Hari yang Naura takutkan kini telah tiba, dirinya beserta Rindu kini hadir di sidang gugatan cerai bapaknya. Naura sebenarnya tidak ingin menginjakkan kakinya ke gedung yang sama sekali tidak ingin dirinya kunjungi seumur hidupnya tapi, keadaan memaksanya untuk menginjakkan kakinya di gedung yang Naura benci.
Perceraian, siapa yang akan menyukai kata pisah? Naura rasa tidak ada yang suka akan kata perpisahan tapi, takdir telah memutuskan yang terbaik untuk setiap manusia dan manusia hanya harus menerima dan menjalankan takdir tersebut.
Persidangan sudah di mulai sejak dua jam yang lalu dan kini sudah waktunya mendengarkan putusan hakim. Jantung Naura berdetak kencang, Naura takut akan jatuhnya hak asuh dirinya pada sang ibu. Naura lebih baik hidup sendiri dari pada hal asuhnya harus jatuh kepada sang ibu.
"Saudara Hernawan Susanto kini resmi berpisah dengan saudari Wulandari Putri. Hak asuh ananda Naura Amelia dan Rindu syahputri jatuh kepada saudara Hermawan Susanto."
Putusan telah dibacakan oleh hakim dan dengan selesainya putusan dibacakan bergantian dengan palu yang diketuk pertanda bahwa sidang selesai dengan putusan yang sudah dibacakan oleh hakim.
Setelah persidangan selesai Naura memilih berpamitan pada bapak untuk kembali bekerja karena dirinya tadi hanya izin untuk menghadiri sidang saja dan akan kembali bekerja setelah sidang selesai.
Sedangkan Rindu yang tidak terima dengan putusan hakim langsung merengek pada ibu untuk tidak membiarkan dirinya tinggal bersama Naura dan juga bapak. Sejujurnya bapak tidak keberatan jika Rindu ingin tinggal bersama ibunya tapi berdasarkan keputusan hakim tadi akhirnya bapak sedikit ragu untuk membiarkan Rindu tinggal bersama sang ibu.
"Udahlah Mas, biarin Rindu tinggal sama aku masa kamu tega jauhin aku sama anak aku," ucap Ibu berusaha membujuk Bapak.
"Cuma Rindu anak kamu? Terus gimana sama Naura? Kamu nggak kasihan sama Naura kalo dia jauh dari adiknya?" tanya Bapak.
"Naura itu sudah dewasa Mas jadi dia pasti bisa mikirin gimana perasaan adiknya dan pasti Naura juga lebih mentingin perasaan adiknya," jawab Ibu yang langsung mendapatkan gelengan dari Bapak.
"Kamu seegois ini ternyata, kamu nggak pernah sedikitpun mikirin perasaan Naura? Naura juga anak kamu kalo kamu lupa."
"Naura masih punya kamu Mas jadi aku nggak perlu khawatir sama Naura, pasti kamu bisa ngurus Naura dengan baik. Aku yakin itu," ucap Ibu.
"Terserah kamu, sejak awal memang kamu selalu mengistimewakan Rindu anak kamu dibandingkan Naura, padahal mereka itu sama-sama anak kamu tapi perlakuan kamu jelas sekali berbeda," ujar bapak.
Bapak langsung pergi meninggalkan Rindu dan ibu yang saat itu malah saling melemparkan senyum seolah tidak ada rasa sedih setelah hakim mengetuk palunya tadi.
Naura kini sudah berada di kafe dan ternyata keputusannya untuk langsung kembali ke kafe adalah keputusan yang salah. Buktinya sekarang Naura jadi tidak fokus dalam melayani pelanggan, Naura sering sekali melamun di kasir hingga beberapa kali mendapatkan teguran dari pelanggan ataupun rekan kerjanya.
Ridwan yang mendapatkan informasi akan kondisi karyawannya langsung menghampiri Rindu yang saat itu tengah melamun, lagi. Ridwan langsung menepuk pelan pindah Naura untuk menyadarkan Naura dari lamunannya dan berhasil, Naura tersadar dari lamunannya dan sedikit terkejut melihat kehadiran Ridwan di sampingnya.
"Kenapa melamun?" tanya Ridwan.
"Nggak papa, Pak. Lagi mikirin sesuatu aja," jawab Naura.
"Kalau memang kamu butuh istirahat bilang saja, saya pasti akan memberikan kamu beberapa hari untuk beristirahat. Saya juga tidak mungkin memperkerjakan karyawan saya yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja," ucap Ridwan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah yang runtuh[ PROSES PENERBITAN]
Fiction généralejika kebanyakan rumah itu tempat untuk kita pulang dan menghilangkan penat berbeda dengan rumah milik tokoh utama dalam cerita ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya mengistirahatkan tubuhnya malah menjadi tempat asal di mana tubuhnya lelah, r...