Hari yang melelahkan untuk Naura terus berjalan hingga tak terasa sudah dua Minggu ia bekerja di kafe milik Ridwan itu. Hari untuk Naura mempersiapkan pendaftar beasiswa semakin menipis, Naura sesekali belajar di jam istirahatnya ketika bekerja dan beruntungnya Naura semua teman-temannya mendukungnya belajar disela-sela kerjaannya.
"Naura, karena ini awal bulan berarti sudah saatnya saya memberikan apa yang harusnya kamu dapatkan dari kerja yang selama ini kamu lakukan," ucap Ridwan kepada Naura.
"Tapi, saya baru kerja dua Minggu, pak. Apa tidak sebaiknya gaji saya diberikan saat saya sudah genap bekerja selama sebulan?" tanya Naura.
"Memangnya kamu tidak butuh gaji ini untuk membeli sesuatu yang kamu butuhkan untuk mendaftar beasiswa?" tanya Ridwan balik.
"Jelas butuh, Pak. Hanya saja saya merasa tidak enak pada karyawan lain, saya baru bekerja dua Minggu, loh, Pak." Tekan Naura pada kata dua Minggu.
"Intinya saja, kamu terima atau tidak uang ini?" tanya Ridwan.
"Naura, saya tau kamu butuh uang ini maka dari itu saya berikan gaji kamu sama seperti karyawan lainnya," imbuh Ridwan.
"Bapak serius?" tanya Naura memastikan untuk kesekian kalinya.
Tanpa menjawab pertanyaan Naura, Ridwan langsung mengambil tangan kanan Naura dan meletakkan amplop berisikan gaji Naura dan langsung pergi meninggalkan Naura yang sepertinya akan mengomel.
"Pak Ridwan aneh, di mana-mana gajian itu tunggu empat Minggu bukan malah baru dua Minggu udah gajian," gerutu Naura.
"Udah, Nau. Pak Ridwan emang gitu, nggak mau dibantah jadi syukuri aja, kan, kamu juga butuh," ucap karyawan lainnya yang Naura kenal bernama Hany.
"Pak Ridwan emang sering gitu, ya, mbak?" tanya Naura pada Mbak Hany.
"Iya, dia nggak mau membeda-bedakan karyawannya," jawab Mbak Hany.
"Yaudah, makasih Mbak," ucap Naura.
Setelah mengetahui bahwa Ridwan memang seperti itu Naura langsung melanjutkan pekerjaannya yang sedikit lagi selesai dan ia bisa pulang untuk beristirahat.
Setelah merasa beres dengan pekerjaannya Naura langsung mengambil tas selempang miliknya yang berada di loker dan berpamitan pada teman-temannya yang lain dan tentunya berpamitan pada Ridwan yang saat itu berada di kasir nomer satu.
"Nau, bareng saya mau? Kebetulan saya mau mampir ke rumah sodara saya yang nggak jauh dari rumah kamu," ucap Ridwan.
"Aduh, nanti malah saya ngerepotin Pak Ridwan. Mending saya pesen ojek aja, Pak." tolak Naura secara halus.
"Saya yang nawarin berarti saya nggak keberatan sama sekali, Naura."
"Udah bareng aja sama Pak Ridwan, dari pada harus buang uang lagi buat naik ojek, Nau," ucap mbak Hany yang berada di kasir satu itu.
"Beneran nggak ngerepotin Bapak, kan?" tanya Naura, lagi.
"Sudah, cepat kita pulang waktu kerja kamu juga sudah selesai," ucap Ridwan mengabaikan pertanyaan Naura.
Setelah mengatakan itu, Ridwan langsung menarik tali tas selempang milik Naura agar cepat berjalan meninggalkan kasir dan menuju ke parkiran untuk pulang mengendarai mobil milik Ridwan.
"Pak! Nggak usah di tarik juga, saya bisa jalan sendiri," ucap Naura.
"Kamu jalan kayak siput jadi saya tarik saja kamu kayak sapi," jawab Ridwan.
"Saya bukan sapi! Lepasin, Pak. Saya susah napas," imbuh Naura.
Akhirnya Ridwan melepaskan tangannya dari tali tas Naura setelah mendengarkan ucapan Naura yang mengatakan bahwa dia susah bernapas.
"Masuk, kita harus cepat-cepat pulang," ucap Ridwan memerintah Naura agar cepat masuk ke dalam mobil miliknya.
"Kok jadi Pak Ridwan yang buru-buru?" tanya Naura heran.
"Saya lupa ada acara keluarga di sana saya juga sudah terlambat," jawab Ridwan.
Akhirnya mereka berdua berada di satu mobil dengan keadaan yang cukup canggung, Naura yang terus melihat ke arah luar dan Ridwan yang memfokuskan pandangannya ke arah depan.
Setelah lima belas menit berkendara akhirnya Mobil yang mereka berdua kendarai berhenti tepat di depan rumah Naura dan Naura yang menyadari bahwa mobil itu telah berhenti langsung bergegas turun dan tentunya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ridwan atas tumpangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah yang runtuh[ PROSES PENERBITAN]
Fiksi Umumjika kebanyakan rumah itu tempat untuk kita pulang dan menghilangkan penat berbeda dengan rumah milik tokoh utama dalam cerita ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya mengistirahatkan tubuhnya malah menjadi tempat asal di mana tubuhnya lelah, r...