Bab 2 - Perjaka Tua

71 1 0
                                    

Julian Valerio terenyak di kursi mobilnya. Ia terjebak satu jam di tengah-tengah kepadatan jalan kota Jakarta. Gerimis di sore hari, gadis remaja yang sedang menangis di halte bus, orang agency yang memintanya untuk tak datang telat untuk acara talkshow. Melelahkan.

Emon, asisten pribadi Julian yang sudah bekerja untuknya selama 5 tahun ini agak sedikit panik. Orang-orang dari stasiun televisi tak henti meneleponnya sejak setengah jam yang lalu. Tercatat puluhan panggilan tak terjawab masuk ke telepon genggam pria kemayu itu.

"Pak, ayo cepetan, Pak. Udah ditungguin kru TV dari tadi," kata Emon pada sopir yang membawa mereka. "Mas Ian mandinya kelamaan. Kita jadi telat nih. Udah tahu Jakarta kalo sore macet."

"Lo nyalahin gue?" jawab Julian ketus. "Mundurin aja lah acaranya. Bukan siaran langsung, kan?"

"Bukan masalah siaran langsungnya, Mas," gumam Emon. "Emon kan udah janji bakalan on time. Kalo nggak on time bukan Mas Ian yang kena semprot. Tapi Emon."

"Terus?" tukas Julian.

"Terus apa, Mas Ian?"

"Ya terus lo masih ngomel? Salahin macet kek, hujan kek, kiamat kek, apa kek," oceh Julian.

Emon memasang muka cemberutnya. Sementara Julian mengamati gadis yang sedang menangis di halte bus itu. Apa yang gadis itu tangisi? Masih muda, seolah sudah mengalami bencana besar dalam hidupnya.

"Tuh, jalan tuh, Pak. Ayo. Udah telat, nih," ucap Emon agak bersemangat saat melihat lalu lintas yang tengah merenggang. Yang ia pikirkan adalah cepat sampai di agency.

Begitu sampai, Emon segera memayungi Julian untuk segera masuk ke dalam gedung.

Pak Ardi menyambut kedatangan Julian dengan sedikit berdeham, tapi pemuda itu tampak seperti sedang terburu-buru.

"Mas Ian!" panggil seorang pegawai agency yang kebetulan peka.

"Pak Ardi, maaf banget. Tapi ini lagi buru-buru, Pak. Udah ditunggu sama kru TV di atas," kata Emon sambil menarik Julian sedikit.

"Friend TV? Friend TV, kan? Ini krunya di sini," jawab Pak Ardi santai.

Julian menyapu seluruh isi ruangan itu. Memang benar awak stasiun televisi itu ada di sana. Lalu apa yang sedang mereka rencanakan dengan para gadis yang menurut Julian mirip cabe-cabean itu?

"Mon, lo nggak cek gue shooting sama siapa?" tanya Julian pada Emon. Pemuda itu masih mencoba membaca situasi yang sedang terjadi sekarang.

"Ng, sebentar, Mas." Emon memeriksa telepon pintarnya sedikit takut. Ini di luar kendalinya. Mereka hanya meminta janji temu untuk acara bincang dengan Julian. Bukan Julian dan para gadis itu.

"Ini adik-adik kamu yang akan didebutkan," kata Pak Ardi memperkenalkan TiTan.

Julian mendengus. Ia tak berminat.

Sudah jelas kehadirannya di sini bukan untuk membahas album barunya, melainkan hanya diminta untuk memberikan selamat dan pendapat pada TiTan.

"Gue disuruh cepet-cepet ke sini cuma buat ini? Kalian nyuruh gue promosi mereka? Kayak nggak ada artis lain aja," dengus Julian sambil berniat untuk pergi dari tempat itu.

"Ian!" cegah Pak Ardi. "Ayolah, Ian. Cuma sebentar. Setelah itu kita promosikan album baru kamu."

"Gue ke sini buru-buru cuma mau talkshow. Bukan buat ngasih selamat ke-. Siapa nama grupnya? Lo serius mau debutin mereka?" Julian mendengus meremehkan TiTan di hadapan semua orang.

"Ian, kamu nggak inget perjanjian kita?" bisik Pak Ardi sambil mendekatkan tubuhnya pada Julian.

Tentang itu. Julian hampir lupa bahwa ia pernah bersumpah pada Pak Ardi akan patuh. Tentang orang yang Julian cari.

SECRET HUSBAND (SUAMI RAHASIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang