Detak 35 - Menemui Kawan

317 22 5
                                    

"Kita buat laporan polisi, itu sudah tindakan pelecehan" geram Gusti setelah mendengar cerita Fajar tentang apa yang membuatnya keluar dari rumah Amil dalam keadaan bertelanjang bulat. Fajar sendiri telah memakai sarung, untung saja di dalam mobil Gusti ada kain itu, kain sarung yang dipakai Gusti buat sholat Jumat tadi.

"Jangan Gus" cegah Fajar.

"Kenapa? Harga dirimu dipermainkan orang lho"

"Gak apa-apa, aku memang punya salah sama dia dimasa lalu. Tak heran dia membalas semuanya kali ini. Gak apa-apa kok, yang penting ayahku akan bebas" tukas Fajar

"Kau percaya padanya?"

Fajar mengangguk, dia yakin Amil bukanlah orang yang suka ingkar janji.

Gusti membawa Fajar ke toko pakaiannya, semua pegawai dan pengunjung toko terheran-heran melihat Fajar masuk ketoko bertelanjang dada dan hanya memakai kain sarung.

"Udin!" Panggil Fajar kepada satu karyawannya.

"Iya pak!"

"Carikan saya baju kaos baru"

Udin segera bergegas menuju pajangan baju kaos, setelah menemukan yang cocok segera dia menyerahkannya kepada Fajar.
Fajar melepas cap dan label harga di kaos itu dan langsung memakainya, kaos berwarna marun.

"Gak sekalian celana pak?" Tanya Udin sembari melirik sarung yang dipakai Fajar.

"Gak usah, kalau saya ambil celana baru entar malah rugi"

Fajar melangkah ke depan toko, Gusti masih menunggu rupanya di dalam mobilnya.

"Jar, aku balik dulu ya, kalau ada perkembangan akan aku kabari"

"Terima kasih Gus, kau sangat membantuku kali ini" ucap Fajar.

Gusti pun meninggalkan toko pakaian itu. Fajar tegak di area parkir tokonya sembari memandang ke seberang jalan, dimana ada para kuli bangunan yang tengah mengerjakan satu proyek . Dulu dia menginginkan lahan itu, tetapi sudah keduluan orang. Tiba-tiba dia ingat pada temannya, Doni. Ah dia ingin menemui temannya itu buat menceritakan kejadian hari ini.

Fajar menuju NMX nya, lalu sekejap kemudian motor itu pun meluncur ke arah hilir jalan, menuju rumah Doni di kampung sebelah. Dari teman SMA nya dulu, rumah Doni yang paling dekat. Sebelum sampai Fajar singgah ke satu warung untuk membeli bakwan buat Doni, temannya itu memang hantu bakwan.

Tak butuh waktu lama, hanya belasan menit dia telah tiba di rumah Doni.
Rumah Doni berupa gedung sederhana, dibangun dari batu bata yang belum sempat diplaster di beberapa bagian, namun punya halaman yang luas.

"Hei tumben kau kemari?" Sapa Doni yang kebetulan lagi memberikan makan kepada burung peliharaannya.

"Iya, lagi suntuk!" Jawab Fajar dia mendekati Doni dan menyerahkan bakwan hangat yang baru dibelinya tadi.

Doni mengajak temannya masuk dan mempersilahkan Fajar untuk duduk, dia segera ke dapur untuk membuat kopi dan mengambil wadah buat bakwan, tak lama diapun ke ruang tamu kembali.

"Sorry berantakan Jar, maklum rumah jomblo" Doni pun cengengesan, dia tinggal sendiri di rumah ini, kedua orang tuanya ikut dan tinggal dengan sang kakak yang telah pindah ke Tapanuli sejak menikah. Doni sendiri dipercaya buat mengurus ladang sawitnya, memang kelapa sawit menjadi sumber penghasilan primadona di Sumatera Utara.

"Gak apa-apa, Don. Aku juga laki jadi maklum aja" Fajar pun menyeruput kopinya. Doni mengikuti pula.

"Aku sudah mendengar apa yang menimpa ayahmu, turut prihatin, semoga semua bisa membaik" ucap Doni.

"Makasih Don" jawab Fajar namun dengan nada sendu.

"Apa seberat itu masalahmu?" Selidik Doni.

"Hmmm bisa dikatakan begitu, aku hanya tak habis pikir kenapa bisa terjadi secara serentak. Pertama ayahku tersandung kasus penggelapan uang, kemudian adikku si Rendi yang di Kampar, Riau juga dipecat dari pekerjaan"

"Hei, kenapa adikmu dipecat?" Tanya Doni, dia memang belum tahu masalah sang adik.

"Adikku yang seorang asisten kebun dicap terlalu kejam kepada karyawan panen hingga sering ribut dan gaduh, bahkan sering didemon karyawannya"

"Hmm kok aku merasa aneh ya, sepertinya itu masalah kecil, gak perlu harus terjadi pemecatan, aku yakin pasti mereka mencari-cari kesalahan adikmu" pikiran itu terlintas di kepala Doni dan langsung diutarakannya.

"Aku juga berpikir ke sana, dan aku sudah menduga siapa pelakunya" tutur Fajar.

"Siapa?" Doni Penasaran.

Fajar menghela nafasnya sejenak lalu menjawab.
"Amil..!"

Karuan saja Doni terkejut,
"Hah parah kau Jar, kalau benci sama dia ya gak usah pakai menuduh segala? Kau punya bukti?"

"Masih prasangka, tapi tahukah kau Don bahwa ternyata Amil pemegang saham terbesar di PT Palm Mulia Hati dimana ayahku bekerja, dan perkebunan dimana Rendi bekerja di Kampar masih cabang dari PT itu"

Doni terpekur, masuk akal sih dugaan Fajar itu, "Tapi apa alasan Amil melakukan hal itu?"

Lagi-lagi wajah Fajar berubah muram,
"Tujuannya cuma satu, balas dendam melampiaskan kecewa dan sakit hatinya kepadaku"

"Gak mungkin Jar, meski aku bukan temannya Amil tapi sejak dulu aku tau dia anak yang baik, lugu, polos dan lembut"

"Itu dulu Don, dulu! Tapi sekarang? Arhhhh" Fajar menggeram, dia meramas rambutnya kuat-kuat.
"Masih kuingat sorot matanya yang begitu dingin dan menusuk tadi, seringai senyum bengisnya, benar-benar penuh kebencian!" Kemudian Fajar menceritakan kejadian di rumah Amil tadi.

Doni terpekur, ini benar-benar mengejutkannya.
"Pantas saja kau pakai sarung kemari" Doni melirik sarung di pinggang Fajar.

Fajar cuma menghela nafas beratnya lagi, pikirannya cukup kusut sekarang.

"Cinta memang aneh, bisa berubah menjadi kebahagiaan tiada tara, namun cinta juga bisa berubah menjadi dendam kesumat penuh kebencian, apalagi dalam kasusmu ini Jar"

"Apa yang harus ku lakukan Don? Aku tak mau melihat Amil jadi seperti itu, aku ingin dia kembali seperti dulu, pribadi yang hangat dan penuh welas asih. Bukan yang sekarang, keras, dingin dan diam-diam menakutkan" Fajar merinding.

"Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Karena...karena sepertinya masih ada rasaku untuknya" jawab Fajar lemah.

Pluk, Doni menimpuk kepala Fajar dengan bakwan di tangannya.
"Gila kau! Ingat kau sudah punya bini! Amil juga sudah menikah, dan belum tentu juga Amil masih sayang samamu, yang ada dia sudah membencimu setengah mati" Doni menanggapi pernyataan Fajar dengan pesimis.

"Aku akan membuatnya sayang kembali padaku, seperti dulu" sorot mata Fajar mengawang-awang.

Doni menggeleng-gelengkan kepala, benar-benar gila otak Fajar, dulu dia yang menyia-nyiakan ketulusan Amil, lalu seandainya sekarang dia berhasil membuat Amil jatuh cinta lagi, lantas mau dikemanakan Susi, istrinya? Juga Arum.

"Kau mau kan membantuku?" Tanya Fajar pada Doni.

Seketika Doni gelagapan,
"Eh oh gimana ya? Kok jadi ngelibatkan aku? Ini seperti rencana merusak rumah tangga orang, haduh ribet. Percintaan gay memang ribet pakai banget"

"Ayolah Don, walaupun mungkin kami tak dapat bersama lagi setidaknya aku ingin Amil berdamai denganku, memaafkanku, dan mau menjadi temanku kembali. Jujur sebenarnya aku....aku...kangen sama dia" ada rasa sesak di hati Fajar saat mengutarakan kerinduannya itu. Cepat-cepat dia mengusap sepasang matanya yang berkaca-kaca.

"Terus bagaimana dengan ayahmu?" Tanya Doni lagi.

Fajar mendengus "Amil berjanji akan membantu, aku hanya bisa percaya padanya"

"Maaf Jar, aku gak bisa menolong, kau tau aku tak sekaya dirimu"

Fajar mengangguk "Doakan saja. Untuk saat ini aku harus meminjam modal ke bank dengan menggadaikan surat-surat tanah milikku, grosir, toko, dan warung bakso" berat sekali Fajar mengatakannya.

"Semoga cukup untuk mengganti kerugian perusahaan yang disebabkan ayah"
***

DETAK [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang