Naura bangun dari tidurnya dan mendapati posisinya sudah tidak lagi seperti awal dirinya tidur, tangannya sudah berada di tengah kasur dengan sekitar tangannya yang bersimbah darah. Naura pikir darah itu sudah mulai mengering, tapi ternyata belum, mungkin karena tekanan yang Naura berikan menjadikan luka yang seharusnya sudah mulai memngering menjadi terbuka kembali.
Tidak ada reaksi apapun yang Naura berikan, hanya sesekali mengelap darah yang keluar dari karyanya itu. Naura beranjak dari kasurnya dan mengambil kapas serta botol alkohol berukuran kecil, Naura perlahan mulai membersihkan sisa-sisa darah yang masih mengalir di sekitar lengannya itu.
Alkohol yang memberikan rasa perih mulai menggerogoti area sekitar luka Naura, Naura terus membersihkan sisa-sisa darah sembari sesekali menekan kapas yang mengandung alkohol itu tepat di atas lukanya.
Saat sedang asik menyiksa dirinya sendiri, tiba-tiba saja tangan Naura yang tadinya sedang asik menekan kapas itu di area lukanya ditepis oleh seseorang. Naura yang tangannya ditepis itu sedikit kesal dan langsung menatap siapa pelaku yang berani mengganggu kesenangannya.
"Naura! Udah gila, ya, kamu?" tanya bapak dengan suara yang tinggi.
"Bapak ngapain masuk kamar Naura?" Bukannya menjawab pertanyaan bapak, Naura justru bertanya balik kepada bapak.
"Kamu apain tangan kamu? Sudah bosan hidup kamu?" tanya bapak lagi.
"Pak, kalo Naura bilang Naura mau kuliah Bapak bakal tetep maksa Naura buat kubur impian Naura?" tanya Naura dengan lirih.
"Naura, kamu tau sendiri kondisi ekonomi kita lagi nggak baik-baik saja. Tolong tunda sebentar impian kamu itu," jawab bapak.
"Naura pengen kayak kebanyakan perempuan di luar sana, Pak. Mereka yang ujung-ujungnya di dapur aja bisa kuliah masa Naura nggak bisa," ucap Naura.
"Bapak nggak pernah melarang kamu buat kuliah, tapi untuk sekarang jangan dulu."
"Kenapa, Pak? Karena Bapak pusing mikirin surat cerai Bapak sama Ibu?" tanya Naura dengan sedikit emosi.
"Kamu tau? Sudah, obati yang benar lukamu itu. Soal itu tidak usah dibahas sekarang," ucap bapak.
Setelah mengatakan itu, bapak pergi dari kamar Naura dengan meninggalkan Naura yang kecewa dengan jawaban sang bapak. Naura rasa tidak seharusnya sang bapak langsung menyetujui permintaan sang ibu, terlebih usia pernikahan mereka sudah lebih dari dua puluh tahun.
"Kalo nggak bisa kuliah, ya, terima aja nggak usah berusaha bujuk bapak," sindir Rindu yang ternyata berada di balik tembok.
"Diem kamu! Aku nggak butuh sindiran dari anak kesayangan Ibu kayak kamu," ucap Naura.
"Udah berani lo? Hebat juga, diajarin siapa, sih?" tanya Rindu dengan senyuman mengejek.
Mata Rindu tidak sengaja melihat lengan kiri Naura yang terdapat luka basah yang cukup parah, dengan tidak berperikemanusiaannya Rindu menarik tangan Naura tepat di luka yang tadi kembali terbuka.
Rintihan terdengar dari bibir Naura, Rindu benar-benar mencengkeram area lukanya dan itu mengakibatkan darah segar kembali menetes mengotori lengan serta lantai kamar Naura.
"Eh, sorry gue nggak liat. Sakit, ya?" tanya Rindu dengan wajah tidak bersalah.
"Punya mata tuh dipake, percuma punya mata kalo nggak dipake. Mending jual aja kornea mata lo kalo emang lo nggak pake dengan benar," ucap Naura.
"Berani banget lo! Awas aja, gue aduin lo sama Ibu," ucap Rindu mengancam Naura.
"Gue nggak takut."
Rindu benar-benar menyulut emosi Naura, Naura tidak pernah mengubah penggunaan aku-kamu menjadi lo-gue kecuali dirinya benar-benar sudah muak. Naura selalu menjaga tutur katanya, tapi sepertinya kalau sudah berhadapan dengan Rindu, Naura tidak bisa menjaga tutur katanya lagi karena hanya dengan melihat wajah Rindu saja emosi yang sebelumnya reda langsung kembali memuncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah yang runtuh[ PROSES PENERBITAN]
General Fictionjika kebanyakan rumah itu tempat untuk kita pulang dan menghilangkan penat berbeda dengan rumah milik tokoh utama dalam cerita ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya mengistirahatkan tubuhnya malah menjadi tempat asal di mana tubuhnya lelah, r...