Emosi Naura kini tengah berada di puncaknya, untuk meredam amarah yang muncul karena perkataan Ridwan, Naura memilih untuk pulang lebih awal agar bisa menjernihkan pikirannya dari semua yang bersarang di kepalanya.
Bapak yang melihat Naura pulang lebih awal langsung menghampiri Naura yang terduduk di teras rumah mereka. Naura sudah menyadari keberadaan bapak tapi Naura memilih untuk diam dan tidak menggubris keberadaan bapak.
"Kamu kenapa Ra? Cerita sama Bapak kalo memang kamu ada masalah," tanya Bapak pada Naura setelah melihat kondisi Naura yang sepertinya sedang dalam kondisi hati yabg tidak baik.
"Naura nggak keterima Beasiswa, Naura juga nggak bisa berhenti kerja di kafe itu," jawab Naura dengan singkat.
"Kenapa bisa nggak keterima? Memangnya kamu nggak belajar dengan serius?" tanya Bapak.
Naura terdiam, ini adalah satu hal yang Naura benci dari sang Bapak. Selalu menanyakan suatu hal yang jelas ia sudah tau jawabannya, untuk apa Naura membuang-buang uang dan waktu yang ia punya jika memang ia tidak serius belajar mendapatkan beasiswa itu.
"Menurut Bapak? Pertanyaan itu nggak seharusnya Bapak lontarkan ke aku karena Bapak pasti tau jawabannya." Ucap Naura ketus.
"Apa Bapak lihat selama ini aku kelihatan nggak serius dalam mengejar mimpi aku untuk kuliah?"
"Bapak nggak pernah tau gimana capeknya aku kerja sambil curi-curi waktu belajar supaya aku keterima," ucap Naura dengan sengaja mengeluarkan semua yang ia pendam selama beberapa waktu belakangan.
"Bapak nggak pernah tau gimana bimbangnya aku waktu Bapak bilang nggak mau aku jauh dari Bapak."
"Bapak nggak pernah tau seberapa kacaunya aku waktu dengan Bapak sama Ibu mau pisah dan Rindu malah bilang kalau itu semua karena aku," runtuh sudah pertahanan Naura untuk tidak menangis, nyatanya mengungkapkan perasaan yang selama ini kita pendam memanglah melegakan.
"Sekarang Bapak nggak perlu susah-susah berdoa sama Tuhan buat menggagalkan impian aku karena semua itu sudah terwujud."
Naura tidak perduli jika perkataannya barusan bisa melukai hati sang Bapak, Naura ingin kali ini saja dirinya egois untuk kesehatan mentalnya sendiri. Sudah cukup kemarin ia memendam semuanya, kini biarkan semuanya ia keluarkan agar beban di pundaknya sedikit berkurang.
Ponsel Naura bergetar menandakan telfon masuk, dengan cepat Naura melihat siapa yang menghubunginya dan nama yang tertera di layar ponselnya adalah Rindu. Dengan malas Naura menggeser ikon hijau itu ke atas untuk menjawab panggilan dari Rindu.
"Gue butuh uang, transfer ke gue lima juta sekarang juga," ucap Rindu dari seberang sana.
"Buat apa uang sebanyak itu? Aku nggak punya uang sebanyak itu, Rindu."
"Pinjem sama siapa gitu, butuh banget buat Ibu. Dia minjem uang ke rentenir dan sekarang rentenir datang buat nagih , sementara Ibu belum ada uangnya," jawab Rindu.
Jawaban Rindu langsung membuat kepala Naura pening, baru saja ia menyelesaikan satu masalahnya kini sudah ada lagi masalah yang menghampirinya. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Naura yakin lima juta itu belum sepenuhnya dan bisa saja dalam beberapa hari lagi Rindu akan menghubunginya lagi dengan perihal yang sama.
"Aku harus nyari pinjaman kemana? Aku nggak mungkin minjem ke Pak Ridwan," gumam Naura.
"Tapi kalo bukan ke Pak Ridwan harus ke mana lagi aku nyari pinjaman? Aku nggak mau jatuhin harga diri aku ke Pak Ridwan setelah tadi aku ngatain dia," gumamnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah yang runtuh[ PROSES PENERBITAN]
Fiksi Umumjika kebanyakan rumah itu tempat untuk kita pulang dan menghilangkan penat berbeda dengan rumah milik tokoh utama dalam cerita ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempatnya mengistirahatkan tubuhnya malah menjadi tempat asal di mana tubuhnya lelah, r...