Detak 42 - Melunak?

309 25 1
                                    

Esok pagi, Amil terbangun dengan mata sembab, tadi malam dia menangis habis-habisan, merutuki dirinya yang terbelenggu dendam. Seperti biasa dia membersihkan diri, karena masih kurang enak badan dia memutuskan cuci muka saja sambil mengeramas rambutnya dengan shampo.

Amil menuruni tangga menuju lantai bawah, Mbok Iyem menyambutnya dengan hangat, dan mempersilahkannya untuk sarapan.

Selagi menikmati sarapannya, tiba-tiba saja Amil jadi teringat kepada Fajar.
"Apa sebaiknya kuakhiri saja dendam ini?" Batin Amil.

Namun tiba-tiba Pak Narto menghampirinya dengan gugup dan cemas.

"Ada apa pak?" Tanya Amil.

"Itu bos, Pak Fajar" jawab pak Narto.

Amil terdiam seketika, jujur dia bingung harus bersikap bagaimana, separuh hatinya bahagia namun separuh lagi masih membenci pria itu.
"Ya sudah, biarkan dia masuk"

"Bukan itu maksudnya bos, Pak Fajar tidak ada disini" tukas Pak Narto.

Amil meraih gelas susunya dan ingin meneguk.
"Terus?"

"Saya dapat kabar, Pak Fajar masuk rumah sakit, tadi malam dia ingin bunuh diri..."

Prang! Gelas di tangan Amil seketika jatuh pecah cerai berai.
"Pak Narto siapkan mobilku sekarang juga. Aku mau ke rumah sakit"
***

Cemas, entah mengapa seketika Amil merasakan cemas padahal kondisi mukanya sendiri masih separuh bonyok. Tak sulit mencari ruang dimana Fajar dirawat, rumah sakit kecil ini memang tak jauh dari kecamatannya.

Amil membuka pintu dan mengucapkan salam

Keluarga Fajar yang ada di dalam ruangan itu menjawab salamnya.
Fajar tengah disuapi buah-buahan oleh Susi. Wajahnya seputih kafan dengan bibir pucat.

"A-mil..." Suara Fajar begitu parau saat menyebut namanya, ada senyum yang coba dipaksakannya.

Amil terdiam, dia mendekat pelan-pelan.
"Ba-bagaimana keadaanmu?" Tanyanya, suara kasarnya yang biasa didengar oleh Fajar kini berubah sedikit melunak.

"Ba-ik, terima kasih" Fajar mencoba tersenyum kembali. Tatkala Susi ingin menyuapkan potongan apel, Fajar menolak. Sepasang mata memandang tak berkedip kepada Amil.

"Nak Amil, terima kasih sudah datang, tapi maaf lho ya? Wajah nak Amil kenapa? Nak Amil sehatkan?" Tanya Bu Ros seraya memandang luka-luka di wajah Amil.

Fajar terhenyak, seketika air matanya jatuh, dialah yang telah merusak wajah ganteng Amil itu dengan perbuatan bejatnya semalam

"Aku sehat Bu, konyol memang, bisa-bisanya aku tergelincir di tangga rumah sendiri" sahut Amil berbohong.

"Amil, kenapa kau masih menutupi kebiadapanku? Caci aku Amil! Maki aku! Bunuh aku! Jangan buat aku semakin merasa bersalah!" kata-kata itu bergema di dalam sanubari Fajar.

Bu Ros, Pak Rudi saling pandang dengan heran. Susi juga ikut memperhatikan Amil.

"Sus, ya sudah kau pulanglah duluan istirahat! Kasihan dari tadi malam kau tidak tidur-tidur!" Ucap Bu Ros pada sang menantu.

"Tapi Bu, siapa yang akan menjaga bang Fajar?"

"Nanti Rendi ke sini, gantian. Lagian kau juga harus mengawasi warung kan?" Ucap Bu Ros pula.

Susi akhirnya mengangguk, sebelum pergi dia mencium kedua pipi Fajar.

Amil pejamkan kedua matanya. Jujur, sampai sekarangpun dia masih menyimpan cemburu.

Sepeninggalan Susi, Bu Ros pun meminta Amil menemani Fajar sebentar, karena dia dan suaminya akan makan diluar. Amil menyanggupi.

Keduanya kini saling pandang dalam diam, Amil duduk di sisi kanan ranjang. Meski mereka diam, namun sejatinya di dalam hati bertebaran beribu kata yang ingin diutarakan.

DETAK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang