ennéa

661 92 12
                                    

Dengan langkah tertatih, lelaki berpawakan sangar memasuki hutan. Setiap gerakan yang dilakukannya menggesekkan luka-lukanya pada ranting-ranting yang menjulang di sepanjang jalanan. Wajahnya tampak kacau, mencerminkan rasa sakit yang membekas dalam tubuhnya. Tatapannya penuh kemarahan, mengingat kekalahan yang tak terhitung kali ia alami melawan saudari kandungnya, Athena.

Dalam langkah terakhirnya yang terhuyung-huyung, lelaki itu terjerembab dan sebuah jeritan keluar dari bibirnya, melepaskan amarah yang memenuhi pikirannya. Kehidupannya sedang dalam kekacauan. Baru-baru ini, ia mengalami penghinaan oleh tangan Hephaestus, dan kini ia harus merasakan kembali harga dirinya diinjak oleh seorang wanita pejuang yang tidak mengenal nikmatnya cinta.

Julukan "Ares yang kejam" yang melekat padanya seakan tak bermakna di mata Athena. Ares telah merencanakan berbagai strategi, namun tak satupun berhasil menyaingi wanita itu. Ia terus berusaha, tetapi Athena terlalu tangguh, terlalu cerdas dalam pertempuran. Kekalahan demi kekalahan telah membuat Ares merenungkan kemampuannya sebagai dewa perang.

Seiring dengan serangkaian kekalahan yang dialaminya, Ares sering kali melarikan diri ketika terpojok, karena ia tak tahan dengan kekalahan. Sifatnya yang impulsif membuatnya terobsesi untuk terlibat dalam pertempuran tanpa alasan yang jelas, dan inilah yang membuat Athena merasa marah. Ares sering kali disebut sebagai dewa pengecut, karena dia sering kali menghindari pertempuran yang sulit. Kehadiran Athena selalu mengintai pikirannya, dan Ares sangat ingin mengalahkannya untuk membuktikan bahwa ia tidak layak berada dalam bayang-bayang sang dewi kebijaksanaan tersebut.

Matanya perlahan terpejam, meninggalkan kegelapan yang menyelimuti pandangannya. Namun, tak lama kemudian, seberkas cahaya menerobos ke dalam kegelapan itu. Ares menggerakkan matanya dan membukanya perlahan. Hatinya terkejut ketika melihat sinar fajar yang menerangi hutan yang sebelumnya gelap gulita. Suara nyanyian yang merdu mengalun memasuki telinganya, memikat perhatiannya. Ia pun berusaha mencari asal suara yang menakjubkan itu. Dan di tengah perburuannya, matanya tertarik pada sosok yang berdiri anggun di bawah pohon ek yang menjulang. Sebagai salah satu dewi, sosok ini memancarkan cahaya yang secerah mentari terbit. Ares terpaku sejenak, terpesona oleh keindahan yang bahkan dapat disandingkan dengan Aphrodite.

Dengan kedatangan yang serasi dengan pancaran cahaya, sosok itu mempesona Ares. Pakaiannya terbuat dari kelopak bunga yang indah tersulam dengan kehalusan yang memikat. Jarinya yang memancarkan warna kemerahan yang cerah, seolah-olah mengandung kehidupan dan energi yang tiada tara. Tidak ada keraguan lagi dalam benak Ares, sosok yang berdiri di hadapannya adalah Eos, sang dewi fajar.

Sang dewi yang anggun memutar tubuhnya ketika merasakan kehadiran seseorang yang memperhatikannya. Ares, seolah melupakan setiap luka pada tubuhnya, menatap Eos dengan hasrat terpendam yang membara di dalam dirinya. Pandangan mereka saling terkunci, menciptakan momen yang penuh dengan ketegangan dan keinginan.

Dalam tatapan mereka yang bertautan, ada getaran yang tak terungkapkan. Eos, yang terpesona oleh pesona Ares yang tak bisa diabaikan, merasa pipinya memanas dan bersemu merah. Ia tak bisa menahan pesona yang dimiliki oleh dewa perang ini, yang selalu mampu memikat hati wanita yang ia inginkan.

Dengan langkah mantap, Ares mendekati Eos. Setiap gerakannya penuh dengan kepercayaan diri yang melambangkan kekuatannya. Mata mereka tetap terkunci satu sama lain, menciptakan ikatan yang tak terpisahkan di antara mereka.

Dengan suara yang serak dan penuh keberanian, Ares mengucapkan kata-kata yang membuat hati Eos berdegup kencang.

"Eos, dewi fajar yang mempesona, aku telah mendengar tentang keindahanmu yang menakjubkan. Aku, Ares, dewa perang yang tak terkalahkan, biarkan aku menjadi pahlawanmu yang melindungi dan mendampingimu dalam setiap langkahmu."

The Falling AresTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang