Aku tahu, hal seperti ini sering terjadi pada banyak orang.
Saat kita sangat ingin menghindari seseorang, entah bagaimana orang itu malah tiba-tiba muncul di posisi yang tidak memungkinkan kita untuk sembunyi. Seolah Tuhan sengaja mengatur jalur dua orang itu agar saling bersapa pada titik yang tak menyenangkan. Mungkin, ini cara Tuhan bermain-main ketika bosan dengan kebebalan manusia. Saat pertemuan itu akhirnya terjadi, mungkin Tuhan tengah puas menertawakan makhluk-makhluk mungil-Nya yang konyol.
Yah, itu persisnya yang sedang kualami.
Sejak insiden lamaran mengejutkan dua hari lalu di pantri, aku mencoba mati-matian menghindari bosku, Pak Pala―Gung Palamarta. Aku belum punya nyali yang cukup untuk bertemu dengannya. Selain itu, aku benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana. Bersikap biasa-biasa saja jelas tidak mungkin. Aku tidak bisa berpura-pura hal itu tidak terjadi, tak bisa pura-pura lupa ingatan. Membenci dan menabuh genderang perang pun bukan solusi bijak. Wajahku masih butuh skincare mahal agar ketergantunganku pada filter Instagram sedikit berkurang.
Usahaku menghindar dari Pak Pala hanya bertahan satu hari. Hari ini, hari kedua petak-umpet, aku malah harus terjebak berdua di lift kantor. Aku sudah berangkat jauh lebih pagi dari siapa pun. Sialnya, Pak Pala juga punya pikiran yang sama.
"Pagi, Pak." Mau tidak mau aku harus menyapa. Tata krama tetap tidak boleh tertinggal.
"Pagi," jawabnya pendek. Kaku, seperti biasa.
Aku jadi berpikir. Apa aku sudah bersikap berlebihan dengan menghindarinya mati-matian, ya? Tidak ada yang berbeda dari laki-laki di sampingku. Insiden dua hari lalu tampaknya tak berpengaruh apa-apa padanya.
Aku mengintip lewat sudut mata, tidak berani menatapnya langsung. Dia berdiri santai dalam balutan jas dan celana kain berwarna senada.
"Mau ke lantai berapa?" tanyanya sambil menekan tombol angka delapan di panel lift.
Pertanyaan konyol macam apa itu? Tentu saja aku mau ke lantai yang sama dengan laki-laki itu. Kami berada di divisi yang sama. Lebih tepatnya, dia kepala divisi tempatku bernaung. Divisi Riset.
Lirikanku berubah menjadi pandang. Aku menoleh padanya, sesaat, untuk memastikan dia tidak sedang bercanda. Tidak. Dia tidak tampak bercanda. Orang yang sedang bercanda tidak mungkin memasang wajah seram seperti itu, kan?
"Emm... lantai delapan, Pak," jawabku sedikit heran. "Divisi Riset belum pindah lantai, kan? Atau semalam Bapak mindahin satu divisi ke lantai lain?"
Pertanyaan retoris untuk membuatnya kesal.
"Ya, siapa tahu mau ngecengin Sagara dulu di lantai sembilan," jawab Pak Pala agak ketus. Sehari-hari, kata-kata Pak Pala memang sudah sering menyebalkan. Tipikal para bos kalau sedang tidak punya kerjaan: marah-marah tanpa sebab. Namun, kata-katanya kali ini terasa lebih menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAMBUSA WISHES (Gerha Purana Series)
Chick-LitBAMBUSA WISHES Retelling Dongeng Timun Mas Grisella Putri Kanani sudah menjomlo selama dia hidup. Saat akhirnya ada laki-laki yang tertarik padanya (baca: melamar), umur laki-laki itu nyaris setengah abad. Masalah lain, si pelamar adalah Pak Pala, b...