"Ngapain lo kesini? Hah? Yang kemarin belum cukup emangnya?" Baru saja sejengkal Ryan membuka pintu, kalimat sarkas sudah meluncur dari mulutnya. Alvin hanya berdiri hendak membalas ucapan Ryan.
"Maaf, saya kesini ingin menjenguk Vanya,"
"Bukan bertemu dengan Anda." Balas Alvin dengan tak kalah sengit.
Vanya yang mendengar ada percekcokan di luar rumahnya langsung mencoba bangun dan hendak menghampiri mereka. Namun gagal, karena tubuhnya keburu ditahan oleh Gibran. Gibran menatap Vanya sambil menggeleng, "Biar aku, aja."
Vanya menatap Gibran nanar, namun akhirnya dia mengangguk juga. Lalu tatapannya teralihkan pada pesan bbm dari mantan gebetannya. Mantan.
Dimas, mau anak itu apalagi? Belum cukup menyakitinya dulu? Bertindak cuek layaknya Vanya begitu mengejar Dimas. Apakah dia harus membalasnya? Atau, dibaca saja? Salahnya tidak mengganti pin dulu. Dia baru menyadari kalau dia masih berteman dengan Dimas.
"Maaf, Vanya sudah tidur. Dia butuh istirahat. Bukan menambah beban dengan melihat wajah anda. Silahkan anda pulang dan jangan coba-coba untuk bertemu dan mengganggu Vanya lagi."
Gibran menatap Alvin sinis, kalimatnya begitu tajam. Ryan yang mendengarnya hanya tertawa mendengus.
"See? Pacarnya sendiri yang bilang." Mata Alvin membulat lalu menatap Gibran dan Ryan dengan tidak percaya.
"Pa-pacar?"
"Ya." Jawab Gibran dan Ryan kompak.
"Baik, saya pulang. Terimakasih atas sambutannya. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumssalam."
Brakk
Ryan menutup pintunya dengan sedikit membanting. Gibran menghampiri Vanya yang sedang menatap layar hpnya sambil menggigit jari.
"Tidur lagi, yuk?" Ajak Gibran pada Vanya.
Vanya yang sedang terbengong langsung tersentak, "Hah?"
"Tuhkan, bengong mulu, sih. Tidur lagi ayo."
"Gak deh, nanti aja. Belum ngantuk, baru bangun, kan."
Gibran mengangguk paham, "Oh, yaudah. Aku temenin. Yan, lo gak makan?"
Ryan yang sedang sibuk dengan hpnya membalas tanpa menengok, "Ntar ah, gue belom laper. Eh, Ran PS yok." Ajak Ryan yang masih terfokus pada layar hpnya.
"Ayodeh," Gibran menghampiri laci bawah tv. Yang berisikan berbagai macam PS. Dikeluarkannya semua peralatan bermainnya lalu setelah selesai Ryan menghampiri Gibran.
Vanya memandangi mereka dengan pikiran yang jauh entah kemana. Dipandanginya lagi layar hpnya dengan bimbang. Pesan dari Dimas sama sekali belum dibacanya.
Apa harus dia membalasnya? Pikir Vanya ragu. Ah tapi salahnya membalas? Hanya sekedar menanyakan kabar bukan?
Vanya mulai mengetik sesuatu di hpnya.
Vanya:
Eh elo, ingat.
Dimas:
Apakabar, kak? Masih ada kah?
Cepet banget balesnya...
Masih ada? Masih ada apanya? Rasa itu? Sayangnya hati ini udah milik Gibran sepenuhnya. Tidak ada secuilpun rasa untuknya. Rasanya Vanya ingin mengetik kalimat itu pada Dimas. Tapi apa berani? Jelas tidak.
Vanya:
Baik, lo sendiri? Masih ada apa?
Dimas:
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanya
Teen FictionVanya, seorang cewek labil maniak sepatu Vans dan Bakpia Pathok yang hidupnya terus diganggu oleh dua makhluk yang bergender sama namun dengan umur yang jauh berbeda. Cowok pertama, yang bernotabene gebetannya dan cowok kedua si masa lalunya yang ti...