"Tau nomer saya dari mana, Pak?"
Aku hati hati bertanya, males juga sih sebenernya nanggepin. Mau langsung matiin aja.
"Yang itu kamu tidak perlu tau, kamu apakabar?"
"Hm, biasa aja."
"Suara kamu serak, kamu habis menangis?"
"Gak, saya batuk."
"Kamu kenapa gak masuk 2 minggu? Kelas sepi gak ada kamu."
"Penting gitu saya kasih tau, anda?"
"Hanya sekedar ingin tau."
"Saya mau istirahat, saya matikan."
"Tung-"
'Klik'
Akhirnyaaaaa.
Ngapain sih, itu orang nelpon. Kurang kerjaan banget, ganggu aja. Kirain Gibran gitu nelfon, lah ini.
Manusia siluman tupai.
Mending Alvin di film mah, unyu minta digigit. Lah dia, minta ditombak pake bazooka.
Ngerusak mood orang aja. Udah tau lagi sedih, malah bikin makin sedih aja. Dasar moodbreaker.
Hah, tau ah. Aku capek, sudah cukup aku mendapatkan penyakit ini. Aku benar-benar lelah. Lebih baik aku tidur, entah tidur sampai kapan. Selamanya, mungkin? Tidak aku belum siap. Ya, semoga saja nanti aku masih bisa bangun dan membuka mata.
Do'akan aku.
⚫⚫⚫
"Hey, bangun."
Senyap-senyap aku mendengar suara, kayak kenal. Aku membuka mata sedikit, salahku tidak mematikan lampu tadi sebelum tidur, mataku jadi silau begini.
Aku mencoba untuk bangun, tapi tidak jadi, karena ditahan oleh sebuah tangan hangat besar. Ambigu.
"Makan dulu, yuk."
Aku menoleh ke sumber suara, makan? Moodku saja sudah hilang begini. Ah Gibran ternyata.
"Jam berapa sekarang?"
Dia menatap jam Rolex hitam miliknya yang baru saja dibelinya kemarin, "Jam 09.34"
"Aku tidur selama itu?" Tanyaku polos.
"Tadinya aku mau bangunin kamu lebih awal, tapi kayaknya kamu capek banget."
Iya, Ran. Aku memang 'capek', banget.
"Makan, yuk?"
Aku menggeleng, "Gak mau."
"Kok gak mau? Makan ya? Ntar perut kamu sakit."
"Aku gak mau, Ran"
"Van? Aku gak salah denger?"
"Gak, aku gak mau. Aku gak laper."
Dia menggaruk kepalanya bingung, "Kamu kenapasih? Tumben tumbennya begini. Kamu harus makan, Van. Buat minum obat, kamu lupa?"
"Aku gak mau, Ran! Jangan maksa, kenapa sih. Lagian aku percuma minum obat." Air mataku mulai menggenang. Ini tidak benar, cekcok seperti ini yang akan memicu perpisahan.
"Per? Percuma apanya! Kamu harus sembuh, Van! Jangan kayak anak kecil begitu, lagian kamu harus makan. Kamu kenapa, sih."
"Kalo aku bilang, gak mau. Ya gak mau! Jangan memaksa, aku gak mau pokoknya. Kamu tuh-"
"Van,"
"Astaghfirullah, maaf. Maaf. Aku, aku kebawa. Aku emang lagi gak mood, tolong maklum. Maafin aku, aku-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanya
Teen FictionVanya, seorang cewek labil maniak sepatu Vans dan Bakpia Pathok yang hidupnya terus diganggu oleh dua makhluk yang bergender sama namun dengan umur yang jauh berbeda. Cowok pertama, yang bernotabene gebetannya dan cowok kedua si masa lalunya yang ti...