08 • HES ALAN

55 41 3
                                    

"Mama kenapa?" Batin Alan penasaran. Ia baru saja keluar dari kamarnya, Alan berkeinginan untuk mengambil cemilan di dalam kulkas, meskipun sekarang sudah tengah malam, tapi itu tidak membuat Alan merasa takut. Kalau perut sudah lapar, maka ia akan melewati semuanya tanpa harus memperdulikan apapun.

Langkah kecil bocah itu terhenti tepat di depan pintu kamar Luna yang sedikit terbuka, ia mengintip dari celah-celah pintu kamar mamanya. Menampakkan seorang wanita cantik dengan rambut yang terurai indah.

Tapi senyum Alan tidak bertahan lama tepat disaat ia melihat raut wajah Luna yang terlihat pucat, entah karena apa, tapi Alan merasakan ada sesuatu yang mencurigakan dari raut wajah Luna yang tak menyenangkan itu.

Bocah berumur 4 tahun itu kembali melangkahkan kakinya perlahan, tak ada suara yang dihasilkannya sehingga Luna tidak menyadari akan kehadiran anaknya yang menuju kearahnya.

"Mah?" Panggil Alan, ia memegang kaki mamanya, berusaha menatap kedua manik hitam milik Luna yang sedang menunduk sedari tadi. Tapi itu tidak berhasil.

"Mama kenapa? Kok mama nangis?" Tanya Alan namun tak mendapatkan jawaban, Luna bahkan tidak berani mendongakkan kepalanya dan menatap sang anak yang saat itu mengkhawatirkan dirinya.

Alan semakin merasa aneh, ada apa dengan mamanya malam ini? Padahal tadi siang senyuman merekah terus terlukis di wajah Luna.

"Mah?" Panggil nya sekali lagi, tapi ia masih tidak mendapatkan balasan dari Luna.

Alan mendengus pelan, lalu tersenyum tipis.

"Mama lagi capek ya? Mama istirahat aja ya? Aa endak mau menganggu Mama, pasti Mama lagi kecapekan." Ucap Alan lirih penuh perhatian.

Disaat Alan memutar badannya dan akan melangkahkan kaki kecilnya, pelukan erat kini dirasakan bocah itu. Itu Luna, ia melampiaskan semua tangisannya seraya memeluk anak kesayangannya, seakan-akan ia tidak memperbolehkan Alan untuk meninggalkan dirinya seorang diri.

"Aa," panggil Luna di tengah-tengah isak tangisnya.

Alan menggenggam tangan Luna. "Iya, Ma?"

"Maafin Mama, ya?"

"Maaf buat apa, Ma?" Alan mengernyitkan dahinya.

"Mama mengingkari janji, kamu pasti sedih setelah Mama kasih tau."

"Ma?"

"Kita pindah rumah, ya?"

Mendengar itu, mata Alan membulat sempurna, detak jantungnya mendadak menjadi semakin cepat tak karuan dan kedua tangan nya yang semula menggenggam tangan Luna, ia lepas.

"ENDAK! AA ENDAK MAU!" Balas Alan, ia menaikkan nada bicaranya, ini pertama kalinya Luna mendapatkan sentakan dari Alan.

"Ini keinginan Papa, bukan Mama," kata Luna lembut, ia memang tidak bisa membentak Alan, ia terlalu menyayangi dan memanjakan nya.

"Eya? Aa endak mau jauh dari Eya, Ma!" Ini adalah kalimat terakhir yang Luna dengar, setelah itu ia hanya bisa melihat punggung anaknya yang semakin jauh, ia juga tidak ingin meninggalkan kebahagiaan anaknya, tapi ini adalah keinginan Kavindra yang tidak bisa ia bantah.

✎✎✎

"Pagi, Bidadali nya Aa," sapa bocah itu, ia mencubit pelan pipi Ela yang gembul.

Senyuman bocah itu tak berlangsung lama setiap ia mengingat perkataan Luna semalam. "Aa harus pergi, Ey."

Kedua mata Alan mulai mengeluarkan bulir-bulir air mata yang tak bisa ia tahan. Melihat wajah bayi yang begitu cantik itu malah membuat nya semakin terpuruk.

"Aa endak tau harus gimana lagi, padahal Aa pengen di samping Eya terus, Aa endak bisa ninggalin Eya sendirian disini," ucapnya panjang lebar, air mata yang terus mengalir membuat bocah itu kesulitan bernafas, "Aa sayang sama Eya, Aa pengen kita berdua besar bareng-bareng, tapi itu endak bisa Aa lakuin karena Aa harus pergi jauh dari Eya."

"Tapi Aa janji, di mana pun itu, Aa akan terus inget sama Eya. Eya juga harus begitu, Eya harus tau tentang Aa! Suatu saat nanti kalau kita ditakdirkan bertemu, Aa pasti akan jaga kamu, Ey. Aa pasti akan cerita tentang Aa, Eya, sama Abang!"

Tin!!!

"Udah waktunya, Ey. Aa harus pergi sekarang, selamat tinggal, Bidadali nya Aa." Setelah ia berhasil menyelesaikan kalimat nya yang menyakitkan itu, ia bangkit dan berlari secepat mungkin kearah mobil ayahnya. Yang dimana Luna juga sudah sangat menunggu dirinya.

"Udah selesai ngomong sama Ela nya, Aa?" Tanya Kavindra yang menoleh kebelakang, menatap anak satu-satunya itu.

"Udah, Pah. Aslinya Aa juga mau pamit ke Abang, Tante sama Om, tapi mereka lagi diluar, Eya juga digendong sama pembantu nya tadi," jelas Alan mengusap kedua pipinya yang basah akibat menangis.

"Udah siap menjalani kehidupan yang baru, Al?"

Alan menganggukkan. "Iya, Pah. Ayo berangkat! Aa endak mau nangis lagi," pintanya.

Mobil berwarna hitam itu pun melaju, membawa keluarga kecil Alan ke tempat yang sangat jauh, di mana Alan akan sangat susah untuk menemui Bidadari cantiknya.

Alan tersenyum tipis. "Kita pasti bisa bareng-bareng lagi, Ey. Aa janji sama Eya." Batinnya sebelum ia menutup mata dan tertidur dalam perjalanan menuju ke kehidupan barunya.

✎✎✎

Di ruangan yang berwarna-warni, 10 bocah berumur sama sedang duduk di bangku mereka masing-masing, termasuk Alan yang menjadi murid baru di TK Bahagia.

Ia merasakan kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan sebelum nya, karena di tempat lamanya ia hanya berteman dengan Ela, tapi disini ia mempunyai banyak sekali teman yang selalu membuat nya tersenyum bahagia.

"Halo, Al! Ayo main kejar-kejaran!" Ajak salah satu murid di sana, panggil saja ia Zidan, Zidan Maharashtra.

"Ayo! Kita main bareng-bareng!" Ajak Dino yang langsung berteriak setelah mendengar ajakan Zidan.

"AYOOOOO!!!!" Sambung ke-enam anak lainnya.

Mereka semua bermain bersama-sama, canda, tawa, juga  senyuman terlukis di semua wajah anak-anak yang ada di sana.

"Halo!" Sapa Alan, ia menghentikan langkah kecilnya di hadapan seorang anak yang ternyata tidak ikut bermain bersamanya.

"Kamu endak ikut main?" Tanya Alan, tapi anak itu tidak menjawab pertanyaan dari nya, anak laki-laki itu hanya sebatas menatap nya tajam, lalu kembali melanjutkan membaca buku.

"Percuma kamu mengajak dia ngobrol, Al. Dia itu mis-te-ri-us!" Sambung Zidan, ia memasang raut wajah menakutkan.

"Tapi, kita kan, sekelas. Jangan egois, mungkin dia cuma malu," ucapnya pelan, ia kembali menatap bocah yang sedang membaca buku itu, "Mau main bareng?" Ajak Alan mengulurkan tangan kanannya yang lalu diterima oleh bocah itu.

"Farel, aku Farel."

"Farel! Ayo main bareng-bareng!" Teriak kesembilan anak-anak di kelas Alan kompak, mereka juga meletakkan tangan mereka di atas tangan Alan dan Farel.

"AYOOOOO!!!!!!"

Mereka pun semakin akrab, terutama Alan, Zidan, juga Farel yang ternyata menjadi sahabat yang terus bersama di setiap harinya. Mereka bertiga tidak bisa dipisahkan, karena mereka sudah menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. "Kita harus kayak gini terus sampai besar nanti!" Ucap Alan.

"Janji!" Serentak ketiganya kompak.

Tbc.

HE'S ALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang