bab 11

12 3 7
                                    

Sepanjang perjalanan, Ridwan terus mencuri pandang pada Naura yang berada di sebelahnya. Menurut Ridwan, Naura adalah gadis yang ambis akan impiannya dan Ridwan berharap impian gadis itu terwujud agar semua perjuangan gadis itu tidak terbuang sia-sia.

"Pak, saya berhenti di sini aja," ucap Naura pada Ridwan.

"Di sini? Ini halte bus Naura bukan Gramedia yang kamu tuju," jawab Ridwan.

"Gapapa, Pak. Udah deket juga kok," ucap Naura.

"Ya sudah, hati-hati sama copet," ucap Ridwan memperingati Naura.

"Iya, Pak. Terima kasih atas tumpangannya," ucap Naura.

"Besok tolong datang lebih cepat, ya, kasir dinomor satu sedang sakit jadi untuk sementara kamu gantikan dulu," ujar Ridwan.

"Saya usahakan, Pak."

Setelah perbincangan singkat itu, mobil Ridwan melaju meninggalkan Naura sendiri di halte bus. Naura kemudian menetralkan napasnya dan mulai melangkahkan kakinya menuju Gramedia yang sudah ada di depan matanya.

Saat Naura kaki Naura mulai memasuki gedung itu banyak ungkapan kagum pada gedung yang berisi jutaan buku itu, Naura tidak menyangka bahwa dirinya akan kembali menginjakkan kakinya lagi di gedung itu setelah dua tahun tidak menginjakkan kakinya.

"Oke Naura, fokus cari buku yang kamu butuhkan jangan tergoda sama novel-novel keren itu," gumam Naura.

Naura mulai menyusuri beberapa lorong rak buku untuk mencari buku incarannya hingga matanya tertuju pada sebuah buku novel ciptaan penulis favoritnya.  Ingin rasanya Naura mengambil buku itu dan membawanya pulang tapi, itu tidak mungkin dirinya lakukan mengingat sang ibu tidak suka dirinya mengoleksi novel-novel itu.

Naura kembali melangkahkan kakinya hingga bada di ujung lorong rak buku yang menjadi tempat buku incarannya berada. Naura lalu membawa buku yang dirinya butuhkan itu ke kasir dan bergegas membayarnya.

Setelah selesai membayar, Naura melangkah meninggalkan gedung favoritnya itu dan langkah kakinya membawanya kembali ke halte bus yang sebelumnya menjadi pemberhentian terakhirnya sebelum memasuki gedung itu.

Naura terduduk sambil membayangkan bagaimana nasibnya nanti setelah ibu dan bapaknya resmi berpisah, akan jatuh ke tangan siapa hak asuh dirinya dan Rindu? Akankah kedua orang tuanya melepaskan tanggung jawab atas dirinya dan memilih mempertahankan Rindu?

"Dua Minggu lagi sidang perceraian Bapak sama Ibu, aku dateng nggak, ya? Apa aku sanggup kalo aku dateng?" tanya Naura pada dirinya sendiri.

"Gimana sama beasiswa aku? Apa aku lolos? Apa aku bakal dapat apa yang selama ini aku harapkan?"

"Aku juga mau kayak anak-anak lain yang berpendidikan tinggi tapi, aku takut nanti nyusahin mereka. Selama ini aku udah banyak nyusahin mereka, apa iya aku harus nyusahin mereka lagi?"

Banyak sekali pertanyaan yang berkeliaran di dalam kepalanya, Naura sampai bingung harus berbuat apa dengan banyaknya pertanyaan yang bersarang di kepalanya. Andai Naura punya kekuatan sehingga bisa menyelesaikan semua masalah serta menjawab semua pertanyaan yang ada di kepalanya pasti dirinya tidak sesusah ini sekarang.

Setelah selesai berperang dengan pikirannya sendiri, Naura memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki meskipun jarak dari Gramedia ke rumahnya memakan waktu dua puluh menit dengan berjalan kaki.

Uang yang tadinya ingin dia gunakan untuk menaiki angkot sudah habis untuk membayar buku yang dirinya beli dan dari keseluruhan uang miliknya tadi kini hanya tersisa lima ribu rupiah saja. Naura menyesal telah membawa uang dengan jumlah yang pas hanya untuk membayar buku saja.

Rumah yang runtuh[ PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang