22. Memori

208 11 2
                                    

Meghan tersadar dalam sebuah ruangan asing. Di atas ranjang yang sempit dan hanya dapat ditempati dua orang. Di nakas sebelah ranjang, terdapat humidifier yang menguarkan uap beraroma lavender.

Matanya melebar, merubah posisi menjadi duduk. Mengamati seisi ruangan yang tampak asing. Ia berusaha mengingat apapun yang baru saja terjadi. Dan ingatan terakhirnya hanyalah Brian yang membekapnya dengan kain yang sudah diberi obat bius hingha dirinya pingsan.

Mungkinkah Meghan sedang ditawan oleh Brian? Namun, jika dia adalah tawanan, mengapa bisa terbangun di atas ranjang yang cukup nyaman? Apakah Brian hanya menginginkan satu ronde seperti yang lelaki itu katakan berulang-ulang?

Meghan bangkit, mengitari ruangan. Dibukanya lemari di ujung ruangan. Menampakkan pakaian-pakaian lelaki yang mayoritas kemeja, jas dan celana bahan. Sedikit sisanya kaus oblong dan celana pendek yang digantung rapi.

Ada satu kemeja yang membuat Meghan sadar siapa pemilik ruangan ini. Kemeja biru berlengan pendek bermerk sama persis dengan milik Arnold, mantan pacarnya. Ia ingat, kapan siapa yang meminjam kemeja itu kemarin malam.

Sosok dalam pikirannya muncul bersamaan dengan suara pintu yang terbuka. Alan. Berlari masuk dan memeluk Meghan begitu erat tanpa bicara apa-apa. Mengusap punggung Meghan penuh perasaan.

" Alan, apa yang terjadi?" Meghan bertanya penuh kebingungan. Ia tak membalas pelukan Alan, tidak pula mendorong tubuh lelaki itu agar menjauh.

" Aku senang kau baik-baik saja," jawabnya, melepas pelukan. Alan menggandeng Meghan untuk duduk di atas ranjang, " saat mampir ke apartemenmu untuk mengembalikan kemeja yang kau pinjamkan, aku tak sengaja melihat orang yang kau sukai menggendongku dalam keadaan tak sadar." Alan menjelaskan perlahan-lahan.

" Brian maksudmu?"

Alan tidak yakin, " aku tak tahu dan tidak mau tahu siapa namanya."

Meghan menahan tawa. Sontak saja darahnya yang mendidih saat mengucapkan nama Brian, kini mereda. " Lalu?"

" Kupukuli saja dia sampai jatuh dan kabur membawamu saat orang-orang sadar jika aku melakukan kekerasan di tempat umum." Dia tertawa. Menurutnya lucu karena Alan bisa melakukan hal gila seperti itu hanya untuk menyelamatkan seorang wanita dari orang yang disukainya. Lucu, bukan? Tapi instingnya tidak salah. Saat itu, Meghan memang benar-benar membutuhkan bantuan.

" Kenapa kau tertawa?"

" Aku tidak menyangka, ternyata kau bisa memmbuatku melakukan hal gila itu."

Meghan ikut tertawa. Entahlah. Perlahan-lahan, suasana yang tegang kian mencair. Jika dilihat-lihat, Alan tak sedingin kata orang-orang. " Jangan terlalu senang. Bisa saja setelah ini polisi mendatangimu atas bukti CCTV apartemen."

" Aku akan mematuhi peraturan kalau begitu."

Meghan mengamati Alan lekat-lekat. Ada sesuatu yang lelaki itu sembunyikan di relung hati paling dalam. Setidaknya begitu intuisinya mengatakan.

" Alan, soal mahkota Fir'aun..."

" Astaga, kau masih memikirkan hal itu?"

Meghan mengangguk, " aku membelinya untuk adikku yang merengek minta dibelikan mahkota mainan."

" Adikmu yang bersekolah di SD dekat kampus?" tanya Meghan heran. Jika memang adiknya yang minta, mengapa harus yang mirip milik Fir'aun? Mahkota barbie atau raja banyak dijual bebas di pasaran.

Alan mengangguk, " tentu saja. Aku hanya ingin membuatnya bagaia. Itu saja."

" Dia tidak di sini? Sekarang bahkan bukan jam sekolah." Meghan memicingkan mata, curiga.

" Dia tinggal di asrama."

***

Entah kesambet hantu apa, Alan tiba-tiba berjanji akan mengajak Meghan menemui adiknya. Jika dipikir-pikir lagi, rasanya Alan memang sudah gila. Tindakannya akhir-akhir ini tak kenal logika. Dia bahkan sering lupa diri, lupa waktu dan lupa segalanya jika sedang mengobrol bersama Meghan.

Apakah perasaannya betulan cinta? Bukan hal lain yang hanya tipuan diri semata? Alan masih belum terlalu yakin. Saat ini, yang ia yakini hanya satu; Alan bisa mengucapkan apa saja di depan Meghan. Salah satunya tentang kejujuran yang selalu ia sembunyikan dari orang-orang mengenai adik perempuannya, satu-satunya. Yang paling ia sayangi.

Meghan sudah pulang ke apartemennya dengan membawa kemeja biru muda milik mantan pacarnya. Kini, Alan sendirian. Meraih album foto di dalam laci nakas. Membuka halaman demi halaman, sesekali mengulas senyum, sesekali mengucek matanya yang berkaca-kaca.

Album foto di genggaman Alan adalah memori masa kecilnya yang bahagia. Dengan orang tua lengkap. Setiap pagi disediakan sarapan oleh Mamanya. Siangnya bermain-main dengan kakak perempuan, kalau malam menidurkan adik kecilnya.

Lelaki itu memejamkan mata. Memori itu, terlalu indah jika muncul bagai film dalam kepala. Terlalu membahagiakan jika diingat pada masa sekarang. Namun, rasanya Alan ingin memejam dan diam membiarkan memori itu menari-nari dalam ingatannya.

Namun sialan. Bukan hanya memori indah. Memori penuh luka pun tak mau pergi dalam pikirannya. Meski sudah berkali-kali coba diblok. Tetap saja. Alan masih dapat mengingat jelas tangan-tangan yang menarik pelatuk, wajah-wajah sangar dengan ekspresi tanpa perasaan, serta suara jeritan anggota keluarganya yang tak didengar.

Alan membuka mata. Berusaha memblok pikirannya agar tidak mengingat tragedi itu lagi. Sudah sangat lama. Sepuluh tahun yang lalu. Kini, hidupnya harus lebih baik meski Alan harus tumbuh menjadi anak tangguh yang mandiri. Bahkan ia harus mengurus adik perempuannya seorang diri. Karena hanya dialah yang dapat diandalkan.

Alan seorang yang dapat diandalkan.

Lelaki itu mengusap ujung matanya dengan jemari. Meraih ponsel, lalu mengirimi Meghan pesan singkat sebelum menutup album foto dan meletakkan benda penuh memori itu ke dalam laci nakas.

Ayo, besok selesai kelas kita temui adikku di asrama sekolahnya, dekat kampus.

Setelah itu, ia letakkan ponsel di atas nakas. Memejam. Alan harus istirahat dan menghadiri kelas besok pagi.

***

Hot And ColdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang