Pagi ini sepertinya adalah pagi yang sial untuk Naura, karena jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi Rindu sudah memberi banyak notifikasi di hari yang cerah ini hingga niat Naura yang akan bangun sedikit lebih siang lagi harus sirna.
Dan sesuai dugaan Naura, Rindu lagi-lagi meminta tolong padanya untuk menyewa seorang pengacara untuk membebaskan sang ibu dari tuntutan seorang yang pernah ibu pinjam uangnya. Lagi dan lagi Naura harus memutar otak agar bisa membantu sang ibu tanpa harus mengeluarkan uang dengan jumlah besar, sebenarnya Naura bisa saja menggunakan yang tabungannya yang selalu bapak kirimkan tapi, Naura kembali memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
"Kak, ayolah masa lo nggak mau bantuin Ibu lo sendiri," ucap Rindu memohon, baru kali ini Rindu memintanya sampai memohon seperti ini.
"Aku nggak bisa, nyewa pengacara itu butuh biaya besar dan aku nggak punya biaya sebanyak itu, Rin," jawab Naura.
"Ayolah, Kak, lo pinjem ke siapa gitu biar ibu bisa bebas, Kak," ucap Rindu dengan mata uang sudah berkaca-kaca.
"Kamu pikir gampang minjam uang? Kamu pikir gampang cari pengacara dengan biaya sewa yang terjangkau? Kalo emang ada kamu cari biar aku yang bayar orangnya!" ucap Naura dengan intonasi yang lebih tinggi.
"Nggak tau berterima kasih banget lo, Kak. Kalo nggak ada Ibu lo nggak bakal lahir!" ucap Rindu dengan emosi yang bergejolak.
"Bukan aku nggak tau berterima kasih tapi, coba kamu pikir dari mana aku bisa dapat uangnya?"
"Ya, harusnya kalo lo beneran niat lo bakal ada usaha buat cari pinjaman!" entahlah, sepertinya Rindu sangat kekeuh memintanya untuk menyewakan pengacara.
"Cukup! Mending kamu keluar dari rumah aku daripada kamu maksa aku buat bantu kamu padahal aku udah dengan baik ngasih tau kamu tapi, kamu malah nyolot," ucap Naura pada akhirnya mempersilahkan Rindu untuk meninggalkan rumahnya.
"Lo serakah, Kak. Lo punya uang sekarang tapi, lo sama sekali nggak mau bantu gue dan Ibu yang lagi kesusahan. Lo masih anggap kita keluarga nggak, sih?"
"Bukannya kalian yang nggak anggap aku sama Bapak keluarga setelah ketuk palu kemarin? Kenapa sekarang kamu malah memutarbalikkan fakta? Ngaca Rindu, selama ini aku selalu berusaha bantu kamu dan Ibu sedangkan kamu yang aku bantu sama sekali nggak ada ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut kamu!" ujar Naura mulai tersulut emosi.
"Kalo kemarin lo bisa bantu gue dan Ibu kenapa sekarang nggak bisa? Hutang Ibu sebelumnya lebih banyak dari biaya sewa pengacara," ucap Rindu.
"Kalo menurut kamu lebih banyak hutang Ibu kemarin kenapa nggak kamu aja yang lunasin? Kenapa harus aku? Masih mending aku bantu kamu dan Ibu tapi sekali lagi, kamu sama Ibu itu kayak kacang lupa kulitnya tau nggak?" cibir Naura.
"Gue masih pelajar, Kak. Mikir dong, mana ada tempat kerja yang memperkerjakan siswa yang bahkan belum lulus sekolah," bantah Rindu.
"Bukannya kamu pindah sekolah ke sekolah elit, ya? Siapa yang bayar kalo emang kamu sama ibu nggak ada uang?" tanya Naura.
"Kak, kalo emang lo nggak mau bantu kita bilang aja jangan malah menyudutkan gue gini. Cara lo basi banget kalo gini, Kak."
"Bukannya aku udah bilang dari tadi? Justru kamu yang malah memperpanjang semuanya," ucap Naura tidak terima disalahkan.
"Pintu keluar di sana, Rin. Silahkan keluar kalo emang nggak ada keperluan lagi," ucap Naura menunjuk ke arah pintu.
"Lo jahat, Kak. Gue nggak bakal anggap lo sama Bapak keluarga lagi setelah ini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah yang runtuh[ PROSES PENERBITAN]
Fiksi Umumjika kebanyakan rumah itu tempat untuk kita pulang dan menghilangkan penat berbeda dengan rumah milik tokoh utama dalam cerita ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya mengistirahatkan tubuhnya malah menjadi tempat asal di mana tubuhnya lelah, r...