yang sebegitunya. Dia memang tidak membahas mengenai tragedi itu, tapi Meghan merasa ada dendam dalam hati Angel yang tinggal menunggu waktu untuk diumumkan kepada dunia.

Alan harus mencegahnya. Bagaimana pun caranya, dendam itu tidak boleh mendarah daging. Karena hidup Angel tidak akan pernah tenang jika masih ada dendam. Entah dengan cara apa. Entah solusi apa yang harus Meghan beri kepada Alan.

" Angel, tenangkan dirimu. Bersikap baiklah kepada orang-orang. Karena kita akan berlibur, bukannya mencari keributan." Kali ini, intonasi Alan sarat permohonan.

Tidak ada jawaban dari Angel. Remaja itu membuang muka, mengamati jalanan yang cukup ramai karena ini akhir pekan.

Suasana hening. Tidak ada yang bicara. Tak ada pula suara musik yang mengalun dari radio. Meghan tak yakin mobil ini memiliki fasilitas itu, mengingat modelnya sudah sangat tua dan bobrok.

" Aku akan mengikuti saranmu."

Meghan terkejut saat mendengar suara lirih itu. Dari spion, ia juga melihat keterkejutan yang sama dari raut wajah Alan. Namun, lelaki itu tetap tak menjawab apa pun. Dibelokannya mobil ke kiri, menuju tempat tinggal Nikolas yang tak terlalu jauh dari lokasi ini.

" Kau mau berkenalan dengan teman baik ku, Angel?" tanya Alan, mengulas senyum.

" Kau punya teman baik?"

Alan mengangguk, menunjuk rumah tepat mobil bobroknya berhenti, " itu rumahnya."

" Aku tidak mau."

Alan mengangguk, lalu turun dari mobil. Berjalan berputar dan berhenti di dekat Meghan, " aku akan bertemu Nikolas sebentar. Tolong jaga Angel." dia perpesan lewat jendela mobil yang dibuka.

Meghan mengangguk, " kau... berhati-hatilah."

Alan mengangguk lalu beranjak pergi. Dia mengamati punggung berbalut jaket kulit yang menjauh. Punggung kuat yang menanggung beban pemiliknya. Punggung yang menjadi saksi bisu tragedi traumatik yang tak pernah diusut oleh pihak berwajib dan media.

***

Hot And ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang