Julian yang kesal itu membanting pintu mobilnya sesaat setelah ia duduk di belakang kemudi.
Perjodohan? Bukankah ini skandal? Bahkan gadis itu tampak seperti belum cukup umur.
Julian baru saja melihat gadis yang akan dijodohkan dengannya itu melintas menuju depan rumah sakit. Seperti sedang menunggu. Haruskah Julian menawarkan tumpangan padanya? Tak akan. Buang-buang waktunya saja.
Sebentar saja Julian mengalihkan pandangannya untuk menyalakan rokok, gadis itu sudah menghilang.
Bodo amat.
Julian sangat lelah sekali beberapa hari ini. Tour keliling kota baru saja usai dan ia merasa kurang istirahat. Sekarang saat jadwal Julian kosong, maminya datang membawa gagasannya yang cenderung mengada-ada.
Apa motivasi wanita itu menjodohkan Julian pada gadis tadi?
Pemuda itu membuka jendela mobilnya agar asap rokok yang baru saja ia embuskan bisa keluar.
Tenang sekali rasanya. Seperti masalah yang baru saja terjadi ikut hilang bersama asap.
Julian sedikit terkejut saat pintu mobilnya digebrak seseorang dari luar. Siapa lagi kalau bukan maminya yang bar-bar?
Pemuda itu masih memasang wajah kesalnya.
"Nggak sopan kamu begitu di depan calon mertuamu, Ian," tandas Mami Jane.
"Emang Mami sopan tiba-tiba langsung bikin keputusan kayak gini? Aku masih ada kontrak, Mam. Nggak bisa sembarangan," kukuh pemuda itu sambil melempar puntung rokok yang masih panjang. Suasana hatinya makin memburuk. Gara-gara maminya.
"Kamu tau sendiri. Tanpa album itu kamu masih bisa hidup, Ian," dalih Mami Jane. Wanita itu menghela napasnya kasar. Ia mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya yang mewah. Sebuah kotak perhiasan yang tentu saja berisi cincin. Ia pamerkan benda itu pada putranya sambil berkata, "Biaya operasi kakaknya Kiran udah Mami bayar seratus persen. Kamu lamar Kiran sendiri bisa, kan? Nggak perlu Mami temenin."
"Apa? Aku disuruh apa?"
Julian tiba-tiba mendadak tuli.
"Kamu nggak salah denger. Mami suruh kamu buat lamar anak itu. Besok. Jemput dia di sekolah," perintah Mami Jane.
"A-aku beneran dijodohin, Mam?" Julian tergagap.
"Kalau kamu tanya Mami jauh-jauh ke sini cuma buat kamu dan Kiran itu nggak salah, kok."
"Aku nggak paham. Mami jodohin aku sama dia? Dia keliatan masih anak-anak lho, Mam. Masih di bawah umur. Aku nggak mungkin hamilin dia juga. Ngapain pake jodohin aku sama dia?" seru Julian.
"Ya kalau kamu takut dia berhenti sekolah ya jangan dihamilin."
"Nggak usahlah, Mam. Aku masih normal. Aku bisa-"
"Apa? Nyari sendiri? Yang kayak siapa? Hah?" tanya Mami Jane dengan nada tegas. Wanita itu seperti tengah menunggu jawaban putranya. "Dia penurut. Dia cari uang buat mama sama kakaknya yang cacat. Dia perempuan yang tepat buat kamu. Jangan kecewakan Mami."
"Mam," keluh Julian lesu. "Aku harus ngomong apa ke agency kalo aku nikah?"
"Kamu nggak perlu ngomong apa-apa ke mereka. Satu dunia nggak usah tahu kalau kamu nikah. Kamu cuma perlu nikahin Kiran. Intimate wedding. Cuma keluarga kita aja yang tahu."
"Sepenting itu pernikahan ini buat Mami?"
"Berapa tahun kamu nggak mau dengerin ucapan Mami, Ian? Sekarang Mami cuma minta kamu nikah. Udah. Selesai. Susah?"
Julian menyalakan Mazda Hatchback miliknya. Derum merdu mobil mewah itu memecah kesunyian tempat parkir rumah sakit. Pemuda itu pikir lebih baik ia pulang segera daripada harus berdebat dengan maminya. Bisa saja ada wartawan tersesat yang memotretnya diam-diam.
"Setelah nikah, kamu tinggal di rumah Kelapa Gading ya, Ian. Sayang rumahnya besar tapi nggak ada yang tinggal di situ," celetuk Mami Jane.
Julian berdecak kesal tapi sudah malas berdebat.
***
"Aku nggak kaget," ucap Satria sambil bernapas lega. "Aku udah tau dari Abel kalau kamu bakal dipecat. Tapi aku nggak berani bilang ke kamu, Ran."
"Harusnya kamu bilang aja sama aku. Aku nggak apa-apa, kok. Daripada gini," keluh Kiran. "Makanya kok kamu akhir-akhir ini menghindar dari aku. Ternyata gara-gara itu, ya?"
"Maaf, Ran. Tapi aku lega," ucap Satria.
"Lega kenapa?"
"Bukan. Setahun ini aku mikir gimana caranya harus diem-diem pacaran sama kamu."
"Mulai besok kita pacaran terang-terangan," ucap Kiran dengan wajah bahagianya.
Satria meringis. Ia merasa gemas sekali pada Kiran jika semanja ini.
Tangan Satria terulur untuk membuka mi dalam gelas yang sepertinya sudah matang.
"Kamu belum cerita kenapa kamu jalan kaki dari rumah sakit ke rumah, Ran. Kenapa? Berantem lagi sama Mama kamu?"
Kiran masih bungkam. Tak akan ia ceritakan perjodohan itu pada siapapun. Bahkan ia berencana menyembunyikan pernikahannya dari Satria jika memang hal itu benar-benar terjadi.
"Kalau nggak mau cerita nggak apa-apa," ucap Satria sambil tersenyum manis.
Pemuda itu tiba-tiba menundukkan kepalanya ke bawah meja dan mengucurkan air mineral ke kaki Kiran untuk membasuh lukanya.
"Eh-"
Satria memastikan kaki Kiran bersih sebelum ia menempelkan plester luka.
"Nggak sakit, kan?" tanya Satria. "Kok bisa kamu jalan sejauh itu tapi nggak pake sandal."
Kiran tersanjung dengan tindakan pemuda itu. Bahkan Satria juga membelikan sandal di minimarket untuknya.
"Nggak ada ukuran kamu tadi. Terlalu gede kayaknya," ucap Satria sambil terkikik. "Tapi lumayan, kan? Daripada nggak pakai."
Kiran menatap sandal yang ada di kakinya sekarang. Warna oranye. Warna yang selalu mamanya pilihkan untuknya. Kiran membencinya. Tak tahukah mamanya bahwa Kiran menyukai warna merah muda? Warna yang selalu mamanya pilihkan untuk Grace.
"Kamu suka?"
"Hah? S-suka. Suka banget."
"Kalo gitu habis kamu makan, aku antar kamu pulang, ya," usul Satria. "Udah malem banget. Kita perginya lain waktu aja."
"A-aku nggak harus pulang sekarang, kok. Aku bisa tidur di tempat lain."
Kiran malas pulang. Apalagi mengingat tentang perjodohan kampungan itu. Yang benar saja.
"Nggak bisa, Ran. Kamu harus pulang. Aku nggak mau dibilang bawa lari anak orang," canda Satria. "Kalau kamu lagi marahan sama mama kamu, kamu nggak harus kabur dari rumah, kok. Kamu cuma perlu ikuti alurnya aja. Sabar. Semua ada waktunya, Ran."
Kali ini Satria salah. Sudah enam belas tahun lamanya Kiran merasa tak mendapat keadilan. Tapi benarkah semua ada waktunya?
***
Julian memandang keluar jendela apartemennya yang berada di lantai 35. Lampu-lampu kendaraan masih berlomba menyilaukan satu sama lain.
Gelas anggur yang sejak tadi ada di tangannya juga tak kunjung habis. Lalu Julian teringat harus minum obatnya beberapa menit lagi, jadi ia letakkan begitu saja gelas itu ke atas meja.
Terdengar suara mendengkur Laura yang ada di sofa membuat Julian tertarik untuk menggodanya sebentar.
"Heh, Laura. Kamu mau punya mama baru, lho," goda Julian pada anjingnya yang tampak mengantuk itu.
Sial. Kenapa Julian malah berkata begitu? Seolah ia sangat antusias pada perjodohannya.
"Nikah sama cewek SMA." Julian mendengus. Pemuda itu letakkan gelas anggurnya yang masih penuh. Tak ada yang lebih buruk dari ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
SECRET HUSBAND (SUAMI RAHASIA)
RomansaHarusnya Kiran Shamora sudah debut menjadi penyanyi, jika ia tak dipecat di hari pengumuman debut. Padahal, menyanyi adalah satu hal yang Kiran andalkan untuk menghidupi ibunya yang miskin dan kakak perempuannya yang cacat. Pertolongan itu bernama p...